topmetro.news – Sidang perdana kasus dugaan korupsi kecurangan seleksi guru honorer Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kabupaten Langkat tahun 2023 digelar di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (5/3/2025), sekira pukul 11.10 WIB.
Terlihat 5 terdakwa mengenakan rompi berwarna merah jambu dihadirkan dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kelimanya adalah Kepala SDN 055975 Pancur Ido Awaluddin dan Kepala SD 056017 Tebing Tanjung Selamat Rahayu Ningsih. Kemudian Kepala Dinas Pendidikan Langkat Saiful Abdi, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Langkat Eka Syaputra Depari, dan Kepala Seksi Kesiswaan Bidang SD Dinas Pendidikan Langkat Alek Sander.
Membuka sidang, hakim bertanya tentang identitas para terdakwa. Empat terdakwa mengaku dalam kondisi sehat. Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Langkat Saiful Abdi mengaku sedang flu dan tampak menggunakan masker saat sidang berlangsung.
Kelimanya duduk saling berdampingan di hadapan hakim sambil mendengar pembacaan dakwaan oleh JPU. Sidang dugaan korupsi seleksi honorer PPPK 2023 tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ahmad Ukayat.
Usai mendengarkan surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ahmad Hayyul Wali, Majelis Hakim bertanya kepada lima terdakwa satu persatu. “Apakah anda saudara Alek Sander mengajukan keberatan atau eksepsi,” tanya hakim.
Mendapat pertanyaan Majelis Hakim, Alek terlihat berfikir sejenak lalu menjawab pernyataan hakim. “Tidak yang mulia,” sambil menggeleng kepala.
Pertanyaan yang sama juga disampaikan kepada terdakwa Awaludin dan Rahayu. Namun keduanya menjawab tidak merasa keberatan dengan dakwaan yang dibacakan.
Sementara, saat giliran Kadis Pendidikan (nonaktif) Saiful Abdi dan Kepala BKD Langkat (nonaktif) Eka Syahputra, saat ditanyakan pertanyaan yang sama, keduanya menjawab ragu. “Kami akan konsultasi dengan pengacara dulu yang mulia,” jawab Eka.
Hakim lalu menyampaikan bila nota keberatan atau eksepsi harus disampaikan saat itu juga. Kemudian, terdakwa Saiful Abdi dan Eka berbisik kepada kuasa hukumnya untuk meminta pendapat.
“Bagaimana apakah anda mengajukan eksepsi,” kata hakim.
Kemudian, Eka dan Saiful mengatakan bila mereka akan mengajukan eksepsi. “Ya, kami akan mengajukan eksepsi yang mulia,” jawab keduanya.
Majelis hakim lalu memutuskan untuk menggelar sidang eksepsi pada 12 Maret pekan depan.
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU, diketahui bila kelima tersangka memiliki peran masing-masing saat berlangsungnya proses awal seleksi penerimaan guru honorer PPPK tahun 2023. Kepala Dinas Pendidikan Langkat Saiful Abdi kemudian bertemu dengan tersangka Alek Sander yang merupakan Kepala Bidang di Dinas Pendidikan Langkat.
“Ada pertemuan Saipul Abdi bertemu dengan Alek Sander membicarakan soal perekrutan PPPK dan siapa yang ingin membayar untuk lolos ujian. Berapa biaya Rp 40 juta,” kata jaksa membacakan surat dakwaan.
Alek Sander kemudian melakukan pencarian terhadap peserta yang ingin mengikuti seleksi PPPK di Langkat kepada pihak kepala sekolah. Kemudian, Alek Sander bertemu dengan Awaludin salah seorang Kepala Sekolah SD dan juga Rahayu Ningsih.
Kemudian dari pertemuan itu, Awaludin memberikan data dan nama sejumlah orang yang mendaftar sebagai peserta PPPK yang mau membayar. Ada pun uang yang dibayarkan para korban senilai Rp45 juta sampai Rp50 juta per orang.
Kemudian,Saiful Abdi menyusun nama-nama yang telah membayar uang untuk ikut seleksi PPPK agar dapat dibantu lewat Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT).
Saiful Abdi diketahui menyerahkan nama nama peserta yang membayar kepada Eka Syaputra Depari selalu Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Langkat agar dapat diberikan nilai tinggi saat mengikuti ujian.
“Penilaian diberi nilai tinggi berdasarkan nama nama yang sudah diserahkan Saipul Abdi kepada Kepala BKD Eka Syahputra agar peserta yang membayar diberikan nilai tinggi. Dan Eka memberikan nilai tertinggi yakni 90 kepada nama nama tersebut,” lanjut JPU.
Sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Saiful Abdi kemudian menerima ratusan juta dari hasil seleksi PPPK tersebut.
Namun, dari peserta yang membayar, tidak semua dapat lolos seleksi PPPK karena nilai CAT yang rendah, meski Eka Syahputra selaku kepala BKD telah membantu memberi nilai tertinggi dalam ujian SKTT.
Para korban yang awalnya mendapat nilai CAT tinggi dan tidak membayar, ternyata tidak lulus, malah nilai CAT-nya berkurang. Namun banyak guru honorer yang telah membayar tapi ternyata tidak lulus juga.
Sehingga, para guru honorer yang dinyatakan tidak lulus tersebut melakukan protes, sehingga terbongkarlah kasus tersebut.
Sekedar mengingatkan, proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi seleksi PPPK Langkat Tahun 2023 telah memakan waktu satu tahun. Di mana perjuangan guru honorer Langkat dalam kasus ‘a quo’ penuh dengan air mata dan pengorbanan. Bahkan tidak sedikit yang mendapatkan intimidasi.
Sebagai informasi, dari keterangan tim kuasa hukum para korban dari LBH Medan, yakni Irvan Saputra SH MH dan Sofyan Muis Gajah SH, selama memperjuangkan haknya, ratusan guru honorer itu sebelumnya telah melakukan sepuluh kali aksi/demo untuk mendapatkan keadilan. Alhasil, Polda Sumut menetapkan lima tersangka.
Menurut Irvan, ratusan guru honorer yang terzolimi dan menjadi korban pelaksanaan ujian tambahan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT) siluman, yang menyebabkan terjadinya suap (korupsi) dengan meluluskan para calon guru honorer yang memiliki nilai CAT rendah oleh para tersangka.
Tidak cukup hanya itu. Sedari awal LBH Medan telah mengadvokasi ratusan guru honorer Langkat. LBH juga menduga, kasus yang menjerat kelima tersangka, kuat dugaan, adanya keterlibatan mantan Plt Bupati dan Sekda Langkat.
“Namun hingga saat ini Polda Sumut belum juga menegaskan status keduanya. Maka LBH Medan mendesak Polda Sumut untuk menindaklanjuti keterlibatan keduanya. Sebab, tidaklah mungkin kelima tersangka berani melakukan dugaan tindak pidana korupsi seleksi PPPK Langkat Tahun 2023 tanpa sepengetahuan pimpinan tertingginya,” terang Direktur LBH Medan tersebut.
“Dugaan tindak pidana korupsi PPPK Langkat sesungguhnya telah melanggar Pasal 28 UUD 1945, UU HAM, DUHAM, ICCPR dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik serta UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, juga dengan jelas melanggar UU Tipikor,” tutupnya.
reporter | Rudy Hartono