Arab Saudi, Negara Kaya Minyak dengan Utang Maha Dahsyat!

negara kaya minyak

topmetro.news – Meski Arab Saudi dikenal sebagai negara yang kaya akan minyak, negara terbesar di Semenanjung Arab itu juga memiliki tanggungan yang banyak. Bahkan, negara Petrodollar ini harus berhutang untuk memenuhi anggarannya.

Defisit APBN pertama terjadi pada tahun 2014. Pada saat itu Arab Saudi melaporkan defisit sebesar 54 miliar Riyal atau sekitar Rp203 triliun. Saat itu posisi utang pemerintah mencapai 60,1 miliar Riyal (Rp225 triliun).

Defisit besar ini terjadi karena biaya perluasan kompleks dua masjid suci Umat Islam yaitu Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah. Harapannya, dapat menampung 2,5 juta jamaah yang mengunjungi kedua masjid. Sementara pada sisi lain, harga minyak waktu itu jatuh dan membuat Riyadh tak mampu untuk membiayai perluasan itu.

Pada tahun 2015, Saudi kembali rugi bandar setelah Raja Arab Saudi yang baru, Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, memutuskan untuk mengikuti perang sipil Yaman.

Bagi Saudi, Yaman yang dalam penguasaan Kelompok Houthi sokongan rivalnya Iran adalah kunci geopolitik yang sangat penting dalam memperluas pengaruh Riyadh untuk Timur Tengah. Selain itu harga minyak yang masih rendah juga mengurangi jumlah pendapatan negara yang bergantung pada sektor migas.

BACA | Pengumuman: AirAsia Jepang Bangkrut!

Defisit Membengkak

Defisit APBN Saudi pada 2015 membengkak menjadi 367 miliar Riyal (Rp1.378 triliun). Sehingg defisit fantastis itu membuat Riyadh untuk menambah hutangnya kembali. Total hutang Saudi pada 2015 bertambah menjadi 142 miliar Riyal (Rp533 triliun).

Tahun 2016, ekonomi Saudi lebih baik dari prediksi, namun masih dalam jurang defisit APBN. Defisit Arab Saudi pada 2016 mencapai 297 miliar Riyal (Rp1.115 triliun). Jauh dari prediksi 326 miliar Riyal (Rp1.224 triliun). Sementara total hutangnya meledak mencapai 316,5 miliar Riyal (Rp1.188 triliun). Hal ini masih karena harga minyak yang rendah pada 2,5 tahun terakhir

Keadaan ekonomi Saudi ini membuat dunia khawatir akan masa depan negara itu yang sangat bergantung dari migas. Padahal, dunia sudah mulai memalingkan fokusnya dari minyak ke energi terbarukan yang tidak menimbulkan polusi.

Pada 2017, defisit APBN Saudi mengecil. Defisit itu hanya 8,9% dari total APBN. Total defisit turun menjadi 230 miliar Riyal (Rp863 triliun). Sementara hutang negara itu menjadi 443,1 miliar Riyal (Rp1.663 triliun)

Beberapa hal yang dilakukan pemerintah Arab Saudi untuk mengecilkan defisit ialah menaikkan pajak bagi produk-produk, seperti rokok dan minuman kemasan. Selain itu negeri kerajaan itu juga merombak peraturan perpajakan.

Memasuki 2018, Riyadh memperbaiki ekonominya dengan baik. Tercatat penerimaan negara naik menjadi 783 miliar Riyal (Rp2.900 triliun). Lalu defisit hanya 195 miliar Riyal (Rp732 triliun). Sementara hutang negara naik ke angka 558 miliar Riyal (Rp2.095 triliun).

Pada April 2018, Arab Saudi menerbitkan obligasi. Surat hutang negara itu berhasil menarik dana sebesar 41,25 miliar Riyal (Rp154 triliun).

Tahun 2019, negeri dua kota suci itu mengalami defisit kembali sebesar 131,5 miliar Riyal (Rp493 triliun). Serta menambah utang menjadi 657 miliar Riyal (Rp2.466 triliun)

Dinamika Covid-19

Memasuki 2020, banyak kejadian yang membuat dinamika baru pada perekonomian Arab Saudi. Menteri Keuangan Saudi Mohammed Al Jaddan memprediksi bahwa penerimaan negara turun menjadi 833 miliar Riyal (Rp3.128 triliun). Turun dibanding 2019 yang mencatatkan penerimaan tahun 2019 yang mencapai 975 miliar Riyal (Rp3.661 triliun).

Namun pada awal tahun 2020, turbulensi politik mulai terjadi setelah Amerika Serikat menembakkan rudalnya ke arah iring-iringan seorang jenderal tertinggi Iran Qassem Solemani. Saat itu Saudi mencetak kembali obligasi senilai 18,75 miliar Riyal (Rp70 triliun).

Turbulensi politik yang mencemaskan pada kawasan Timur Tengah bukan cuma hal yang mewarnai ekonomi negara padang pasir itu. Pandemi Covid-19 yang menekan permintaan pasar akan minyak dan larangan perjalanan untuk jamaah haji dan umrah bakal membuat peneriman negara itu ambles. pada sisi lain, penanganan Covid-19 yang membutuhkan dana besar akan memaksa Arab Saudi berhutang lagi.

Pemerintah merevisi target pendapatan menjadi 770 miliar Riyal (Rp2.891 triliun), turun 16,9% dibanding 2019. Sementara hutang diprediksi membengkak menjadi 941 miliar Riyal (Rp3.533 triliun), membuncit 32,9% berbanding hutang 2019.

sumber | CNBC Indonesia

Related posts

Leave a Comment