Distribusi dan Perdagangan Jadi Kunci Pengendalian Inflasi di Sumut

topmetro.news, Medan– Dinas Perdagangan, Perindustrian, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disperindag dan ESDM) Sumatera Utara menegaskan bahwa kendali harga komoditas pangan, khususnya cabai merah, jagung, telur, dan ayam boiler, sangat ditentukan oleh stabilitas rantai distribusi dan perdagangan antar daerah.

Kepala Disperindag dan ESDM Sumut, Fitra Kurnia, mengungkapkan bahwa pada 9 September 2025 lalu harga cabai merah di Sumut tercatat Rp75.737 per kilogram. Angka ini berada di atas rata-rata nasional Rp75.280, sekaligus jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp55.000 per kilogram.

“Untuk menyikapi kondisi ini kami segera berkoordinasi dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura, serta Bank Indonesia. Upaya dilakukan dengan menghubungkan daerah defisit cabai merah seperti Humbahas, dengan suplai dari Karo dan Batubara,” jelas Fitra di Kantor Gubernur Sumut, Kamis (18/9).

Ia menambahkan, Bank Indonesia turut memberikan subsidi angkutan agar distribusi cabai merah lebih lancar. Hal serupa juga dilakukan saat terjadi kelangkaan cabai di Tapanuli Tengah pada 12 September, yang langsung diantisipasi dengan pasokan tambahan dari Batubara.

Hasilnya, pada 17 September harga cabai merah berhasil ditekan hingga Rp71.685 per kilogram. Namun, Fitra mengingatkan masih ada tantangan lain berupa aliran cabai segar yang diduga banyak dibeli pedagang luar provinsi.

“Bahkan sempat ada informasi cabai merah kita mengalir ke Kepulauan Riau. Tapi setelah dicek, ternyata harga di Riau juga ikut naik, artinya masalah distribusi dan pasokan ini memang terjadi secara nasional,” ujarnya.

Selain cabai, persoalan jagung pipil juga menjadi sorotan. Menurut Fitra, fenomena pembelian langsung panen petani oleh produsen pakan ternak menyebabkan pasokan di tingkat lokal berkurang. Sejak Januari hingga kini belum ada impor jagung dibuka, dengan tujuan memperkuat ketahanan pangan nasional.

“Di satu sisi kebijakan ini mensejahterakan petani, tetapi di sisi lain pabrik pakan ternak mengalami tekanan karena pasokan terbatas. Padahal kebutuhan pakan ini sangat vital untuk peternak ayam pedaging maupun petelur,” ungkapnya.

Untuk itu, pihaknya sudah mengirimkan notifikasi ke kabupaten/kota agar lebih waspada dan mengawasi pola pembelian di lokasi panen. Fitra juga berharap BUMN pangan hadir lebih aktif, sehingga hasil panen tidak 100 persen keluar provinsi atau hanya dikuasai produsen besar.

Di sisi lain, Disperindag dan ESDM Sumut mencatat kinerja positif pada komoditas telur ayam. HET pemerintah sebesar Rp30.000 per kilogram berhasil ditekan menjadi Rp24.000–Rp28.000, berkat kerja sama lintas kabupaten/kota dalam menambah pasokan di wilayah yang kekurangan.

“Untuk ayam boiler juga bisa kita tahan di kisaran Rp33.000–Rp38.000 per kilogram. Ini di bawah HET nasional Rp40.000. Bahkan secara rata-rata, harga ayam di Sumut 14 persen lebih rendah dari nasional yang mencapai Rp37.320,” kata Fitra.

Ia menegaskan, keberhasilan menjaga stabilitas harga tidak semata-mata bergantung pada produksi, melainkan juga distribusi yang lancar dan koordinasi antar daerah.

“Distribusi dan perdagangan menjadi kunci. Kalau rantai pasok terganggu, harga pasti melonjak. Karena itu koordinasi antarinstansi, dukungan Bank Indonesia, serta peran BUMN pangan sangat penting untuk menjaga inflasi tetap terkendali,” pungkasnya.

Penulis | Erris

Related posts

Leave a Comment