topmetro.news – Perkara sidang penembakan yang menewaskan Jumingan (38), adik ipar terdakwa Kompol Fahrizal SIK, Kamis (24/1/2019), masih menjadi perhatian warga pencari keadilan di PN Medan. Pengunjung sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Deson Togatorop SH itu membludak. Bahkan untuk keluar masuk pintu ruang sidang Cakra 6 pun harus berdesakan.
Sebelum persidangan digelar, terdakwa sempat terekam kamera wartawan santai menggunakan ponselnya di Ruang Tunggu Jaksa PN Medan. Terdakwa kemudian memasukkan ponselnya setelah diberitahu sidang akan dimulai.
Dari arena persidangan, Julisman SH selaku penasihat hukum terdakwa diberikan kesempatan untuk membacakan materi nota pembelaan. Penasihat hukum menyatakan sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Medan.
Pada persidangan pekan lalu, JPU Randi Tambunan SH menuntut terdakwa Fahrizal dengan Pidana Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Yakni seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit kejiwaan.

Beberapa Peristiwa Aneh
Lebih rinci Julisman mengatakan, pada tahun 2014 terdakwa mengalami beberapa peristiwa aneh, seperti tidak boleh melihat warna hitam. Warna tersebut jahat dan terdakwa langsung membakarnya.
Indikasi gangguan jiwa terdakwa sejak 2014. Dia bahkan beberapa kali dibawa berobat ke Klinik Utama Bina Atma di Jalan HOS Cokroaminoto Medan ditangani Prof Dr Muhammad Ildrem. Namun kontrol terhadap terdakwa tidak berlanjut.
Tiga hari sebelum peristiwa penembakan terhadap Jumingan, terdakwa mengalami sulit tidur, gelisah dan mengaku dirinya Cut Nyak Dhien. Terdakwa juga mengaku mendapat bisikan ada mahluk hitam tinggi besar yang akan berbuat jahat kepada anak-anak terdakwa di Medan.
Terdakwa yang tengah menjabat Wakapolres Lombok Tengah itu, kemudian memutuskan pulang ke Medan dan sempat kontrol ke Klinik Utama Bina Atma. Di tangan dr Mustafa, hasil diagnosa menyebut, terdakwa mengalami gangguan kejiwaan.
Ketika hendak berobat kembali ke klinik tersebut, terdakwa ketika itu bersama istrinya Maya Safitri melalui rumah orangtuanya. Dia spontan memutuskan singgah lebih dulu melihat keadaan ibunya baru pulang dari berobat rumah sakit. Pada saat peristiwa penembakan sesuai dengan keterangan dokter ahli jiwa dan saksi Maya Safitri, terdakwa dalam keadaan gangguan kejiwaan berat.
Kesimpulan, perbuatan terdakwa bukan suatu unsur kesengajaan. Tapi karena gangguan jiwa berat diagnosis skizofrenia paranoid yang tidak dapat membedakan mana yang baik, benar, dan yang tidak benar, maupun yang fantasi.
Maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHPidana, perbuatan terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Memohon majelis hakim nantinya memutuskan, memerintahkan JPU mengeluarkan terdakwa dari tahanan.
Kontroversi Sidang Penembakan
Perkara penembakan Fahrizal terbilang kontroversi dan menjadi perhatian pencari keadilan. Pasalnya JPU sebelumnya menjerat terdakwa dengan dakwaan berlapis.
Pertama, Pasal 338 KUHP yakni barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Kedua, Pasal 359 KUHPdana yakni karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati. Namun ketika penuntutan, JPU malah menerapkan Pasal 44 Ayat 1 KUHPidana.
reporter: Robert Siregar