Oleh: Tetty Naibaho
LAYANAN Poli Mata di RSUD Hadrianus Sinaga kembali menimbulkan tanda tanya besar. Setelah diresmikan dengan seremonial pada Februari 2025, poli tersebut kini resmi ditutup karena kontrak kerja sama dengan SMEC (Sumatera Eye Center) diputus.
Pemutusan kontrak ini membuat RSUD tidak lagi memiliki dokter spesialis mata yang selama ini disediakan melalui kerja sama tersebut. Akibatnya, layanan Poli Mata berhenti total dan pasien tidak dapat dilayani.
Sumber internal menyebutkan bahwa BPJS hanya klaim 10 operasi mata per bulan. Sementara menurut Smec, harus ada 20 operasi untuk menutupi biaya operasional.
Pemutusan kontrak terjadi tanpa rencana pengganti yang matang. RSUD tidak menyiapkan tenaga dokter cadangan ataupun skema transisi, sehingga pelayanan langsung terhenti begitu kerja sama dihentikan.
Publik menilai langkah ini menunjukkan lemahnya Manajemen RSUD dalam menjaga keberlanjutan layanan vital. Banyak warga menilai bahwa efek domino dari keputusan tersebut mempermalukan peresmian yang sudah dilakukan Bupati, karena fasilitas yang dibanggakan di hadapan publik itu kini tidak berfungsi sama sekali.
Pasien sudah berharap tidak perlu jauh-jauh berobat ke luar daerah. Tapi sekarang poli ditutup karena tidak ada dokter. Ini jelas merugikan masyarakat. Saat ini, pasien yang membutuhkan pemeriksaan mata terpaksa dirujuk ke rumah sakit di Medan, Pematang Siantar ataupun kota lain yang jaraknya jauh lebih mahal dan menyulitkan.
Penutupan ini semakin menegaskan lemahnya koordinasi antara RSUD, Dinas Kesehatan, dan pemerintah daerah, terutama dalam memastikan layanan yang diresmikan dengan bangga itu benar-benar dapat berjalan jangka panjang.
Ada kegagalan yang bisa dimaklumi. Ada kekurangan yang bisa dimaafkan.
Tetapi menutup sebuah Poli Mata hanya beberapa bulan setelah diresmikan Bupati dan alasannya adalah tidak adanya dokter, bukan hanya tidak masuk akal — ini memalukan.
Lebih tepatnya: ini adalah bentuk ketidakmampuan Manajemen RSUD yang mencoreng muka pemerintah daerah.
Mari kita bicara jujur.
Poli Mata RSUD Hadrianus Sinaga diresmikan dengan acara megah: Spanduk besar, pidato, foto berjajar para pejabat, tepuk tangan, dan publikasi ke mana-mana. Seolah-olah ini tonggak besar pelayanan kesehatan di Samosir.
Namun semua itu runtuh seperti rumah kardus ketika publik mengetahui kebenaran pahit: tidak satu pun dokter spesialis mata tersedia. Fasilitas dibuka, namun pelayanannya nihil. Ruang poli hanya menjadi dekorasi yang menghabiskan anggaran.
Dan yang lebih parah: Manajemen RSUD membiarkan Bupati berdiri di podium, meresmikan layanan yang sebenarnya belum siap.
Dalam sudut pandang publik, tindakan seperti ini bukan sekadar ceroboh. Ini seperti menjerumuskan pemimpin daerah ke dalam panggung sandiwara yang tidak pernah siap dimainkan.
Apakah pihak RSUD tidak tahu bahwa poli membutuhkan dokter?
Apakah mereka masih hidup dalam ilusi bahwa peresmian bisa menghidupkan pelayanan tanpa SDM?
Atau yang lebih berbahaya: apakah mereka tahu, tapi tetap diam?
Jika benar begitu, maka ini bukan lagi soal ketidakmampuan. Ini adalah penghianatan terhadap profesionalisme dan etika pelayanan publik.
Satu pertanyaan sederhana yang kini menggema, “Bagaimana bisa RSU membiarkan bupati meresmikan layanan yang sejak awal sudah tidak bisa berjalan?”
Ini tidak hanya mempermalukan institusi rumah sakit. Ini menjatuhkan wibawa pimpinan daerah, karena publik melihatnya sebagai simbol buruknya koordinasi dan ketiadaan tanggung jawab internal.
Dan ketika poli akhirnya ditutup, RSUD tidak memberi penjelasan transparan dari awal. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada evaluasi terbuka. Yang ada hanya ruang poli yang gelap, sunyi, dan kosong — simbol nyata dari manajemen yang gagal.
Mari kita katakan apa adanya:
Ini bukan sekadar salah urus.
Ini bukan sekadar miskomunikasi.
Ini adalah bukti bahwa manajemen RSU tidak siap menjalankan amanah pelayanan, dan tidak menghormati integritas peresmian yang dilakukan pimpinan daerah.
Jika Bupati dibiarkan meresmikan fasilitas tanpa SDM, itu adalah kegagalan struktural RSUD yang tidak memberikan informasi jujur, tidak menolak ketika belum siap, dan tidak menjaga nama baik pimpinannya sendiri.
Dan jika pemerintah daerah membiarkan ini berlalu tanpa evaluasi keras, maka publik berhak menyimpulkan bahwa seremonial lebih penting daripada pelayanan.
Samosir tidak butuh panggung seremonial. Samosir butuh pelayanan nyata. Dan pelayanan itu tidak akan datang selama RSU dikelola dengan pola pikir yang lebih sibuk memoles acara, daripada memastikan kesiapan layanan.
Karena ketika sebuah poli baru diresmikan lalu ditutup, yang rusak bukan hanya fasilitasnya — yang rusak adalah kepercayaan rakyat.
Poli mata tutup setelah 3 bulan diresmikan berbanding terbalik dengan penghargaan yang diterima oleh RSU Hadrianus Sinaga pada peringatan Hari Kesehatan Nasional.
Wakil Bupati Samosir memberikan penghargaan kepada kesehatan berprestasi di RSUD Hadrianus Sinaga serta empat unit kerja terbaik: Radiologi, CSSD, Hemodialisa, dan Instalasi Farmasi.
Bagaimana dengan tindaklanjut keberlangsungan Poli Mata.
Apakah akan didiamkan oleh Pemkab Samosir?
Atau akan tetap memberikan penghargaan ‘Poli Paling Cepat Ditutup Setelah Diresmikan Oleh Bupati?’
Ini bukan sekadar kelalaian administratif.
Ini adalah bukti nyata bahwa manajemen RSUD gagal menjaga keberlanjutan layanan yang sudah dipamerkan dengan seremonial besar-besaran.
Dan lebih jauh lagi, publik menilai keputusan ini sebagai tindakan yang menjatuhkan wibawa Bupati, karena fasilitas yang telah diresmikan dan dipublikasikan dengan bangga kini justru ditutup akibat kesalahan internal RSUD sendiri.
Saat kontrak dengan SMEC diputus, RSUD tidak menyiapkan dokter pengganti. Tidak ada rencana transisi. Tidak ada mitigasi risiko.
Yang ada hanya satu fakta telanjang: poli langsung tutup, pasien terlantar, dan masyarakat kembali menjadi korban buruknya perencanaan.
Sungguh ironis.
Seremonial berjalan mulus, foto-foto peresmian disebar ke mana-mana, tetapi manajemen layanan justru rapuh dan mudah runtuh. Seolah yang penting hanya acara panggung, bukan keberlanjutan layanan.
Dua tindakan yang saling bertolak belakang — dan yang paling tersorot adalah kegagalan RSUD, bukan siapa pun lainnya.
Poli Mata bukan sekadar ruangan.
Ia adalah simbol kualitas pemerintahan dan manajemen kesehatan.
Ketika poli tutup karena kontrak diputus tanpa solusi, yang runtuh bukan hanya pelayanan. Yang runtuh adalah kredibilitas sebuah institusi kesehatan yang seharusnya menjadi penjaga harapan rakyat. (penulis adalah pegiat jurnalis di Samosir)
