topmetro.news – Tim Hukum Pemenangan Paslon Bupati/Wakil Bupati Tapanuli Utara (Taput) Nomor Urut 1 Satika Simamora-Sarlandy Hutabarat, melaporkan sejumlah pejabat Polres Taput ke Bid Propam Polda Sumut, Selasa (12/11/2024).
Polres Taput dilaporkan ke Bid Propam Polda Sumut dengan Nomor: 229/LO-DNS/SU/XI/2024 perihal Pengaduan Masyarakat atas Kesewenang-wenangan yang Diduga Dilakukan Polres Tapanuli Utara.
Koordinator Tim Hukum Paslon Satika-Sarlady, Dwi Ngai Sinaga SH MH, dalam keterangan persnya, Selasa (12/11/2024), menyampaikan, pihaknya melaporkan Polres Taput karena dianggap semena-mena dalam menjalankan tugas dan tidak profesional dalam menangani sejumlah perkara yang saat ini sedang ditangani penyidik Polres Taput.
Salah satu ketidakprofesionalan Polres Taput dalam menangani perkara adalah terkait perkara split (saling lapor) antarpendukung paslon sebagai buntut peristiwa bentrok di Pahae Jae pada Hari Rabu 30 Oktober 2024 lalu. Dan, laporan penyebaran foto-foto asusila di Sipahutar hingga saat ini belum ditindaklanjuti.
“Kami melaporkan ke Propam Polda Sumut karena kami anggap Polres Taput tidak profesional, semena-mena dalam menetapkan tersangka, dan tidak netral dalam menangani perkara saling lapor peristiwa bentrok di Pahae Jae. Laporan kasus penyebaran foto-foto asusila yang merugikan klien kami, hingga saat ini juga tidak ada tindak lanjutnya. Termasuk yang kami laporkan adalah Kapolres Taput, Kasat Reskrim, KBO, dan penyidik,” kata Dwi.
Dwi menjelaskan, peristiwa bentrok antar pendukung paslon di Pahae Jae diawali dari upaya pendukung Paslon Nomor Urut 2 (JTP-Dens) yang memulai keributan. Saat itu kata dia, beberapa puluh mobil iring-iringan Paslon Satika-Sarlady hendak pulang usai kampanye.
Tiba-tiba mobil branding Paslon Nomor Urut 2 berusaha melewati iring-iringan paslon tersebut dan hampir menyerempet mobil yang ditumpangi Calon Bupati Satika Simamora mantan Bupati Nikson Nababan.
Dwi menilai, seandainya Polres Taput bertindak preventif dalam menjaga pengamanan dan kondusifitas pilkada, peristiwa bentrok di Pahae Jae sebenarnya tidak perlu terjadi.
“Bentrok pun tidak bisa dihindari, karena kami menduga itu merupakan upaya percobaan pembunuhan terhadap Paslon Nomor Urut 1 dan mantan Bupati Taput Nikson Nababan,” katanya.
Atas peristiwa bentrok tersebut, lanjut Dwi, pihak JTP-Dens kemudian melaporkan tindak pidana pengeroyokan dan secara cepat langsung ditanggapi Polres Taput. Sementara laporan yang disampaikan pihak Satika Simamora-Sarlandy hingga saat ini tidak ada kejelasan.
“Kami kecewa. Ini kan perkara split (saling lapor). Tetapi kenapa laporan pihak 02 begitu cepat ditindaklanjuti, ditetapkan tersangka dan ditahan, sementara laporan kami sama sekali tidak ada kejelasan,” kata Dwi.
Kemudian kata Dwi, dalam menangani perkara yang dilaporkan pihak 02, pihak Polres Taput terlalu prematur dalam menetapkan tersangka. Menurut Dwi, Polres Taput terkesan mengangkangi KUHAP dan sembarangan dalam menetapkan Rivai Simanjuntak sebagai tersangka, padahal pada saat kejadian, Rivai tidak berada di lokasi.
“Ini kan sudah terbalik-balik ini Polres Taput. Seseorang, seperti Rivai Simanjuntak langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan tanpa proses lidik, proses sidik, langsung jadi tersangka,” jelas Dwi.
Harusnya, kata Dwi lagi, proses penetapan seseorang menjadi tersangka diawali dari proses lidik, sidik, dan apabila ditemukan dua alat bukti baru bisa ditetapkan tersangka.
“Nah, kalau kasus Rivai Simanjuntak terbalik-balik nih. Ditetapkan dulu dia sebagai tersangka. Belakangan status tersangka dicabut dan diturunkan menjadi status saksi. Ini ada apa dengan Polres Taput semena-mena mencabut status tersangka. Pencabutan status tersangka harus melalui SP3. Bukan secara sembarangan main cabut status tersangka. Ini sangat aneh,” kata Dwi.
Kemudian soal laporan penyebaran foto-foto asusila yang dilakukan di Sipahutar. Dwi mengatakan laporan yang menyangkut tindak pidana pornografi tersebut hingga saat ini tidak ada tindak lanjutnya. Menurutnya, polisi sudah dibekali dengan pengetahuan untuk bisa mengungkap siapa ‘dalang’ di balik penyebaran foto-foto asusila tersebut.
“Jadi ada dua yang utama kami laporkan ke Bid Propam Polda Sumut, yaitu penanganan perkara saling lapor (split) kasus bentrok di Pahae Jae, Polres Taput tidak profesional. Dan kasus penyebaran foto-foto asusila (pornografi) di Sipahutar. Kami menganggap Polres Taput tidak profesional, tidak bersikap netral dalam proses pilkada. Kami minta Kapolres Taput dicopot,” ungkapnya.
Ayam Sayur
Saat melapor ke Bid Propam Poldasu, Dwi Ngai dan rekan-rekannya turut membawa lima ekor ayam potong alias ayam untuk disayur. Menurutnya, ayam potong tersebut sebagai simbol bahwa polisi tidak boleh asal tangkap terduga pelaku dalam setiap menangani perkara.
Lima ekor ayam potong tersebut, imbuh Dwi Ngai, dialamatkan kepada Kapolres Taput, Kasat Reskrim, KBO Satreskrim, kanit, dan penyidik yang menangani perkara tersebut.
“Hal itu menandakan ayam aja kita gak boleh asal-asal tangkap. Apalagi menangkap ayam milik orang,” ujar Dwi Ngai.
Pihaknya menegaskan bahwa Polres Taput jangan seperti ayam potong dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai aparat hukum dan pengayom masyarakat.
“Kami berharap pihak Polres Taput jangan seperti ayam potong yang pasrah aja di rumah jagal,” pungkasnya.
Apresiasi
Terpisah, Kasi Humas Polres Taput Aiptu Walpon Baringbing mengatakan bahwa pihaknya mempercayakan laporan itu ditangani secara transparan dan profesional.
“Terkait laporan ke Propam Sumut, kita percayakan saja. Namun kita pastikan dan kita tegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang saat ini ditangani Polres Taput sudah sesuai prosedur yang berlaku,” kata Walpon, Selasa malam.
Kendati demikian, pihaknya juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan oleh tim kuasa hukum dari Paslon Bupati dan Wakil Bupati Taput Nomor Urut 1, Satika Simamora-Sarlandy Hutabarat.
“Kita mengapresiasi tindakan kuasa hukum dari Paslon Nomor Urut 1, karena telah melakukan tindakan atau langkah sesuai mekanisme yang ada,” jelasnya.
berbagai sumber