Mengasah Karakter Luhur Anak Bangsa di Desa Jambur Nauli Tarutung

rumah sederhana

topmetro.news – Sedikit angker. Itulah kesan pertama saat memasuki pekarangan sebuah rumah sederhana yang terletak di Dusun Parrongitan, Desa Jambur Nauli Kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara, kemarin siang.

Letak rumah yang berada di bawah rerimbunan pepohonan dan dikelilingi sejumlah tanaman muda, di atas lahan satu hektar tersebut, sangat mirip dengan sebuah padepokan untuk menuntut ilmu bela diri ataupun kebatinan. Dan, rumah berdinding papan itu memang berada sedikit jauh dari rumpun pemukiman warga di desa tersebut. Kesan asing lainnya, pemilik rumah pun terlihat sangat sangar. Dengan jenggot putih panjang yang terpelihara di sekeliling dagunya.

Namun, kesan angker itu berubah menjadi ‘smart’ dan sangat bersahabat, setelah pemilik rumah yang ternyata seorang pendeta, didampingi istrinya, mempersilahkan jurnalis topmetro.news masuk ke rumahnya.

Di pintu depan rumah terpampang sebuah tulisan ‘Jabu Hadameon, Rumah Pohon Baca’.

Rumah Ratusan Buku

Sementara di dalam rumah, terdapat rak buku yang terbuat dari kayu, serta sejumlah ukiran tangan yang terbuat dari akar-akar pohon. Di rak itu, tersusun ratusan buku dengan beragam judul dan ragam ilmu pengetahuan.

Dan tidak ketinggalan pula sejumlah Kitab Suci Alkitab cetakan tempo dulu berukuran besar, ikut dipajang di rumah itu.

Dusun mereka tinggal, ditempuh sekitar satu jam dari Kota Tarutung dengan kenderaan roda 4. Atau sekitar 18 kilometer dari Tarutung.

Desa Jambur Nauli sendiri berada di wilayah terluar Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Dan berbatasan langsung dengan Kecamatam Sipoholon dan Kecamatan Siborongborong.

Lantas, siapa sebenarnya pemilik rumah ini. Ia adalah Pdt Sorba Samuel Pasaribu, berusia 74 Tahun dan mempunyai 12 orang anak. Lima laki-laki dan tujuh perempuan.

Anaknya dari hasil pernikahannya dengan istri pertama Boru Panggabean (meninggal dunia) dan istri keduanya sekarang, Boru Nababan.

Kini, Pdt Samuel tinggal di rumah tersebut bersama istrinya dan satu orang anaknya. Anak-anaknya yang lain berada di perantauan.

Ternyata, ia pun bukanlah pendeta sembarangan. Pendeta Samuel, pernah menjabat sebagai Praeses di Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) selama dua periode.

“Meskipun saya pernah dua periode sebagai praeses, tetapi beginilah hidup saya. Tinggal dirumah seperti ini dan saya bahagia tinggal disini,” tuturnya.

“Seorang pendeta di masa itu kan tidak mewah dan tidak mempunyai gaji besar,” tambahnya, dengan suara ‘nge-bass’, sambil tertawa.

“Nah, di sisa hidup saya, ada yang menggugah pikiran saya terhadap pelestarian nilai-nilai karakter luhur anak-anak sekarang yang semakin tergerus. Dahulu, itu (budi pekerti), wajib dipelajari,” kata pria yang menamatkan studi theologianya di Universitas Nomensen, Medan, Tahun 1980.

Pdt Samuel Pasaribu, seorang pionir di desa terluar tepatnya di Jambur Nauli, Kecamatan Tarutung saat menunjukkan sejumlah buku yang dikoleksinya di rumah baca yang didirikannya | topmetro.news/Jan Piter Simorangkir

Belajar Budi Pekerti

Saat itu, Universitas Nomensen memiliki satu fakultas khusus theologia. Sebelum dikemudian hari, STT HKBP Pematangsiantar dimandirikan.

Setelah pensiun dari pendeta, Samuel Pasaribu di tengah keprihatinan akan kampung halamannya, menyadari betul bahwa anak-anak yang hidup di wilayah terluar kecamatan Tarutung itu, sangat kurang dalam akses pendidikan.

Spiritnya, Pendeta Samuel pun mendedikasikan waktunya untuk mengajari 65 orang anak-anak Desa Jambur Nauli untuk membaca, menulis, berhitung. Tetapi, pelajaran yang paling utama adalah: budi pekerti.

“Anak-anak dapat belajar di tempat ini pada Hari Senin dan Sabtu yang dimulai pada pukul 14.00 WIB-pukul 16.00 WIB. Mereka dibagi dalam dua kelompok belajar,” urainya.

Pendeta Samuel menekankan, sangat perlunya budi pekerti diajarkan sehingga kelak akan lahir anak-anak bangsa masa depan yang berkarakter kuat. “Anak-anak harus bangga akan jati diri dan mampu menjadi pribadi-pribadi yang berdampak di kemudian hari,” ucapnya penuh keyakinan.

Ia juga menuturkan, bukan sekedar pelajaran yang diberikan. Tapi bakat dari anak-anak tersebut menjadi perhatiannya, agar di kemudian hari mudah diarahkan, sesuai dengan bakat yang sedari dini sudah terlihat.

“Ini sering sekali luput dari perhatian kita. Di sekolah banyak ilmu teori yang didapatkan. Tapi bakat kurang ditonjolkan. Disinilah saya konsentrasi untuk melihat bakat mereka,” ujarnya sembari menyebutkan, bahwa masing-masing anak punya keunikan dan kelebihan.

Budi pekerti, menurutnya, jika sekadar wacana susah dimengerti. Tapi apabila dilakukan dalam komunitas yang tidak kaku seperti di ‘Jabu Hadameon, Rumah Pohon Baca’ yang dikelolanya, akan lebih mudah dipahami.

“Interaksinya lebih dekat dan tidak kaku. Anak-anak juga bisa berekspresi lebih santai dan tidak monoton,” katanya.

Ceritanya, ketika anak-anak selesai belajar, Pendeta Samuel mengijinkan anak-anak bermain di sekitar rumah. Dua prosotan (media seluncuran) tersedia di samping rumah, yang didonasikan keluarga perantau bermarga Nababan dari Siborongborong.

Butuh Tambahan Koleksi

Perpustakaan darurat begitu kesan yang bisa ditangkap saat melihat buku-buku berantakan, walaupun masih tertata di rak yang dibuat seadanya. “Ini koleksi buku yang ada dan sebahagian sudah tidak memadai,” ujarnya.

Potret lainya, sarana dan prasarana ruangan yang sangat minim dengan hanya beralaskan kayu dan meja-meja kecil serta sebidang papan tulis, justeru tidak menyurutkan Pendeta Samuel untuk melakukan proses belajar mengajar disana.

Pdt Samuel juga bercerita, seringkali meminta buku-buku bekas pakai untuk mengganti atau melengkapi yang sudah ada ke sejumlah unit kerja pemerintah dan institusi pendidikan, karena sangat kurang. “Tetapi terkadang mereka lebih suka memberikan atau menjualnya kepada ‘parbotot-botot’ (tukang loak),” jelasnya.

“Jika koleksi semakin banyak, dapat saya pinjamkan kepada anak-anak, layaknya sebuah perpustakaan. Itu saya catat dan harus dikembalikan,” ucapnya.

Ia juga memgakui bahwa anak-anak disana (Jambur Nauli) sangat antusias membaca. “Seringkali mereka bertanya ‘Masih ada buku lain Amang? Sebab semuanya sudah kami baca’,” ucapnya lirih.

Ia juga tidak menampik, jika ada pihak-pihak lain mendonasikan buku-buku untuk menyambung kebiasaan membaca dan dapat ditingkatkan berkelanjutan.

Kenyamanan ruang untuk belajar juga menjadi visinya. Selama ini, ruang tamu yang biasa digunakan untuk aktifitas keluarga, dijadikan juga tempat belajar.

“Maka mimpi saya, bisa segera membangun sebuah pendopo membaca disini. Hanya saja saya tidak mungkin melakukanya sendiri di tengah keterbatasan. Tentu butuh bantuan dari berbagai pihak,” ungkapnya.

Bukan hanya itu, Pendeta Samuel ternyata juga membuka diri terhadap kehadiran relawan yang ingin membantunya mengajari anak-anak. “Saya tidak mungkin melakukan ini sendiri. Maka jika ada yang terpanggil menjadi relawan, saya sangat senang,” pungkas pria tua itu.

reporter | Jan Piter Simorangkir

Related posts

Leave a Comment