Polisi Bantai Besar Besaran Geng Narkoba dan Kelompok Kriminal Tertua di Brasil Red Command

polisi bantai geng narkona di brazil

topmetro.news, Rio de Janeiro – Setidaknya 40 mayat telah berjejer di jalan-jalan Rio de Janeiro, Brasil, sehari setelah pasukan polisi menggerebek geng narkoba terkuat Comando Vermelho atau Red Command. Kantor Pembela Umum—sebuah badan negara di Rio de Janeiro yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin—menyebut jumlah orang yang tewas dalam operasi polisi mencapai 132 orang.

Pembantaian besar-besaran pada hari Selasa ini melibatkan sekitar 2.500 petugas polisi. Operasi tersebut telah menjerumuskan kota Rio de Janeiro, ke dalam kekacauan dengan pemandangan baku tembak dan penjatuhan bom dari pesawat nirawak.

Pada akhir operasi, 81 tersangka geng narkoba ditangkap dan 119 orang dinyatakan tewas, menurut data polisi—yang berbeda dengan data Kantor Pembela Umum.

Operasi ini merupakan operasi paling mematikan yang pernah dilakukan kepolisian Rio de Janeiro, dan menuai kritik dari kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) karena penggunaan kekuatan yang berlebihan.

Gubernur Rio de Janeiro Claudio Castro membagikan sebuah video di X sebagai tanggapan atas penggerebekan tersebut, menyebutnya sebagai “hari bersejarah dalam perang melawan kejahatan di Rio de Janeiro.”

Sementara itu, kelompok-kelompok HAM telah menyerukan penyelidikan atas penggerebekan tersebut karena jumlah korban jiwa yang sangat besar.

“Rentetan operasi mematikan yang tidak menghasilkan keamanan yang lebih baik bagi penduduk, tetapi justru menyebabkan ketidakamanan, menunjukkan kegagalan kebijakan Rio de Janeiro,” tulis César Muñoz, direktur Human Rights Watch di Brasil, di X, menyebut kematian massal tersebut sebagai “tragedi.”

“Kejaksaan harus membuka penyelidikannya sendiri dan mengklarifikasi keadaan setiap kematian,” tambahnya.

Rio Times menyebut penggerebekan itu sebagai “hari paling mematikan dalam sejarah Rio”, sementara O Globo menulis penggerebekan itu sebagai “pukulan terbesar yang diderita Comando Vermelho sejak awal sejarahnya.” Jumlah korban tewas melampaui jumlah korban dalam penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap kelompok tersebut pada tahun 2021.

Media-media lokal melaporkan bahwa tersangka anggota geng narkoba memblokir jalan-jalan di Rio de Janeiroutara dan tenggara sebagai tanggapan, yang menyebabkan kerusakan signifikan pada bus-bus, sementara puluhan universitas dan sekolah dilaporkan membatalkan kegiatan belajar-mengajar karena kota tersebut sedang menangani dampaknya.

Warga setempat mengatakan kepada media lokal bahwa kekacauan terjadi pada hari Selasa, saat mereka menghindari peluru dalam penggerebekan yang bocor ke jalan-jalan kota.

“Kami melihat orang-orang dieksekusi: ditembak di punggung, ditembak di kepala, luka tusuk, orang-orang diikat. Tingkat kebrutalan ini, kebencian menyebar—tidak ada cara lain untuk menggambarkannya selain sebagai pembantaian,” ujar seorang aktivis lokal, Raull Santiago, kepada ABC.

Comando Vermelho atau Red Command adalah kelompok kriminal tertua di Brasil, menurut InSight Crime, sebuah lembaga think tank yang mempelajari kejahatan terorganisir. Kelompok ini bermula di sebuah penjara di Rio de Janeiro pada tahun 1970-an sebagai sarana perlindungan diri bagi para tahanan, dan terinspirasi oleh gerilyawan sayap kiri.

“Kondisi mengerikan di penjara Candido Mendes, di Pulau Ilha Grande di negara bagian Rio de Janeiro, mendorong para narapidana untuk bersatu demi bertahan hidup di dalam sistem,” tulis lembaga tersebut dalam profil Red Command.

Pada tahun 1980-an, kelompok ini terlibat dalam produksi dan perdagangan kokain, tetapi juga mempertahankan peran sosial di komunitas-komunitas terpinggirkan di salah satu kota yang paling banyak dikunjungi di negara ini. Kegiatan kriminalnya meliputi perdagangan narkoba, perdagangan senjata, pemerasan, rentenir, dan perang wilayah melawan organisasi kriminal lain di wilayah tersebut.

Lembaga riset itu menambahkan bahwa Red Command harus berhadapan dengan kelompok-kelompok milisi yang mencoba menerobos masuk ke wilayah mereka dalam beberapa tahun terakhir, serta penggerebekan polisi massal, terutama sejak pandemi. Mereka mengeklaim bahwa dalam dua tahun terakhir, Red Command telah berhasil merebut kembali kendali Rio de Janeiro, yang kini “menguasai lebih dari separuh kota”.

Menurut Júlia Quirino, kandidat Ph.D. Sosiologi dan Antropologi di Universitas Federal Rio de Janeiro (UFRJ) yang mempelajari Red Command, kelompok tersebut baru-baru ini mengembangkan aplikasi berbagi tumpangan seluler.

“Lebih dari sekadar rasa ingin tahu, ini merupakan indikasi bagaimana kelompok bersenjata ilegal mengintegrasikan teknologi digital untuk memperluas kapasitas mereka dalam kendali teritorial dan diversifikasi pendapatan,” demikian temuan penelitian Quirino.

Menurut penelitiannya dan kelompok keamanan publik negara bagian, hanya 11 persen keuntungan kelompok tersebut berasal dari penjualan narkoba, sementara mayoritas berasal dari “pemerasan pedagang” dan penyediaan layanan “esensial” seperti distribusi gas, penjualan air, dan transportasi.

Red Command telah secara bertahap memperluas kendalinya atas Riode Janeiro sejak 2022, bertempur melawan milisi yang masih terikat dengan negara bagian dan kepolisian, untuk merebut wilayah dan memperkuat cengkeramannya di kota tersebut.

Pada tahun 2024, kekuasaan telah beralih ke pihak Red Command, menurut laporan InSight Crime. Kelompok ini juga memperluas kendalinya ke luar Rio de Janeiro. Pada akhir tahun 2024, menurut Associated Press, kelompok ini menguasai separuh kotamadya di wilayah Amazon, naik dari seperempatnya pada tahun sebelumnya.

Para pejabat mengatakan operasi di Riode Janeiro bertujuan untuk menghentikan penyebaran Red Command.

Taktik agresif Castro terhadap perdagangan narkoba di Rio de Janeiro mencerminkan taktik sayap kanan mantan sekutunya, mantan presiden Jair Bolsonaro, dan bisa menjadi langkah Castro untuk mendapatkan poin politik dalam isu kejahatan terorganisir.

“Kami teguh dalam menghadapi narkoterorisme,” kata Castro, dari Partai Liberal yang beroposisi konservatif, setelah penggerebekan tersebut, seperti dikutip dari TIME, Jumat (31/10/2025).

Rio de Janeiro, khususnya, telah diganggu oleh penyalahgunaan wewenang oleh polisi. Mahkamah Agung Brasil memerintahkan Rio pada tahun 2020 untuk berupaya mengurangi kasus-kasus pelanggaran oleh petugas polisi, sebuah langkah yang menurut Human Rights Watch telah menyebabkan penurunan drastis angka pembunuhan di negara bagian tersebut.

Kebrutalan penggerebekan minggu ini cukup menuai kritik dari juru bicara Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Marta Hurtado.

“Kami sepenuhnya memahami tantangan dalam menghadapi kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan dan terorganisasi dengan baik seperti Red Command,” ujarnya, tetapi dia meminta Brasil untuk “memutus siklus kebrutalan ekstrem ini dan memastikan bahwa operasi penegakan hukum mematuhi standar internasional terkait penggunaan kekuatan.”

Profil Red Command

•Didirikan: 17 September 1979.

•Pendiri: Rogério Lemgruber dan rekan-rekannya.

•Markas Awal: Penjara Candido Mendes, Ilha Grande, Angra dos Reis, Rio de Janeiro, Brasil.

•Masa Aktif: 1979–sekarang.

•Wilayah Kekuasaan: Sebagian besar di negara bagian Rio de Janeiro, dan hampir seluruh Brasil, serta Bolivia, Peru, Venezuela, Paraguay, dan Kolombia.

•Pemimpin: Fernandinho Beira-Mar e Marcinho VP.

•Kegiatan: Pembunuhan, perdagangan narkoba, penyuapan, rentenir, perdagangan senjata, penyerangan, kerusuhan, pencucian uang, pembajakan, penipuan, dan perampokan bank.

•Sekutu: Primeiro Grupo Catarinense, kelompok kriminal Paraguay, Comando da Paz, Bala na Cara, Sindicato do Crime do Rio Grande do Norte, Okaida, Comando Revolucionário Brasileiro da Criminalidade, Primeiro Comando de Vitória.

•Rival: Primeiro Comando da Capital, Terceiro Comando, Terceiro Comando Puro, Amigos dos Amigos, milisi Brasil, Família do Norte, Guardiões do Estado.

sumber:okezone

Related posts

Leave a Comment