topmetro.news, Medan – Ratusan warga Dusun I Pasar 7, Desa Marindal I, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, melakukan aksi penolakan terhadap upaya eksekusi lahan seluas 3 hektar oleh Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam, Rabu (12/11). Lahan tersebut telah menjadi tempat tinggal puluhan masyarakat setempat.
Warga memblokir Jalan Mekatani Gang Kedondong menuju lokasi sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang yang diduga melibatkan mafia tanah. Aksi ini merupakan buntut dari sengketa lahan yang berkepanjangan antara warga dengan seorang wanita bernama Suryanti, yang mengaku sebagai pemilik lahan.
Masno, Trantip Desa Marindal I, yang mewakili warga, menyatakan bahwa mereka akan mempertahankan lahan tersebut hingga titik darah penghabisan. Warga telah lama menduduki lahan tersebut, termasuk fasilitas umum di dalamnya, dan memiliki alas hak untuk menguasai tempat tinggal mereka. Namun, tiba-tiba muncul klaim kepemilikan dari pihak yang tidak dikenal.
“Warga tidak tahu siapa orang yang mengaku sebagai pemilik lahan ini. Yang bersangkutan tidak pernah datang ke tempat ini, dan kami tidak tahu namanya atau ciri-cirinya. Kabarnya, dia adalah warga turunan Tionghoa yang berdomisili di Pekanbaru,” ujar Masno.
Perwakilan warga telah melakukan penyelidikan dan bertemu dengan seorang wanita tua bernama Suryanti di Pekanbaru. Suryanti mengaku memiliki alas hak atas lahan tersebut sejak tahun 1979. Namun, warga merasa curiga karena Suryanti digugat oleh anak kandungnya sendiri atas lahan tersebut. Mereka menduga ada keterlibatan mafia tanah di balik gugatan ini.
“Kami melihat kondisi mereka yang sangat sederhana, dan tidak logis jika mereka bisa melakukan gugatan ke pengadilan tanpa ada bantuan dari mafia tanah,” terang Masno.
Warga juga mempertanyakan legalitas alas hak Suryanti, karena pada tahun 1979 lahan tersebut masih milik PTPN II yang ditanami cokelat. Seiring berjalannya waktu, lahan tersebut menjadi eks Hak Guna Usaha (HGU) dan diduduki oleh masyarakat. “Mungkinkah pada tahun 1979 lahan milik pemerintah (PTPN II) bisa diperjualbelikan? Ini sangat aneh,” tegas Masno.
Oleh karena itu, warga menolak keras eksekusi yang dilakukan oleh PN Lubuk Pakam. Mereka menilai pengadilan tidak berpihak kepada masyarakat kecil dan justru membantu mafia tanah yang merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Warga berharap pemerintah dan aparat hukum dapat meneliti ulang putusan PN Lubuk Pakam, karena banyak masyarakat yang memiliki alas hak berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan bukti pembayaran pajak. Upaya eksekusi ini telah dilakukan sebanyak tiga kali, namun selalu gagal karena perlawanan dari warga.
Sabrina Hag, seorang warga yang telah lama berdomisili di lokasi, menambahkan bahwa Suryanti adalah ibu dari Darmoni, yang menggugat ibunya sendiri. Namun, warga tidak mengenal mereka dan hanya mengetahui pengacara serta pengadilan yang memihak mafia. Pengadilan juga menolak menerima saksi dan bukti kepemilikan dari warga, meskipun PTPN telah menyatakan bahwa lahan tersebut adalah tanah negara.
Ketua Kelompok Tani Berjuang Murni Marindal I, Taomindoana Br Simamora, menjelaskan bahwa lahan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat sejak tahun 2000-an setelah HGU tidak lagi diperpanjang oleh PTPN II. Namun, masyarakat selalu dihadapkan pada masalah mafia tanah yang berlindung di balik putusan PN Lubuk Pakam.
“Kami mohon kepada Bapak Presiden dan para menteri, jangan gusur kami. Kami tahu ini bekas eks HGU PTPN II yang kini menjadi PTPN Regional I. Tolong sertifikatkan tanah kami yang hanya setapak rumah ini. Kami bukan mafia, janganlah kami selalu diperhadapkan dengan mafia tanah dan mafia peradilan,” serunya.
Warga menyatakan kesediaannya untuk membayar jika pemerintah menetapkan kewajiban pembayaran, asalkan tidak memberatkan mereka. Mereka hanya ingin hidup tenang dan tidak terus-menerus ditakut-takuti oleh mafia tanah.
Reporter Abdul Milala
