Australia Bangun Kabel di Bawah Laut RI, Nilainya Rp36 Triliun, Indonesia Dapat Apa?

Australia membangun kabel di bawah Laut Indonesia

topmetro.news – Pengamat bisnis di Medan, Raya Timbul Manurung, menyoroti rencana Australia membangun kabel di bawah Laut Indonesia. Hal ini ia sampaikan kepada topmetro.news, Jumat (24/9/2021), menanggapi statemen Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan terkait proyek tersebut.

Sebagaimana berita beredar, Australia AA Power Link akan melaksanakan proyek kabel di bawah Laut Indonesia senilai Rp36,7 triliun. Kabel tersebut menghubungkan Australia sebagai penjual listrik tenaga surya 17-20 ribu MW dengan Singapura sebagai pembeli. Australia menyiapkan lahan 20.000 hektar untuk menghasilkan 20 ribu MW listrik tenaga surya. Kebutuhan lahan untuk 1 MW, adalah 1 hektar.

Menurut Ratiman, sapaan akrab Raya Timbul Manurung, investasi tersebut terbilang kontroversial. Terutama kalau dibuat perbandingan antara keuntungan Australia dan Singapura, serta apa manfaatnya bagi Indonesia.

“Australia membutuhkan Indonesia untuk meletakan kabel jaringan listrik tegangan tinggi dari bawah laut Indonesia. Bila tidak boleh melewati Indonesia, maka kabel laut tersebut harus memutar dari Lautan India ke Selat Malaka lalu ke Singapura. Atau lewat Lautan Pasifik, Laut Filipina, Laut Natuna. Lalu kemudian ke Singapura,” urainya.

Menurutnya, dengan melewati Indonesia maka biaya investasi di kabel bawah laut akan berkurang sekitar 50%. Kemudian Singapura akan mendapat listrik dengan harga murah .Sementara bila tanpa melewati Indonesia, investasi akan bengkak 100%. Maka harga listrik di Singapura akan naik 100%.

Maka kemudian ia mempertanyakan, apa keuntungan dan manfaat bagi Indonesia? “Indonesia yang berjasa membuat investasi ini jadi menguntungkan dan Singapura mendapat Listrik dengan harga murah. Tetapi apa yang Indonesia peroleh setelah membantu investor yang numpang lewat sehingga beruntung dan Singapura juga beruntung? tanyanya.

“Bila investor menanam modalnya di Indonesia dan juga akan mendapat keuntungan, maka investor harus mendapat ijin. Serta mendapat nomor pokok wajib pajak (NPWP) sebagai pembayar pajak. Negara mendapat manfaat selama konstruksi, selama operasional. Serta mendapat pembayaran pajak keuntungan perusahaan dan pajak lainnya,” urai Manurung.

Maka menurutnya, manfaat yang harus dapat adalah:

  1. Kesempatan bekerja.
  2. Lokal konten untuk material pembangunan (kandungan lokal, produk industri dalam negeri) Sebagai contoh jaringan kabel Listrik Australia Singapura harus menggunakan kabel listrik buatan Indonesia.
  3. Menggunakan kontraktor dan suplier lokal.
  4. Pembayaran pajak PBB, pajak penghasilan perusahaan.

Wewenang PLN

Selain itu, Ratiman juga mempertanyakan, di mana fungsi dan wewenang PT PLN dalam hal ini? Pada saat ini, pengadaan semua jaringan listrik tegangan tinggi Indonesia adalah tugas dan wewenang PLN. Dan untuk itu, PLN membuat biaya distribusi.

Maka menurutnya, seharusnya jaringan kabel bawah laut tegangan tinggi tersebut adalah hak PLN. “Adalah hak PLN untuk membuat dan mengoperasikan milik PLN ataupun investasi. Harus BOT dengan PLN serta harus membayar ‘tol fee’ kepada Indonesia,” tandasnya.

“Sesuai UU, PLN yang punya hak distribusi dan mengelola jaringan tegangan tinggi. Maka perusahaan Australia harus memberikan konpensasi ‘tol fee’ kepada PLN. Serta wajib membuat BOT dengan PLN,” kata alumni Teknik Geologi UGM angkatan 1980 ini.

Ia pun membuat hitungan bisnis, apabila PLN yang sekarang sebagai pelaksana distribusi listrik dengan kabel jaringan tegangan tinggi, ikut terlibat.

“Harga jual listrik saat ini US$0,10 per kwh. Biaya distribusi PLN US$0,01 per kwh. Biaya produksi listrik PLN (produksi sendiri maupun beli dari produsen lain) US$0.08 per kwh. Margin PLN US$0,01 kwh,” jelasnya.

“Bila PLN mendistribusikan listrik Australia 20 ribu MW atau 20 juta kw, berarti pendapatan jasa distribusi per jam adalah 20.000.000 x US$0.01 = US$200.000 per jam. Artinya, pendapatan per hari adalah US$200.000 x 24 menjadi US$4.800.000 per hari. Maka, pendapatan per tahun adalah US$4,8 juta x 365 hari menjadi US$1,75 miliar,” papar Manurung.

“Bila dipotong untuk pembiayaan cicilan investasi jaringan kabel 50%, maka akan dapat US$875 juta per tahun.”

Tapi faktanya, menurut dia, Indonesia tak dapat apa-apa dari proyek kabel listrik Australia Singapura lewat Indonesia. “Asuransi ikan kesetrum dan nelayan kesetrum juga tidak dapat,” tegasnya.

“Sementara, semua pesawat yang terbang melintasi Indonesia harus dapat ijin dan membayar ATC fee, air traffic control fee. Lalu untuk kabel Australia ini dapat apa? Atau memang ada pihak tertentu yang dapat?” tanyanya.

Transfer Pengetahuan

Sebelumnya, Kamis (23/9/2021), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia mendapatkan investasi sebesar US$2,58 miliar atau setara Rp36,7 triliun (kurs Rp14.242) dari perusahaan tenaga listrik Australia, Sun Cable.

Investasi itu diberikan karena Sun Cable akan menarik kabel listrik dari Australia ke Singapura melalui Laut Indonesia. Melalui kabel proyek Australia-Asia PowerLink (AAPowerLink) akan mengirim listrik dari Australia ke Singapura.

Lebih lanjut, Luhut juga memastikan kerja sama itu juga dalam bentuk ilmu pengetahuan di bidang energi terbarukan. Mengingat, proyek dari Sun Cable ini terlaksana dalam rangka menurunkan emisi karbon di kawasan Asia.

“Komitmen Sun Cable dalam transfer ilmu pengetahuan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan dengan Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi 10 November. Serta pemberian beasiswa akan mampu mendorong inovasi di bidang energi terbarukan di masa depan,” tutur Luhut.

CEO Sun Cable David Griffin mengatakan, rincian dari total investasi US$2,58 miliar. Yakni termasuk investasi langsung senilai US$530 juta hingga US$1 miliar. Lalu senilai US$1,58 miliar untuk biaya operasional selama proyek berjalan.

Ia memastikan dalam melakukan investasi kabel listrik bawah laut, pihaknya telah mematuhi Kepmen KP No. 14/2021 tentang Alur Pipa dan/atau Kabel Bawah Laut.

Kata David, AAPowerLink sendiri adalah salah satu proyek Sun Cable untuk menekan nol karbon di kawasan Asia. David Griffin mengungkap AAPoweLink merupakan proyek dengan total nilai US$22 miliar.

“Nilai itu upaya untuk membangun, pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia 17-20 gigawatt. Baterai terbesar di dunia 36 gigawatt. Kabel di bawah laut terpanjang di dunia 800-4.200 km,” tutupnya.

berbagai sumber

Related posts

Leave a Comment