Kepala Sekolah di Samosir Berbohong Dalam Permohonan Ralat Berita

Seorang kepala sekolah di Kabupaten Samosir, Nurbetty Sitanggang, diduga memberikan informasi palsu dalam permohonan ralat berita yang diajukan kepada media online topmetro.news.

topmetro.news – Seorang kepala sekolah di Kabupaten Samosir, Nurbetty Sitanggang, diduga memberikan informasi palsu dalam permohonan ralat berita yang diajukan kepada media online topmetro.news.

Dalam surat elektronik (email) tersebut, Nurbetty mengaku sebagai petani. Padahal berdasarkan informasi yang terverifikasi, ia adalah kepala sekolah di SD Negeri 15 Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Kebohongan ini terungkap setelah media melakukan verifikasi dan menemukan bahwa status pekerjaan Nurbetty tidak sesuai dengan yang ia klaim dalam suratnya.

Tindakan ini pun menuai kritik, terutama dari kalangan jurnalis yang menilai kejujuran narasumber sangat penting dalam pemberitaan.

Pangihutan Sinaga seorang jurnalis yang telah mengantongi Sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menyatakan, bahwa tindakan memberikan informasi yang tidak benar kepada media merupakan bentuk manipulasi yang dapat merusak kepercayaan publik.

“Pada dasarnya media yang sudah verifikasi faktual Dewan Pers selalu mengedepankan prinsip verifikasi dalam setiap pemberitaan. Jika ada narasumber yang dengan sengaja memberikan informasi keliru, tentu itu sangat merugikan,” ujarnya.

Konsekuensi Hukum

Sementara praktisi hukum, Panal Limbong SH MH, menegaskan, bahwa kebohongan publik bukan hanya persoalan etika. Tetapi juga memiliki konsekuensi hukum.

Menurut Panal Limbong, email yang Nurbetty Sitanggang kirim ke redaksi topmetro.news, yang mana status pekerjaan tertulis sebagai petani dan kenyataan sebagai kepala sekolah, berarti dalam surat ada isinya yang tidak pas. Yakni soal pekerjaan.

Melihat KUHPidana Pasal 263, Nurbety, sudah memberikan surat yang isinya status pekerjaan palsu. Padahal dia sendiri bekerja sebagai kepala sekolah. “Jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat pernyataan palsu ini, mereka bisa menempuh jalur hukum untuk mendapatkan keadilan,” katanya.

Lebih lanjut Panal juga mengingatkan para ASN untuk lebih berhati-hati dalam bermedia sosial. Karena ada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, UU Nomor 5 Tahun 2014, Surat Edaran Menpan RB Nomor 137 Tahun 2018 tentang Etika.

Dari perspektif hukum, memberikan informasi palsu dapat dikenakan sanksi. Pasal 242 KUHP mengatur tentang sumpah palsu, sementara Pasal 28 Ayat (1) UU ITE melarang penyebaran informasi bohong yang dapat merugikan masyarakat. Selain itu, Pasal 311 KUHP juga bisa diterapkan jika kebohongan tersebut berdampak pada pencemaran nama baik.

Masyarakat diminta lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak mudah percaya tanpa verifikasi. Sementara itu, media juga diharapkan terus menjalankan fungsi kontrol dengan memastikan setiap berita yang dipublikasikan berdasarkan fakta yang valid.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dalam komunikasi antara narasumber dan media. Dan perlunya memahami peraturan perundang-undangan dan menjaga etika jika menulis di medsos.

reporter | Tetty Naibaho

Related posts

Leave a Comment