Lapor Pak Presiden!!! Ada Bocah 13 Tahun Terpaksa Melahirkan Bayi…

TOPMETRO.NEWS – Wajahnya yang imut masih terlihat pucat. Badannya ringkih, tergeletak di salah satu bangsal Rumah Sakit Majalaya Bandung Selatan Minggu lalu (2/4). SA, inisial namanya, sekilas tampak seperti sedang dirawat karena diare atau terkena serangan virus lain. Namun, SA tidak sedang dirawat karena sakit. Perempuan 13 tahun itu baru melahirkan dua hari sebelumnya.

Melahirkan pada usia 13 tahun? Ya…!

SA, sebagaimana dilansir jawapos sesaat lalu, merupakan potret buram anak Indonesia yang terpaksa menjalani pernikahan di usia anak. Suaminya, SP, juga masih sangat muda, 20 tahun Bisa dibayangkan, betapa mereka sangat belum siap menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu. Secara fisik maupun mental.

Jumat (31/3) nyawanya berada dalam bahaya. Karena tulang panggulnya terlalu kecil, SA tidak bisa melahirkan normal. Dia tidak bisa melewati pembukaan enam. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bayi dan sang ibu adalah operasi Caesar.

Siang itu SA ditemani suami. Juga beberapa kerabatnya. Setelah dua hari dirawat, dia akhirnya diizinkan pulang. Dia tinggal menunggu persetujuan dokter.

Dengan kemeja merah motif kotak dan bawahan sarung, SA berkali-kali tidur, lalu bangun menunggu tanda tangan dokter yang tak kunjung tiba. Ketika ditanya keadaan, dia berulang-ulang menyatakan baik-baik saja. “Sekarang cuma sedikit sakit. Tapi sudah nggak apa-apa,” ujarnya.

Soal perasaan, SA tetap saja berulang-ulang mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kisah di balik perempuan yang sering tersenyum malu-malu tersebut tak seenteng yang terlihat.

Nasib SA bisa saja berbeda. Jika tidak ada kader desa sekaligus pendamping Sapa Institut, LSM yang memperhatikan masalah perempuan, membantu dia. Perempuan tersebut baru diketahui hamil saat usia kehamilannya mencapai 7 bulan. Orang tua yang mengetahui hal itu pun tanpa pikir panjang menikahkan SA dengan SP melalui lebe, penghulu yang menikahkan secara agama.

Praktis, pernikahan itu membuat mereka berhenti sekolah. Masing-masing hanya mengantongi ijazah SMP. Masalah demi masalah kemudian bertubi-tubi datang. Karena latar belakang ekonomi kedua keluarga yang tak mampu, SA enggan memeriksakan kandungan.

Setelah beberapa bulan dibujuk sang kader, barulah dia berangkat untuk melakukan USG. Tapi, setelah pemeriksaan, justru dokter menemukan bahwa SA sudah mengalami pembukaan dan harus segera disiapkan untuk bersalin.

Lagi-lagi SA dibantu agar operasi bisa dilakukan tanpa biaya. Sebab, fasilitas BPJS Kesehatan yang dimiliki ditolak setelah SA tak bisa menyediakan surat nikah. Menyediakan uang Rp12 juta untuk operasi juga bukan hal memungkinkan.

Sang suami kini hanya bekerja sebagai pengantar galon dengan bayaran Rp1.000 per galon. Bapak SA bekerja serabutan, sedangkan sang ibu bekerja di pabrik tekstil dengan bayaran Rp 150 ribu per minggu.

Kalau saja tidak ada bantuan dari Sapa Institut, nyawa SA bisa tidak tertolong. Soal masa depan, SA hanya bisa bilang gimana nanti wae. Pun demikian bagaimana membesarkan anaknya yang belum dikasih nama itu. “Ya nanti dibantu sama ibu,” ucapnya pasrah.

Yang mungkin tak disadarinya, bagaimana kehidupannya bakal berubah dalam beberapa tahun ke depan. Apa yang mungkin disebut cinta remaja bisa jadi gubuk derita.  (jaw-editor3)

Related posts

Leave a Comment