Mahasiswa dan Pemuda Desak Bawaslu Seret Polemik KPU Tapteng dan Labura ke DKPP RI dan DPR RI

Polemik penolakan pendaftaran bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Tapanuli Tengah dan Labuhanbatu Utara, Masinton Pasaribu-Mahmud Lubis dan H Rizal Munthe-Darno oleh KPU setempat, dinilai sebagai bentuk penodaan demokrasi sekaligus pelanggaran HAM.

topmetro.news – Polemik penolakan pendaftaran bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Tapanuli Tengah dan Labuhanbatu Utara, Masinton Pasaribu-Mahmud Lubis dan H Rizal Munthe-Darno oleh KPU setempat, dinilai sebagai bentuk penodaan demokrasi sekaligus pelanggaran HAM.

DPP Persatuan Mahasiswa dan Pemuda Sumut melalui Sekjen Nasky P Tandjung mengatakan, keputusan penolakan tersebut tidak dibenarkan, lantaran KPU sebagai penyelenggara Pemilu harus bersikap netral dan adil kepada semua pasangan calon kepala daerah, tanpa pengecualiaan.

“Tidak dibenarkan dan dibolehkan penghalang-halangan karena alasan teknis. Ini tentu sangat menodai nilai-nilai demokrasi dan melanggar HAM,” katanya saat diwawancarai wartawan, Jumat (6/9/2024).

Dikatakan Nasky, jaminan demokrasi dan HAM bagi setiap Warga Negara Indonesia tersebut diatur oleh konstitusi sebagaimana Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Termasuk termaktub dalam Pasal 43 Ayat ke-1 dan 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil).

“Belum lagi, apabila kita memahami putusan MK Nomor 60 yang menegaskan telah mengubah ambang batas pencalonan, seharusnya ini dijadikan acuan oleh KPU hingga tidak ada lagi hambatan dan pelanggaran hak konstitusional warga negara,” tegasnya.

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Jakarta ini melanjutkan, penolakan pendaftaran Paslon Masinton-Mahmud dan H Rizal-Darno disebut-sebut ditenggarai akibat terkendala pemindahan dukungan partai pengusung terganjal oleh Sistem Informasi Pencalonan (Silon), maka alasan tersebut amat teknis. Pasalnya, peran dan fungsi KPU setempat sebagai penyelenggara pilkada sejatinya harus siap dan siaga kendala-kendala dapat menghambat proses pendaftaran paslon.

“Harusnya KPU Kabupaten Tapteng dan Labura tetap menerima pendaftaran tersebut, karena proses menyatakan bahwa bakal calon tidak dapat ditetapkan sebagai calon pada saat seleksi penetapan, bukan pada saat pendaftaran,” pungkas dia.

Perbuatan dan pengambilan keputusan KPU Tapteng dan Labura dalam kasus ini dikatakan tak ubahnya sebagai bentuk pembangkangan terhadap KPU RI, sebagai regulator pilkada yang membuka ruang masa perpanjangan pendaftaran agar tidak terjadi perlawanan kotak kosong.

“KPU Tapteng dan Labura sepertinya tidak menginginkan demokrasi di daerahnya berjalan dengan baik dan sehat,” katanya.

Ihwal polemik ini, Nasky mendorong Bawaslu dapat bertindak cepat segera menyelidiki dan mengusut tuntas dugaan pelanggaran etik oleh KPU Tapteng dan Labura.

“Bawa proses ini sampai ke DKPP RI dan DPR RI, supaya kejadian serupa tidak terulang di berbagai wilayah ke depannya, hingga demokrasi bisa berjalan tanpa terhambat oleh hal-hal teknis semacam ini,” tandasnya.

penulis | Erris JN

Related posts

Leave a Comment