Krisis Ekologis di Tano Batak

banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sihotang, Bakkara, Simangulampe, dan Sipahutar menjadi alarm bagi kita bahwa Ekosistem di Tano Batak dalam kondisi memprihatinkan atau kritis

TANPA mengabaikan berbagai bencana ekologis dalam sepuluh tahun terakhir, banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sihotang, Bakkara, Simangulampe, dan Sipahutar menjadi alarm bagi kita bahwa Ekosistem di Tano Batak dalam kondisi memprihatinkan atau kritis. Tidak bisa dipungkiri, deforestasi yang terjadi secara masif dalam 30 tahun terakhir menghancurkan hutan-hutan tropis kita, dengan alasan pembangunan.

Deforestasi adalah penyebab utama terjadinya rentetan bencana ekologis, apalagi jika ia menjadi aktivitas wajib dan berulang dilakukan demi kepentingan bisnis dan pembangunan. Bukan sekadar hujan yang menyebabkan luapan banjir dan longsor, melainkan melemahnya kemampuan hutan menahan air di hulu.

Khususnya di kawasan Danau Toba, tidak berlebihan menyatakan bahwa seluruh bencana yang terjadi disebabkan oleh deforestasi yang menghancurkan tutupan hutan dan Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba.

Seperti di Kenegerian Sihotang, hujan selama 2 jam sudah cukup membuat Binanga Godang dan Binanga Sitio-Tio semakin melebar, semakin deras, dan meluap ke mana-mana. Ini bukan banjir pertama di Sihotang. Namun kali ini, ia tidak hanya berdampak pada Desa Sihotang, tetapi juga melibatkan empat desa lainnya, yaitu Desa Simarsoit Toba, Desa Hariarapohan, Desa Parmahanan, dan Desa Dolok Raja.

Banjir bandang yang menelan satu korban jiwa ini juga menyebabkan sebanyak 80% lahan pertanian, termasuk lahan yang siap untuk menanam padi, ditimbun pasir, batu, dan potongan kayu. Perladangan warga yang telah ditanami jagung, kopi, coklat, dan tanaman lainnya juga gagal panen. Belum lagi fasilitas publik seperti jalan dan gedung sekolah yang turut rusak dan lumpuh.

Tidak lama setelah Sihotang, Lembah Bakkara mengalami hal serupa. Empat desa terdampak yakni Desa Marbun Tonga Dolok (Martodo), Desa Marbun Toruan, Desa Siunong-Unong Julu (Sinju) dan Desa Simamora. Banjir berdampak pada kerusakan pemukiman dan persawahan. Puluhan hektar sawah mengalami kerusakan. Selain persawahan, rumah yang tersebar di Dusun I Kompleks GBI, Dusun II Kompleks Gereja HKBP, Desa Marbun Tonga, Marbun Dolok, Dusun III Marbun Toruan, Siunong Unong Julu ikut terdampak.

Lagi-lagi, ini bukan banjir pertama. Bahkan penduduk Desa Siunong Unong Julu, menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, bencana banjir terjadi sebanyak dua kali. Sebelum kejadian ini, banjir terjadi pada tahun 2020. Namun tidak separah ini, apa lagi sampai dapat disebut Banjir Bandang.

Terbaru, adalah Desa Simangulampe, Bakti Raja, Humbahas dan Desa Siparendean, Sipahutar, Tapanuli Utara. Di Desa Simangulampe sendiri, ini merupakan banjir bandang terparah yang pernah mereka alami. Korban jiwa yang ditemukan meninggal ada dua orang dan yang belum ditemukan 10 orang.

Selain itu ada sekitar 12 rumah yang rata dengan tanah, 18 rumah rusak berat, dua rusak sedang, tiga  rusak ringan dan enam terdampak.  Selain rumah, Hotel Senior Bakara dan Gereja Katolik Simangulampe juga terdampak banjir bandang.

Satu per satu, dapat kita temukan kaitan bencana ini dengan deforestasi. Untuk Kenegerian Sihotang, lokasi banjir bandang persis di bawah Hutan Sihotang, di mana menurut penduduk setempat terdapat dua aliran sungai, yakni  Binanga Sitio-tio dan Binanga Godang. Di hulu Tombak Sihotang, yang merupakan DAS kedua sungai tersebut, terlihat melalui tangkapan kamera drone, terjadi penebangan pohon secara masif di wilayah Hutagalung,
yang merupakan areal konsesi Toba Pulp Lestari (TPL) sektor Tele. Dari pengukuran jarak dengan menggunakan aplikasi Avenza maps, lokasi banjir bandang hanya berjarak sekitar 3.5 km dari batas konsesi perusahaan tersebut.

Aktivitas yang sama juga dapat didapuk sebagai salah satu penyebab banjir bandang di lembah Bakkara. Yang meluap adalah Sungai Aek Silang, di mana terdapat proyek Food Estate di salah satu alirannya di Desa Ria-Ria. Dalam proyek tersebut, sedang dilakukan pelebaran jalan dan pembangunan masif persis di Daerah Aliran Sungai sehingga terjadi penyempitan aliran. Juga yang perlu dikaji lebih lanjut adalah keberadaan Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) yang diikuti rekayasa bangunan dan tanggul sungai yang jebol saat terjadi luapan dan banjir bandang.

Namun jika berbicara penyebab paling mendasar, kita bisa menunjuk penebangan pohon secara masif di wilayah Hutagalung di mana TPL beraktivitas. Di wilayah yang samalah hulu Aek Silang berada. Hal ini juga dikonfirmasi sendiri oleh pihak TPL. Mereka mengatakan bahwa Daerah Tangkapan Air TPL mengalir ke arah barat daya (Aek Silang) dan barat laut (Lau Renun). Kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek silang sejak kehadiran perusahaan
tersebut tidak bisa dipungkiri, di mana hutan-hutan alam yang tadinya menjadi hulu Aek Silang tepatnya di Kecamatan Pollung saat ini hampir seluruhnya berubah menjadi tanaman monokultur eukaliptus yang mewajibkan deforestasi di setiap panen raya.

Simangulampe juga korban dari aktivitas yang serupa. Aek Sibuni-buni yang meluap berhulu di Dolok Sibuni-buni. Melalui penelusuran menggunakan drone, kondisi hulu memang sudah sangat meprihatinkan dengan adanya kegiatan penebangan hutan. Bahkan terlihat hamparan tanaman monokultur eukaliptus seluas sekitar 15,6 hektar yang baru dipanen, dan log-log kayu eukaliptus yang tidak diangkut. Di beberapa titik banjir bandang di Simangulampe juga ditemukan banyak potongan kayu eukaliptus yang hanyut terbawa air dan lumpur. Belum lagi melihat bahwa dalam tahap pemanenan, juga dilakukan pembukaan jalan yang merusak anak-anak sungai. Beberapa anak sungai yang ada di sekitar areal eukaliptus tersebut tertutup oleh log-log kayu eukaliptus.

Selain TPL, melalui investigasi ditemukan juga pengakuan warga yang mengatakan bahwa tanaman eukaliptus tersebut sudah dipanen dua-tiga bulan lalu, oleh Marga Manullang. Mereka tidak tahu persis ke mana pohon-pohon eukaliptus yang dipanen tersebut diangkut. Segala aktivitas deforestasi tersebut memperparah kondisi hulu sungai dan DTA Danau Toba. Kondisi hulu yang sedemikian kritis tidak lagi mampu menahan curah hujan sedang
berintensitas tinggi yang terjadi. Tiga hari sebelum banjir bandang, Desa Simangulampe sudah diguyur hujan dengan curah hujan sedang menurut data BMKG sebagaimana disampaikan oleh Ramos, Kordinator BMKG Wilayah Sumatera pada Minggu, 3 Desember 2023. Kritisnya kondisi hulu dan tingginya intensitas hujan, membuat sungai dan anak-anak sungai rentan meluap. Terlebih di Kecamatan Baktiraja yang yang posisinya berada di lembah Bakkara.

Ini menjadi fakta yang memprihatinkan, karena seharusnya ia bisa dicegah. Pemerintah dengan segala aparatus dan kewenangan harusnya bisa secara tegas menindaklanjutinya, walau sudah terlambat. Untuk menikmati lingkungan hidup yang baik, adalah hak yang diamanatkan konstitusi untuk dipenuhi negara.

Reorientasi pembangunan tidak lagi bisa ditunda. Selama ini, pembangunan pada pelaksanaannya hanya mempertimbangkan kepentingan segelintir, dan membiarkan rakyat banyak menjadi korban ketika rentetan bencana terjadi. Reorientasi berarti berhenti bersikap lunak terhadap perusahaan, individu, atau pihak manapun yang tidak mempertimbangkan dampak luas, apa lagi yang telah nyata menjadi dalang segala kerugian yang telah terjadi.

Ini harus dipandang sebagai aksi tanggapan jangka panjang, karena rusaknya hutan dan ekosistem tidak hanya memungkinkan bencana belakangan, namun lebih lanjut bisa berbuah kekeringan, krisis air, dan penggerusan biodiversitas kawasan Danau Toba.

Untuk itu, paling tidak, hal-hal berikut harus dilaksanakan segera oleh pemerintah daerah maupun pusat:

1. Menindak tegas pelaku-pelaku pengrusakan hutan di Kawasan Danau Toba. Dan membebankan seluruh kerugian yang ditimbulkan ke semua pihak yang terlibat dalam pengerusakan hutan;

2. Mencabut izin-izin perusahaan yang merusak ekosistem Kawasan Danau Toba. Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan;

3. Pemerintah kabupaten di Kawasan Danau Toba harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim secara partisipatif yang menjadikan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai subyek dari RAD tersebut.

Pada pokoknya, pemerintah harus memperhatikan aspek lingkungan hidup yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga berkeadilan. Kesejahteraan adalah hak semua orang, bukan segelintir.

Selamatkan Bonapasogit! Tinjau Ulang Pembangunan! Tutup Perusahaan Perusak Lingkungan! Lakukan Aksi Iklim yang Berkeadilan! (***)

Related posts

Leave a Comment