Kepala Desa dan Istri di Langkat Terjebak Politik Praktis, Pilkada Langkat Tercoreng

Kepala Desa dan Istri di Langkat Terjebak Politik Praktis, Pilkada Langkat Tercoreng

MENJELANG hari pencoblosan Pilkada Langkat pada 27 November 2024 nanti, ternyata integritas pesta demokrasi kembali tercoreng.

Jika sebelumnya Cabup 01 Syah Afandin memanfaatkan kelompok tani bersama salah seorang ASN yang menjabat sebagai salah seorang Kabid di Dinas Pertanian, kemudian sejumlah Camat dan Pejabat Pemkab Langkat sengaja dikumpulkan Cabup 01 yang diduga mulai panik agar mendukungnya secara terstruktur dan tersistematis.

Di saat minggu tenang, penghianat-penghianat demokrasi yang haus jabatan diduga dikomandoi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mulai memainkan peran coba mengintimidasi para kepala desa beserta istri dan keluarganya untuk memenangkan Paslon 01 H Syah Afandin dan Tiorita Br Surbakti, dengan cara terlibat mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta KTP.

Bahkan, permainan kotor yang mencederai pesta demokrasi pada Pilkada Langkat 2024, semakin terang benderang. Melalu perangkatnya, oknum kades tersebut diduga menerima uang dari Paslon 01 untuk persiapan menabur ‘peluru serangan fajar’ ke warganya masing-masing.

Dugaan ini mencuat setelah viralnya video dan foto di media sosial yang menunjukkan sejumlah kepala desa mendatangi kediaman Tiorita yang notabene merupakan Cawabup 01 secara diam-diam.

Pertemuan tersebut, terjadi dua hari menjelang pencoblosan, tepatnya pada Hari Senin (25/11/2024), sekitar pukul 13.00 WIB, berlangsung di kediaman Tiorita yang berlokasi di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala.

Kehadiran para kepala desa secara tertutup ini menimbulkan spekulasi serius mengenai keterlibatan aparatur desa dalam politik praktis melakukan sebuah tindakan yang jelas melanggar aturan netralitas.

Masyarakat mempertanyakan motif di balik pertemuan tersebut. Jika terbukti benar, ini adalah bentuk intervensi yang mencederai prinsip demokrasi dan keadilan pilkada.

Lebih miris lagi, di tempat terpisah, istri seorang kepala desa diduga terlibat langsung dalam praktik politik uang.

Ia dilaporkan mengumpulkan KTP warga dengan janji akan memberikan sejumlah uang, asalkan warga tersebut memilih dan memenangkan Paslon Nomor 01.

Parahnya, warga yang menolak atau tidak patuh diarahkan justeru dipersulit untuk mengambil kembali KTP mereka. Bahkan KTP mereka secara otomatis dimasukkan ke dalam database pemilih 01 yang juga diduga terang-terangan melibatkan oknum Panwascam.

Ini adalah bentuk intimidasi yang tidak bisa ditoleransi dalam proses demokrasi.

Kondisi ini menunjukkan bahwa Pilkada Langkat kali ini dimanfaatkan 01 menunjukkan benar-benar berada di titik nadir moralitas.

Hampir seluruh lapisan aparatur desa dan pemerintahan, termasuk camat, lurah, dan kepala desa, diduga telah terseret dalam politik praktis.

Informasi yang beredar menyebutkan bahwa mereka dikumpulkan di satu tempat untuk diarahkan mendukung pasangan calon tertentu.

Netralitas aparat desa adalah syarat mutlak bagi terciptanya pilkada yang bersih dan demokratis.

Keterlibatan mereka dalam upaya memenangkan salah satu pasangan calon bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pilkada.

Aparatur negara seharusnya menjadi pengayom rakyat, bukan alat politik untuk kepentingan segelintir pihak.

Bawaslu Langkat dan pihak berwenang harus segera bertindak tegas.

Dugaan pelanggaran ini harus diusut tuntas, dan oknum yang terbukti bersalah harus diberi sanksi berat.

Jika dibiarkan, demokrasi di Langkat akan semakin ternoda, dan hasil pilkada nanti akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat.

Pilkada seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan pertunjukan kekuasaan yang penuh intimidasi dan praktik kotor.

Rakyat Langkat berhak mendapatkan pemimpin yang lahir dari proses yang jujur dan bermartabat, bukan dari manipulasi dan kecurangan.

Jika Bawaslu melalui Gakkumdu membiarkan masalah krusial ini, dipastikan akan menimbulkan kekisruhan oleh masyarakat.

Beberapa kepala desa yang coba dihubungi awak media, sepakat memilih bungkam atas apa yang ditudingkan warga terhadap netralitas mereka sebagai aparatur desa yang digaji dari uang rakyat. (Penulis: Rudy Hartono – jurnalis, pengamat politik di Kabupaten Langkat)

Related posts

Leave a Comment