topmetro.news – IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia), adalah satu-satunya organisasi yang menaungi profesi akuntan publik untuk Indonesia. Demikian disampaikan oleh anggota Tim Pemberantasan Akuntan Publik Palsu Dr Zulfikri Aboebakar SE CPA SH MH, Senin (26/10/2020), menjawab pertanyaan wartawan, usai penundaan sidang lanjutan permohonan PK yang diajukan Flora Simbolon, terkait kasus dugaan korupsi IPA Martubung.
“Untuk menjadi akuntan publik harus menjadi anggota IAPI. Sementara untuk jadi anggota IAPI, harus lulus ujian yang dilaksanakan oleh IAPI bekerja sama dengan OJK, BI, Kemenkeu, dan BPK,” tegas Zulfikri Aboebakar dari Komite Keanggotaan dan Advokasi IAPI ini.
Pada kesempatan itu, masih menjawab pertanyaan wartawan, Zulfikri menegaskan, bahwa Hernolf F Makawimbang tidak tercatat sebagai anggota IAPI. Ia pun mengaku tidak mengenal orang bernama Hernold F Makawimbang tersebut. “IAPI punya ada daftar anggota yang jelas dan teratur. Dan nama Hernold F Makawimbang tidak ada dalam daftar. Saya sendiri pun tidak mengenalnya,” sebut Zulfikri Aboebakar.
“Dengan demikian, maka dia (Hernold F Makawimbang-red) tidak berhak mengaku akuntan publik yang sah. Dan apalagi kalau hasil auditnya dijadikan sebagai dasar pertimbangan tuntutan atau putusan pengadilan, maka menurut saya, itu tidak sah. Jelasnya, hasil kerjanya tidak bisa digunakan untuk pengadilan. Kalau digunakan, maka menurut saya, tuntutan dan vonis bisa menjadi cacat hukum,” tandasnya.
Oleh karena itu, tegasnya, karena tidak tercatat sebagai anggota IAPI, maka Hernold F Makawimbang tidak berhak mengaku sebagai akuntan publik. Apalagi kalau hasil kerjanya dijadikan sebagai pertimbangan dalam sebuah proses pengadilan yang sah.
“Kalau melakukan penghitungan, siapa saja bisa. Tapi untuk digunakan dalam pengadilan yang sah, maka akuntan publik itu harus orang yang sah. Dan sebagaimana aturan, akuntan publik sah kalau menjadi anggota IAPI. Kalau tidak terdaftar di IAPI, maka dia tidak sah sebagai akuntan publik dan hasil kerjanya tidak sah untuk sebagai bahan pertimbangan dalam pengadilan. Saya kira ini hanya logika umum yang sederhana,” katanya lagi.
Jaksa Bisa Dipidana
Sementara itu, praktisi hukum Rahmat Junjungan M Sianturi mengatakan, siapa pun yang melakukan kebohongan yang merugikan orang lain, bisa kena pidana, tidak terkecuali jaksa.
Hal ini ia sampaikan, Minggu (25/10/2020), menjawab pertanyaan wartawan, terkait pengakuan Jaksa Nurdiono, bahwa telah ada sidang yang mengajukan masing-masing terdakwa dalam kasus dugaan korupsi IPA Martubung, sebagai saksi satu sama lain, untuk membuktikan dakwaan, yakni secara bersama-sama melakukan tindak pidana dugaan korupsi.
Sementara salah satu terdakwa, yaitu M Suhairi MM membantah telah dihadirkan sebagai saksi untuk persidangan terdakwa Flora Simbolon.
“Pada dasarnya berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana. Lain halnya apabila kebohongan itu dibarengi dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Misalnya memakai nama palsu atau martabat palsu seperti apa yang dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Jadi bila jaksa hanya berkata bohong di hadapan pers atau media dan perbuatannya tidak memenuhi unsur unsur 378 KUHP, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana,” katanya.
“Tapi akan berbeda jika perbuatan si jaksa tersebut, memberikan pernyataan tidak benar tersebut, diberikan di atas sumpah. Jika pernyataan tidak benar tersebut diberikan di atas sumpah, maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP,” sambungnya.
Dia pun menyampaikan, seyogyanya seorang penegak hukum haruslah berbicara jujur dan transparan mengungkap suatu pemeriksaan dalam persidangan. “Agar menjadi terang semuanya dan terciptalah keadilan yang sesungguhnya. Baik dari jaksa, hakim, advokat, polisi, harusnya mempunyai semangat menegakkan keadilan. Karena profesi kita ini hanya titipan. Semua akan kita pertanggungjawabkan di akhirat nanti,” katanya.
“Dan jika jaksa mengungkapkan kebohongan, apalagi dalam persidangan, maka terdakwa ataupun kuasanya bisa langsung memohon kepada majelis hakim agar kembali digelar pemeriksaan keterangan dari para terdakwa jika ada hal hal yang dianggap perlu, demi terangnya suatu pemeriksaan. Karena hakim perlu mencari kebenaran materil,” sambung dia.
“Tegasnya, kalau memang kebohongan itu berlangsung dalam proses persidangan, maka harus diberikan sanksi kepada oknum jaksa itu karena tidak jujur dan tidak profesional,” tutupnya.
Penundaan Sidang
Sidang yang harusnya berlangsung, Senin (26/10/2020), seyogyanya adalah agenda pemeriksaan ahli untuk pembuktian dari pemohon. Namun karena hakim tidak lengkap dan panitera pengganti pun ternyata sakit serta penggantinya belum ditentukan, maka sidang diundurkan hingga tanggal 9 November 2020 pukul 10.00 WIB.
Pemohon PK paa saat itu menyampaikan harapan agar sidang bisa dilanjutkan. Namun karena kondisional tidak bisa dilanjutkan, apalagi ini adalah sidang pembuktian, hakim menyebut hanya mencatat permintaan itu. Namun sidang tetap akan berlanjut pada tanggal 9 November 2020.
Akan hal penundaan itu, penasihat hukum pemohon PK sempat menyampaikan rasa kecewanya. Kepada hakim dia mengatakan, seharusnya penundaan bisa diberitahukan sebelum hari persidangan, apalagi alasannya adalah karena cuti. “Sehingga saksi yang harus didatangkan dengan upaya dari Jakarta, tidak menjadi sia-sia,” katanya.
reporter | Jeremi Taran