Pemprov Sumut Dinilai Gagal Antisipasi Inflasi, Pengamat: Kebijakan Terlambat

topmetro.news, Medan — Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara (Sumut) pada triwulan II 2025 tercatat sebesar 4,69 persen secara tahunan (year on year). Namun di sisi lain, inflasi di daerah ini justru mencapai 5,32 persen (yoy) pada September 2025.

Kondisi tersebut, menurut pengamat ekonomi Gunawan Benjamin, menunjukkan pendapatan masyarakat tidak mampu mengimbangi laju kenaikan harga barang kebutuhan pokok.

“Kasarnya, dalam setahun terakhir pengeluaran masyarakat naik 5,32 persen, tapi pendapatan mereka hanya naik 4,69 persen. Masyarakat jelas dirugikan,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (7/10).

Gunawan menilai, pemerintah daerah gagal mengantisipasi tekanan harga yang terus meningkat. Padahal, inflasi merupakan indikator yang masih bisa dikendalikan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada banyak faktor global dan fiskal.

“Pemda seharusnya sudah bisa membaca potensi inflasi dari pola tanam, cuaca, dan belanja masyarakat. Saat deflasi terjadi beruntun, itu justru pertanda inflasi besar akan datang. Tapi kebijakan mitigasi sering terlambat,” tegasnya.

Didorong Kenaikan Harga Cabai

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi bulanan (month to month) di Sumut pada September mencapai 0,65 persen, didorong oleh lonjakan harga cabai merah dan cabai rawit yang sempat menembus Rp100.000 per kilogram. Kenaikan harga tersebut mendorong Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman hortikultura dari 95,46 pada Agustus menjadi 107,07 pada September — naik signifikan 12,17 persen.

Gunawan menilai, lonjakan harga cabai menjadi “pedang bermata dua”. Di satu sisi, petani diuntungkan karena daya beli mereka membaik. Namun di sisi lain, konsumen dan pedagang eceran menanggung beban berat akibat daya beli yang menurun.

“Kenaikan harga cabai memang memulihkan pendapatan petani, tapi menekan belanja masyarakat. Untungnya, petani punya modal untuk tanam lagi, jadi pasokan cabai berpeluang pulih di November mendatang,” ujarnya.

Ia memproyeksikan harga cabai akan menurun pada November seiring melimpahnya pasokan dari Aceh, Jambi, Sumatera Barat, hingga Jawa. Namun faktor cuaca masih menjadi variabel tak terprediksi.

Gunawan juga menyoroti efek program Makan Bergizi Gratis (MBG) terhadap sektor pangan. Ia mencatat, sejak Juni 2025, produksi ayam hidup di Sumut dan provinsi sekitar meningkat tajam hingga 45 persen, dengan kenaikan lanjutan 38 persen diproyeksikan pada Oktober.

Peningkatan ini, kata Gunawan, mencerminkan perputaran ekonomi yang baik dari sisi belanja pemerintah. Namun, keberhasilan program MBG terancam oleh isu keracunan massal yang sempat mencuat.

“Roda ekonomi berputar lewat MBG. Tapi pemerintah harus memastikan program ini aman dan diterima masyarakat. Kalau masalah seperti keracunan tidak segera diatasi, dampaknya bisa balik negatif,” ujarnya.

Gunawan mengingatkan agar dapur penyelenggara MBG tidak terlalu bergantung pada telur ayam sebagai lauk utama. Sebab, siklus produksi telur jauh lebih panjang (18 minggu) dibandingkan ayam potong (25 hari).

“Kalau konsumsi telur naik tajam sekarang, harga bisa melonjak dan memicu inflasi baru. Pemerintah harus merencanakan konsumsi dan produksinya agar tidak menimbulkan gejolak harga,” katanya.

Ia menyarankan, sebelum memperluas program MBG, pemerintah perlu sosialisasi kepada peternak dan pelaku usaha agar pasokan pangan bisa disiapkan dengan matang.

“Jangan sampai kebijakan tanpa perencanaan justru memicu gaduh di tengah masyarakat,” pungkasnya.

Kinerja ekonomi Sumut kini berada dalam situasi paradoks: pertumbuhan yang melambat di tengah tekanan inflasi yang tinggi. Pemprov Sumut tentu dituntut tidak hanya mendorong pertumbuhan melalui belanja publik, tetapi juga menjaga kestabilan harga dan daya beli masyarakat agar tidak terjadi “pertumbuhan semu” yang justru menekan kesejahteraan warga.

Penulis | Erris

Related posts

Leave a Comment