topmetro.news, Medan – Aksi unjukrasa ramai digelar mahasiswa dan masyarakat disetiap daerah terkait tunjangan rumah DPR sebesar 50 juta per bulan.
Hal ini memicu kemarahan publik dikarenakan penjelasan Wakil Ketua DPR Adies Kadir terkesan ambigu.
Dilansir dari CNN Indonesia adies kadir menerangkan tunjangan rumah 50 juta didasarkan pada biaya kontrakan atau kos disekitar gedung DPR/MPR yang senilai 3 juta perhari, jika dikalikan 26 hari kerja, maka seharusnya tunjangan tersebut Menurut pimpinan DPR justru belum mencukupi. Kemudian Adies kadir juga menjelaskan cuma dapat 12 juta perbulan untuk tunjangan beras.
Kemarahan publik juga berlanjut, ditengah ekonomi yang sulit serta kurangnya lapangan pekerjaan viral video di platform media sosial anggota DPR berjoget ria atas kenaikan tunjangan yang mereka terima. Masyarakat merasa putus asa dan mempertanyakan dasar dari kenaikan tunjangan DPR sedangan untuk mencari sesuap nasi saja sudah susah. Bukannya bersikap humanis atas gejolak yang terjadi mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang membidangi hukum dari Fraksi Partai Nasdem justru memperkeruh suasana dengan pernyataannya yang semakin melukai hati masyarakat.
Melihat peristiwa yang terjadi Ketua Umum Eksekutif Nasional Serikat Pemuda Reformasi Sumatera Utara (EN-SPARTA) Josua Christian Lumban Tobing,S.H menganggap gejolak aksi masa merupakan luapan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap wakil rakyat.
“Para wakil rakyat seharusnya berpikir dulu sebelum bicara, coba hitung kembali berapa tunjangan yang mereka terima, 50 juta tunjangan dan kos 3 juta sebulan. Berarti sisa 47 juta. Dan kenapa dikali 26 hari kerja? artinya kalau dihitung hari kerja, maka 3juta itu perhari dan dikali 26 maka totalnya 78 juta, itu udah untung belum lagi tunjangan lainnya. Ditambah lagi disaat masih banyak masyarakat miskin, angka pengangguran tinggi, angka rupiah melemah sudah diangka 16.435,65 rupiah untuk 1 dolar. Seharusnya para wakil rakyat itu berfikir untuk rakyat, karena mereka dipilih oleh rakyat bukan hanya memikirkan isi perut mereka sendiri”Ujar Ketua Umum En-Sparta Josua Tobing
Ketidakpuasan publik kepada DPR menimbulkan demonstrasi yang masih terus berlanjut di beberapa daerah di indonesia, di Sumatera Utara mahasiswa sudah serentak beberapa waktu lalu melakukan aksi, tindakan Represif Kepolisian mengakibatkan banyak dari mahasiswa mengalami luka-luka
Josua Christian Lumban Tobing,S.H Ketua Umum Serikat Pemuda Reformasi Sumatera Utara (EN-SPARTA) yang juga berprofesi sebagai paralegal mendesak Bapak Kapolri Jendral Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.SI untuk mencopot Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, S.I.K., M.H dari jabatannya karena dinilai gagal dalam membina anggotanya
“Para aktivis mahasiswa ada yang terluka, dipukul sampai dijahit kepalanya. Mahasiswa hanya menyampaikan aspirasi akibat dari pernyataan DPR. Banyak cara lebih efektif dalam menanggulangi peserta aksi. Mereka itu hanya mau jumpa dengan wakil rakyatnya saja bukan bentrok dengan kepolisian. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 mengatur tentang menyampaikan pendapat dimuka umum. Seharus nya Kapolda Sumatera Utara bisa membina anggotanya untuk tidak Represif kepada mahasiswa, Tindakan anggota kepolisian sudah kelewat batas dalam hal menertibkan peserta demonstrasi, saya mendesak bapak Kapolri untuk mencopot Kapolda Sumatera Utara yang dinilai gagal menciptakan kondusifitas perserta aksi”Tegas Josua Tobing yang juga pernah menjabat sebagai ketua GMKI Asahan Periode 2021-2022
Lanjut Josua Tobing juga Mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara Untuk Segera melakukan penyelidikan terkait SPPD dan Pokir DPRD Provinsi Sumatra Utara.
Ketua Umum En-Sparta Josua Tobing juga mengajak dan menghimbau masyarakat serta mahasiswa untuk tetap jaga diri dalam melakukan aksi dan fokus perihal mengawasi kebijakan yang akan dibuat DPR akibat Aksi-aksi yang terjadi.
“Kita jangan buyar tetap fokus mengkritisi DPR. Kita aksi tetap tuntutan yang sama meminta kepada Majelis Kehormatan Dewan DPR untuk memecat para Anggota DPR yang menyakiti hati masyarakat. Kita harus paham, isu yang berkembang adalah membubarkan DPR tetapi di negara yang menganut sistem presidensial secara konstitusional sangat mustahil terjadi, Satu-satunya jalan adalah dengan terlebih dahulu melakukan amandemen Undang-Undang Dasar yang merupakan dasar konstitusional kelembagaaan DPR dan memasukkan ketentuan terkait dengan pembubaran DPR “pungkas Josua Tobing.
Penulis | Ril