topmetro.news, SERGAI- Di tengah gegap gempita peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, satu kisah dari Dolok Masihul, Serdang Bedagai, menggema lebih lantang dari sekadar orasi: Zulfahri, buruh pabrik tapioka, bangkit melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya.
Setelah tiga tahun lebih bekerja di PT Bumi Sumatera Tapioka, Zulfahri justru harus menghadapi pemecatan sepihak, yang disebutnya bermula dari tes urin mendadak dan hasil yang janggal.
“Saya dites dua kali, padahal yang lain cuma sekali. Hasilnya juga nggak jelas—cuma tertulis ‘terindikasi’. Saya ditolak untuk tes ulang, lalu langsung dipecat,” kata Zulfahri saat ditemui, Kamis (1/5).
Tak hanya diberhentikan tanpa kejelasan, ia juga ditawari pesangon yang menurutnya tidak sesuai dengan masa kerja dan hak normatif: Rp5.735.000.
“Saya punya empat anak, dan ini bukan soal uang semata. Ini soal harga diri saya sebagai buruh,” ujarnya dengan tegas.
Di tengah sunyinya perlindungan terhadap buruh kecil, Zulfahri memilih bersuara. Ia menolak bungkam, meski tahu bahwa tak semua buruh punya ruang untuk melawan. Dalam momentum May Day, ia berharap kisahnya jadi refleksi bahwa buruh bukan sekadar roda produksi—mereka adalah manusia dengan martabat.
“May Day bukan hanya perayaan. Ini panggilan untuk memperbaiki sistem kerja yang masih timpang,” tutupnya.
Zulfahri kini menanti perhatian dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara. Bukan untuk dirinya saja, tapi demi buruh-buruh lain yang mungkin mengalami hal serupa, namun tak punya cukup suara untuk didengar.
Penulis Sadam
