Potret Sri Lanka Bangkrut, dari Chaos hingga Presiden Mundur

Sri Lanka Bangkrut

TOPMETRO.NEWS – Sri Lanka bangkrut kini kondisinya sedang memanas. Krisis ekonomi memicu protes hingga membuat masyarakat menggeruduk rumah Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa. Gotabaya sendiri siap mengundurkan diri dari jabatannya, pekan depan.

Hal itu diutarakan Ketua Parlemen Sri Lanka Mahinda Yapa Abeywardena.

Hancurnya ekonomi Sri Lanka sendiri bukan terjadi secara tiba-tiba.

Krisis ekonomi negara tersebut dimulai sejak tahun 2019.

Dari laporan Nikkei seperti dikutip detikcom, Minggu (10/7/2022), krisis yang terjadi saat ini diawali dengan insiden pengeboman di Kolombo dan kota-kota lain pada April 2019 yang menewaskan lebih 250 orang. Kejadian itu memberikan pukulan serius bagi industri pariwisata. Kondisi itu diperparah dengan hadirnya pandemi COVID-19.

Arus mata uang asing susut tajam karena turis meninggalkan Sri Lanka, dan pengiriman uang dari 1,5 juta pekerja Sri Lanka yang tinggal di luar negeri anjlok. Sri Lanka juga mendapat pukulan inflasi yang tinggi dari krisis rantai pasok global.

Masalah tak berhenti di situ, meroketnya harga komoditas setelah invasi Rusia ke Ukraina juga memperparah keadaan. Hal itu memicu kenaikan biaya impor, penurunan cadangan devisa, kekurangan pasokan, dan inflasi yang tinggi.

Beberapa ahli menuding, Sri Lanka bangkrut pun dipengaruhi lantaran terperangkap utang China.

Mereka berpendapat, China menjerat negara-negara berkembang dengan pinjaman besar-besaran.

Utang Sri Lanka terhadap China menyumbang sekitar 10% dari total pinjaman luar negeri, angka ini hampir sama dengan utang ke Jepang.

Namun, para ahli mengatakan, angka itu hanya mencakup pinjaman dari pemerintah China dan tidak termasuk utang perusahaan milik negara China.

“Memang benar suku bunga pinjaman itu tinggi, dan proyek sering kali didasarkan pada skenario keuntungan yang terlalu optimis, tetapi saya tidak dapat mengatakan apakah China bertanggungjawab atas krisis saat ini atau tidak,” kata seseorang yang terlibat dalam bantuan keuangan untuk Sri Lanka.

Sri Lanka memang bukan satu-satunya negara yang utang ke China dan menghadapi dampak COVID-19 serta perang di Ukraina. Namun, yang berbeda dengan negara lain, masalah kepemimpinan.

Keluarga Rajapaksa telah lama mendominasi politik di Sri Lanka.

Tahun 2005, Mahinda Rajapaksa, seorang legislator lama, memenangkan pemilihan presiden dan menunjuk adiknya Gotabaya seorang mantan perwira militer sebagai menteri pertahanan.

Nah, 4 tahun kemudian, pasangan tersebut berhasil menumpas pemberontak Tamil yang berjuang untuk kemerdekaan wilayah utara dan timur.

Hal itu mengakhiri perang saudara selama 26 tahun di Sri Lanka.

Setelah masalah sipil diselesaikan, ekonomi Sri Lanka mulai menggeliat. Proyek jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya mulai bergerak. Turis asing mulai berdatangan ke negara yang memiliki delapan situs warisan dunia. The New York Times bahkan menyebut Sri Lanka sebagai tujuan wisata nomor 1 dalam peringkat ‘Places to Go in 2010’.

Euforia pasca perang saudara juga memicu belanja konsumen, membantu mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 9,2% pada tahun 2012.

Namun seiring berjalannya waktu, Mahinda mulai menunjukkan kecenderungan otoriter. Setelah terpilih kembali pada tahun 2010, dia menunjuk tidak hanya Gotabaya tetapi juga anggota keluarga lainnya untuk jabatan penting pemerintah.

Dia pun meminta investor China membangun pelabuhan dan bandara di kampung halamannya di Hambantota.

Namun, tahun 2015 dia gagal mengamankan masa jabatan ketiga sebagai presiden, karena banyak pemilih muak dengan nepotisme dan korupsi di pemerintahannya serta ketergantungan berlebihan Sri Lanka pada China.

Tetapi serangan teroris tahun 2019 membawa keluarga Rajapaksa kembali berkuasa.

Karena amandemen konstitusi melarang Mahinda mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden, Gotabaya malah mencalonkan diri dan memenangkan kursi kepresidenan.

Gotabaya kemudian menunjuk Mahinda perdana menteri dan menunjuk anggota keluarga lainnya untuk jabatan kementerian utama seperti keuangan, irigasi dan pemuda dan olahraga.

Banyak ahli menyebut kedua saudara Rajapaksa membuat kesalahan serius yang berkontribusi pada krisis saat ini.

Kesalahan Mahinda mendorong proyek-proyek infrastruktur yang sia-sia dengan nilai ekonomi yang kecil.

Memang benar, Sri Lanka sangat membutuhkan pelabuhan dan bandara setelah konflik sipil yang panjang, tetapi hanya ada sedikit permintaan untuk pelabuhan Hambantota.

Sejak selesai tahun 2010, sebagian besar digunakan untuk membongkar kendaraan bekas.

Bandara Internasional Mattala Rajapaksa, yang dibuka tahun 2013 bahkan disindir sebagai bandara terkosong di dunia karena sedikitnya aktivitas maskapai yang menggunakannya.

Masalah Gotabaya berikutnya, memilih kebijakan populis daripada reformasi yang menyakitkan. Selama hampir 4 tahun sejak 2016 ketika keluarga Rajapaksa tidak berkuasa, Sri Lanka mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat basis fiskalnya dengan imbalan fasilitas pinjaman IMF sebesar US$ 1,5 miliar.

Gotabaya, yang menjabat tahun 2019, membalikkan kebijakan itu dengan mempromosikan pemotongan pajak, yang menyebabkan pendapatan pemerintah turun 500 miliar rupee Sri Lanka (US$ 1,36 miliar).

Gotabaya pun melarang impor pupuk kimia untuk mempromosikan pertanian organik yang berdampak pada hancurnya panen teh dan beras yang penting di negara itu.

Selain itu, dia lambat mencari dukungan IMF untuk mengatasi krisis saat ini karena takut diminta menaikkan pajak.

Kini, Sri Lanka dalam kondisi bangkrut karena gagal membayar utang.

Negara ini tidak punya pilihan selain mereformasi struktural dan restrukturisasi utang dibawah program IMF, sambil memanfaatkan World Bank, India, Cina dan sumber lain untuk pinjaman.

TOPIK TERKAIT | Sekolah Hingga Kantor Pemerintahan Tutup

Seperti diberitakan topmetro.news sebelumnya, kondisi ekonomi Sri Lanka kian memburuk.

Krisis itu membuat negara itu menutup sekolah dan menghentikan layanan pemerintahan pada Senin (20/6/2022).

Penutupan sekolah dan kantor pemerintahan ini untuk menghemat cadangan bahan bakar yang hampir habis, di tengah rencana IMF soal kemungkinan bailout.

sumber\foto | detik
reporter | jeremitaran

Related posts

Leave a Comment