topmetro.news, Langkat – Arahan pemerintah pusat mewajibkan program efisiensi anggaran di seluruh kementerian hingga ke OPD, mulai dari pemprov, pemkab/pemko di seluruh wilayah Indonesia, sepertinya belum berlaku di Dinas Kesehatan Langkat.
Pasalnya, Kadis Kesehatan Langkat dr Juliana MM, disebut-sebut malah memanfaatkan jabatannya untuk berbisnis pribadi menjual produk kesehatan jenis herbal kepada bawahannya. Kebijakan pribadi pimpinan OPD di Pemkab Langkat itu pun menjadi sorotan keluarga para petugas kesehatan di ‘Bumi Langkat Bertuah’ ini.
Informasi yang disampaikan oleh keluarga beberapa kepala puskesmas (kapus), mengatakan, bahwa para kapus diwajibkan membeli paket produk herbal merk Herbalife yang dilakukan pada setiap kegiatan olahraga di dinas terkait senilai Rp2,5 juta/paket.
Hal ini tentu memberatkan para kapus di tengah-tengah tekanan pemberlakuan efisiensi anggaran. Apalagi diketahui, bisnis produk jenis ini berlangsung berjalan seperti bisnis Multi Level Marketing (MLM) dengan cara jaringan (jejaring).
Bisnis pribadi yang disebut-sebut dilakukan massif dengan cara mewajibkan seluruh bawahannya (ASN) Dinkes Langkat membeli produk Herbalife oleh Kadinkes, tentu dianggap telah melanggar hukum dan termasuk dalam penyalahgunaan wewenang dan bentuk perbuatan korupsi.
“Jika hal itu (bisnis pribadi jual produk) benar, praktik di mana seorang kepala dinas memanfaatkan jabatannya untuk berbisnis pribadi dan mewajibkan bawahan atau pihak lain membeli produknya, itu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan termasuk dalam perbuatan korupsi,” ujar Harianto Ginting SH MH, selaku advokat dan penggiat antikorupsi yang telah mendapatkan penghargaan dari KPK RI ini.
Dijelaskan Harianto Ginting, tindakan ini melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk UU tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan UU Tindak Pidana Korupsi.
“Ingat. Bentuk pelanggaran berdasarkan UU ASN itu jelas disebutkan melarang keras penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi. Praktik tersebut dianggap sebagai pelanggaran kode etik dan kode perilaku ASN. Sebab, ASN harus menjunjung tinggi martabat, kehormatan, dan citra institusi dengan tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan. Sementara maksud dari penyalahgunaan wewenang, yakni jabatan dan wewenang yang melekat pada kepala dinas adalah untuk kepentingan publik, bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok,” tegasnya.
Sedangkan bentuk diskriminatif dalam bertugas, yakni memaksa bawahan untuk membeli produk adalah bentuk diskriminasi dan penyalahgunaan posisi.
“Sanksi kepegawaian untuk pelanggaran berat semacam ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hukuman yang dapat dijatuhkan meliputi, penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai PNS,” bebernya.
Tindak Pidana Korupsi
Di luar sanksi kepegawaian, Harianto juga mengungkapkan, bahwa tindakan Kepala Dinas Kesehatan ini juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
“Perbuatan pemerasan, jika kepala dinas memaksa bawahan atau pihak lain untuk membeli produknya di luar keinginan mereka. Tindakan ini bisa masuk dalam pasal pemerasan. Sementara, bentuk penyalahgunaan jabatan, yakni memaksa orang untuk membeli produk demi keuntungan pribadi, yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Selain itu, jika memang benar kasus itu benar, maka sudah terjadi tindak kejahatan jabatan. Kejahatan ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga termasuk tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana,” urainya.
Dijelaskan Harianto, bahwa sanksi pidana yang dapat dikenakan atas tindak pidana korupsi ini diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, yang memberikan hukuman berupa pidana penjara dan denda.
“Jadi, apabila terjadi kasus seperti ini, pegawai yang menjadi korban atau masyarakat dapat melaporkannya melalui berbagai jalur ke aparat penegak hukum (APH) yang berwenang, seperti kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Kepegawaian Negara (BKN). Juga bisa melaporkan melalui jalur kedinasan untuk memproses sanksi disiplin ASN. Bisa juga melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila terjadi keputusan yang merugikan terkait jabatan akibat penolakan untuk berbisnis,” tandasnya.
Bantahan Kadinkes
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Langkat dr Juliana MM, saat dikonfirmasi terkait adanya tudingan bahwa yang bersangkutan diduga telah memanfaatkan jabatan untuk memaksa berbisnis Herbalife kepada seluruh kapus dan bawahan, membantahnya.
Konfirmasi yang dilayangkan media ini sejak tanggal 30 Oktober 2025, baru dijawab dr Juliana melalui Sekretaris Dinkes Sri Mahyuni SKM MKM, pada Hari Kamis (6/11/2025).
“Kata Ibu Kadis, apa yang Abang konformasi terkait bisnis pribadi menjual Herbalife kepada seluruh Kapus, gak benar itu Bang. Bu Kadis bilang, gak benar itu Bang,” ujar Sri Mahyuni melalui telpon WhatsApp.
Sri Mahyuni juga meminta topmetro agar menyebutkan nama-nama kepala puskesmas yang menginformasikan tudingan Kadis Kesehatan memaksa membeli produk Herbalife.
“Coba minta tolonglah Bang, Kapus mana yang bilang Kadis memaksa membeli paket produk Herbalife. Kan sebagai wartawan harus berimbang dengan menyebutkan sumber informasinya,” ujar Sri Mahyuni, yang tentu saja permintaannya ditolak wartawan topmetro.news mengingat UU Pers No 40 Tahun 1999 dalam Pasal 1 Ayat (10), UU RI No 40/ Tahun 1999 tentang Pers, dan Pasal 15 Ayat (3) UU Pers yakni: Pers wajib melayani hak tolak dalam menyebutkan nara sumber.
reporter | Rudy Hartono
