topmetro.news – LBH Medan selaku kuasa hukum guru honorer, Meilisya Ramadhani, mendesak agar Polres Langkat menghentikan penyelidikan kliennya.
Meilisya seorang guru honorer SMPN 1 Tanjung Pura yang mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dan kecurangan dalam penyelenggaran seleksi Guru Honorer Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Langkat Tahun 2023.
“Meilisya sebelumnya dilaporkan secara pribadi oleh Togar Lubis ke Polres Langkat yang diduga kuasa hukum Kadis Pendidikan Langkat yang saat ini telah berstatus tersangka, atas dugaan tidak pidana pemalsuan sebagaimana berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor: STTLP/B/502/IX/2024/SPKT/POLRES LANGKAT/POLDA SUMATERA UTARA, tertanggal 24 September 2024,” ujar Direktur LBH Medan Irvan Saputra kepada awak media, Sabtu (7/12/2024).
Dijelaskan Irvan, diketahui bahwa kuasa hukum Kadis Pendidikan tersebut, juga merupakan kuasa hukum dari Pemkab Langkat (tergugat) dalam sengketa TUN Nomor: 30/G/2024/PTUN.MDN dan upaya banding di PTTUN.
Sebagai informasi, terkait gugatan di PTUN telah diputus oleh majelis hakim perkara ‘a quo’ dengan amar putusan mengabulkan gugatan 103 guru honorer Langkat. Yaitu membatalkan keputusan kelulusan PPPK Langkat Tahun 2023, dan mengumumkan kembali kelulusan PPPK Langkat sesuai dengan hasil Computer Assisted Test (CAT).
“Tidak hanya digugat di PTUN Medan, permasalahan PPPK Langkat juga di laporkan di Polda Sumut Terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi. Atas laporan tersebut Polda Sumut telah menetapakan lima orang tersangka yaitu Kepala Dinas Pendidikan, Kepala BKD, Kasi Kesiswan SD Disdik dan dua kepala sekolah di Kabupaten Langkat,” ujar Irvan.
Dua dari lima tersangka yaitu kepala sekolah atas nama Rohayu Ningsih dan Awalluddin telah ditahan Polda Sumut pada November 2024 lalu. Namun, untuk tiga tersangka lainnya, yakni Kadis Pendidikan, BKD dan Kasi Kesiswaan Kabupaten Langkat hingga sampai saat ini tidak dilakukan penahanan.
“Laporan yang dibuat oleh Togar Lubis diduga kuasa hukum Kadis Pendidikan tersebut lebih kurang sepekan setelah penetapan tersangka tiga pejabat Langkat, yakni Kadis Pendidikan Langkat, Kepala BKD Langkat dan Kasi Kesiswaan SD Disdik Langkat oleh penyidik Polda Sumut. Dan atau tepatnya dua hari sebelum putusan PTUN Medan tanggal 26 September 2024,” ujar Irvan.
Direktur LBH Medan ini menduga jika pelaporan terhadap Meilisya oleh TL adalah upaya pembungkaman dan kriminalisasi, serta upaya membuat guru-guru honorer lainya takut untuk terus berjuang.
“Atas adanya upaya kriminalisasi, Meilisya telah melaporkan hal tersebut ke Komnas Perempuan, Komnas HAM, Kompolnas, LPSK dan Mabes Polri. Bahkan Komisaris Kompolnas dan Komisaris Komnas Perempuan serta Komnas HAM secara tegas mengatakan jika pelaporan terhadap Meilisya tersebut merupakan perbuatan kriminalisasi sebagai pembela HAM,” ujar Irvan.
Dugaan kriminalisasi yang coba dilakukan Kadis Pendidikan yang diduga melalui kuasa hukumnya tersebut dapat dilihat secara terang benderang (cetho welo-welo). Di mana ketika dalam laporanya menyebutkan atau menuliskan yang menjadi korban adalah Negara Republik Indonesia.
“Parahnya ketika pengambilan klarifikasi di Polres Langkat pada Jumat (6/12/2024), Meilisya mempertanyakan kepada penyidik pembantu. Ini pelapor atas nama pribadi atau Pemda Langkat Pak? Kemudian penyidik pembantu mengatakan atas nama pribadi,” kata Irvan.
“Tidak hanya itu saja, ketika Meilisya mengatakan telah mengundurkan diri dan kelulusannya dibatalkan. Spontan penyidik tersebut mengatakan, yang jadi masalahnya apa kak, kok dilaporkan? Hal menegaskan nyatanya upaya kriminalisasi tersebut. Bahkan anehnya lagi, dalam surat undangan klarifikasi tersebut menyebutkan pelapor memperoleh surat pernyataan Meilisya melalui link https://sscasn.pkn.go.id,” sambungnya.
Padahal, Irvan menegaskan, jika data tersebut tidak bisa dibuka kalau bukan orang yang bersangkutan, karena harus masuk ke akun pembuatnya, yang tentunya menggunakan password pemilik akun, atau pihak Panitia Seleksi PPPK Langkat.
“Maka, LBH Medan selaku kuasa hukum Meilisya menyatakan secara tegas jika pelaporan terhadap Meilisya adalah kriminalisasi terhadap pembela HAM. Upaya kriminalisasi terhadap Meilisya sesungguhnya telah bertentangan dengan UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, ICCPR dan Duham,” tutup Irvan.
reporter | Rudy Hartono