Bupati Samosir Akui Sedang Mencari Dokter Mata, Bahkan Meminta Wartawan Mencarikan Solusi — Soroti Ketidaksiapan RS Saat Membuka Poli Mata

Oleh : Tetty Naibaho

ADA momen dalam kepemimpinan ketika seorang pejabat diuji bukan oleh seremoni peresmian, bukan oleh sambutan, tetapi oleh kemampuan menjelaskan kesalahan secara jujur dan terbuka. Momen itu datang ketika Bupati Samosir diminta wartawan menjelaskan mengapa poli mata—yang baru diresmikan dengan penuh optimisme—kini tiba-tiba berhenti beroperasi. Dan sayangnya, momen itu justru menjadi potret paling jelas dari ketidaksiapan, ketidakjelasan, dan ketidaknyamanan pemerintah daerah menghadapi fakta apa adanya.

Alih-alih memberikan jawaban yang normatif, lugas, dan menghormati akal sehat publik, Bupati justru tergelincir pada sikap yang sulit dipahami: membela kesalahan rumah sakit dan bahkan meminta wartawan ikut mencarikan dokter mata. Pernyataan itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga secara terang benderang menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki rencana, tidak memiliki antisipasi, dan tidak memiliki kendali yang semestinya atas layanan kesehatan.

Bagaimana mungkin poli mata dibuka tanpa persiapan matang?
Sebelum bicara panjang lebar, pertanyaan paling dasar ini saja tidak dijawab normatif oleh Bupati. Padahal, di titik ini, masalahnya bukan lagi soal teknis medis—ini soal tata kelola pemerintahan.

Jika layanan diresmikan tanpa SDM inti ataupun persiapan matang, itu bukan kecelakaan. Itu buah dari perencanaan yang keliru.

Jika masalah muncul, lalu pejabat teras lebih memilih membela institusi daripada mengevaluasinya, itu bukan kebetulan. Itu cermin dari budaya birokrasi yang rapuh.

Dan ketika kepala daerah tidak memberikan jawaban normatif, melainkan justru memindahkan beban solusi kepada wartawan, itu bukan sekadar ‘slip of the tongue’. Itu bukti bahwa komando kebijakan kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bupati tampak lebih sibuk menghindari akuntabilitas daripada memulihkannya.

Ketika wartawan menuntut jawaban normatif—jawaban yang selayaknya diberikan seorang pemimpin—yang muncul justru pengalihan isu. Bukannya menjelaskan apa yang salah, bagaimana prosesnya, atau kapan persoalan diselesaikan, Bupati malah meminta wartawan membantu mencari dokter. Ini bukan hanya janggal, tetapi menunjukkan bahwa pemerintah daerah tampaknya tidak memiliki rencana, tidak memiliki solusi, dan tidak memiliki ‘sense of accountability’ yang semestinya melekat pada jabatan publik.

Pernyataan seperti itu memperlihatkan dua hal:
1. Poli mata dibuka tanpa kesiapan nyata, sebuah tindakan gegabah yang merugikan publik.
2. Kepemimpinan tidak berdiri di depan masalah, melainkan bersembunyi di belakang pembenaran.

Dalam perspektif awam yang jujur, ini adalah bentuk kepemimpinan reaktif, bukan proaktif. Ketika layanan gagal, publik berhak mendapat penjelasan; bukan permintaan tolong balik dari pemerintah kepada wartawan. Apalagi ketika poli mata itu sebelumnya diresmikan secara seremonial—membangun citra, tetapi tidak membangun layanan.

Membela rumah sakit tanpa evaluasi terbuka hanya mengirim satu pesan: kesalahan tidak harus diperbaiki — cukup dibungkus, dijelaskan ala kadarnya, dan dilupakan.

Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik tidak berhak meminta publik mencari solusi atas kegagalan layanan. Wartawan bukan bagian dari manajemen rumah sakit. Wartawan tidak gajian dari APBD. Wartawan tidak duduk di struktur rumah sakit. Namun wartawan diminta ikut “mencari dokter atau memberi solusi”.

Ini bukan sekadar absurd. Ini berbahaya karena mengaburkan batas antara tanggung jawab publik dan beban masyarakat.

Ketika Seremoni Mengalahkan Substansi.
Poli mata itu diresmikan dengan bangga, diagendakan sebagai pencapaian, dan dijual sebagai bukti peningkatan layanan. Tetapi di balik baliho peresmian, tidak ada dokter. Tidak ada persiapan matang. Tidak ada kelayakan operasional.

Seremoni berjalan. Foto diambil. Pita dipotong.
Namun setelah itu, layanan runtuh dalam hitungan minggu.

Jika sebuah poli bisa jatuh secepat itu, bukan karena takdir. Itu karena ketidaksiapan yang disengaja.

Dan ketika publik menuntut penjelasan, yang muncul justru pembelaan tanpa isi dan pengalihan tanpa solusi.

Pemimpin yang Diawasi tidak Boleh Anti Transparansi.
Kesalahan bukan masalah. Menutupi kesalahan adalah masalah. Ketidaksiapan bisa diperbaiki. Ketidaksiapan yang dibela adalah sumber bencana jangka panjang.

Kepemimpinan diuji ketika ada kekurangan, bukan ketika ada panggung. Kemampuan menjawab diuji ketika ada kritik, bukan ketika ada tepuk tangan. Dan dalam kasus poli mata, yang tersisa justru panggung kosong dan jawaban yang tak menyentuh akar persoalan.

Pemimpin yang baik tidak memoles kegagalan. Pemimpin yang baik mengakuinya, memperbaikinya, dan memastikan tidak terulang. Namun dalam kasus ini, yang terjadi justru normalisasi atas kesalahan, dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar tidak adanya dokter mata.

Jika pemerintah daerah ingin mendapatkan kembali kepercayaan publik, maka langkah pertama bukan mencari alasan, bukan mencari justifikasi, dan bukan meminta wartawan mencari dokter.
Langkah pertama adalah: mengakui kesalahan dan memperbaikinya.
Sederhana. Seharusnya. (Penulis adalah pegiat jurnalis di Samosir)

Related posts

Leave a Comment