topmetro.news – Sejumlah tokoh lintas agama di Semarang yang tergabung dalam Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya tindakan represif dan ungkapan rasial kepada mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, sehingga menyulut kerusuhan di Manokwari dan beberapa tempat di Papua dan Papua Barat.
“Kami sangat menyesalkan dan menyayangkan terjadinya tindakan dan ucapan bernada rasialisme oknum aparat dan ormas saat peristiwa persekusi mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Sehingga menyulut kerusuhan di Papua dan Papua Barat,” demikian diungkapkan Koordinator Pelita Semarang Setyawan Budy, kepada pers di Semarang, Selasa (20/8/2019).
Dalam pernyataan sikapnya, para tokoh lintas agama menyatakan bahwa rasialisme adalah tindakan yang melanggar norma universal hak asasi manusia mengenai prinsip kesederajatan martabat sesuai yang tertulis baik dalam ‘Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial’ yang disepakati negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia. Juga Undang-Undang No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
“Untuk itu, segala hal yang berhubungan dengan perendahan martabat seseorang atau sekelompok orang atas dasar perbedaan rasial, etnis, agama, dan bahasa tidak dibenarkan,” tegasnya lagi.
BACA JUGA | Ketua PWI Papua Barat Imbau Warga Menahan Diri
Ejekan Rasis
Yang disayangkan adalah peristiwa itu hanya terjadi tepat sehari setelah Peringatan 74 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam berita disebutkan bahwa pada 16 Agustus mahasiswa Papua di Asrama Papua Jalan Kalasan No. 10 Surabaya mendapatkan makian bernada rasis setelah sebelumnya mereka dituduh merusak tiang bendera.
Aparat kepolisian meminta mereka menyerahkan diri. Tetapi mahasiswa menolak karena merasa tidak bersalah. Pada sore hari tanggal 17 Agustus, aparat kepolisian memaksa masuk ke asrama dan menggelandang penghuni asrama ke Mapolres Surabaya.
“Kami mengimbau masyarakat untuk bersikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan ras, etnis, agama, bahasa, dan adat istiadat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk sejak awal. Oleh karenanya sikap yang luwes dan toleran dalam hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat adalah sebuah keniscayaan yang selalu harus diusahakan,” ujar Setyawan Budy.
Pdt Rahmat Rajagukguk dari PGI Wilayah Jateng mengajak masyarakat untuk memelihara kerukunan dan perdamian. “Mari kita rajut persaudaraan dalam perbedaan,” ujarnya.
Romo Didit dari Keuskupan Agung Semarang mengajak masyarakat untuk mendorong semangat dan sikap persaudaraan dalam keberagaman pada laku hidup sehari-hari. Caranya dengan merangkul orang yang datang dari daerah lain untuk bersekolah dan atau bekerja sebagai bagian dari komunitas masyarakat sendiri.
Dwi dari Perempuan Penghayat Jawa Tengah mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi. Dia minta agar semangat kemerdekaan 17 Agustus dapat menjadi pemersatu dan menguatkan perdamaian. “Kami sangat menyayangkan insiden itu. Dan kami ada di sini bersama Papua.”
sumber | beritasatu.com