topmetro.news – Sidang perkara korupsi alih fungsi kawasan hutan Suaka Margasatwa di Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, kembali digelar di Pengadilan Tipikor PN Medan, Kamis (9/3/2025) pekan kemarin dengan terdakwa Alexander Hakim alias Akuang dan Mantan Kades Tapak Kuda, Imran.
Pada persidangan tersebut dikutip dari Website BKSDA Sumut, para ahli yang dihadirkan menyatakan jika ahli fungsi kawasan Suaka Margasatwa telah melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan dan berpotensi telah terjadi pungli dan korupsi.
Dalam persidangan lanjutan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Ahli Pertanahan Dr Ir Tjahyo Arianto SH MHum.
Keterangan dari ahli pertanahan ini setelah majelis hakim di persidangan di hari yang sama telah mendengarkan keterangan dari Ahli Prof (Ris) Dr Subarudi M WoodSc dan Ahli Ir Ahmad Basyarudin MSc. Kemudian, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri (PN) Medan melanjutkan persidangan mendengarkan keterangan ahli lainnya, yaitu ahli Pertanahan Dr Ir Tjahyo Arianto SH MHum.
Dalam keterangannya, ahli pertanahan menyatakan bahwa proses penerbitan 60 sertifikat SHM yang kemudian menjadi permasalahan dalam persidangan ini. Dijelaskan Ahli, pihaknya menyebutkan, penerbitan SHM tidak sesuai dengan prosedur serta banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
“Seperti contoh, saat pengukuran lahan di lapangan untuk rencana penerbitan SHM, terjadi penyimpangan ketika yang melakukan pengukuran hanya pihak BPN Langkat dan perwakilan pemohon atau pemilik lahan saja, tanpa melibatkan pihak-pihak terkait lainnya seperti dari pemerintahan desa. Dengan demikian pengukurannya saja sudah cacat prosedur,” terangnya.
Mendengar keterangan ahli, kemudian JPU menyampaikan fakta persidangan, terkait adanya surat dari Balai Besar KSDA Sumatera Utara kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Langkat yang memberitahukan keberadaan kawasan hutan konservasi Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut di Kabupaten Langkat, dan oleh karena itu diminta agar tidak menerbitkan sertifikat atau surat tanah apa pun di areal kawasan hutan Suaka Margasatwa dimaksud, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, atas dasar Surat Balai Besar KSDA Sumatera Utara tersebut, Kepala Kantor BPN Langkat pada saat itu, menerbitkan surat pemblokiran yang menekankan kepada petugas internal BPN Langkat untuk tidak memproses permohonan pengurusan sertifikat khususnya yang berada di kawasan suaka margasatwa.
“Namun, surat pemblokiran hanya ditempel di ruangan-ruangan kantor dan tidak dicatat di buku tanah,” papar JPU.
Terhadap fakta persidangan yang diungkap Jaksa Penuntut Umum, Ahli Tjahyo Arianto berpendapat, seharusnya ketika sudah mengetahui bahwa di kawasan konservasi tersebut ada yang sudah terlanjur diterbitkan sertifikat tanah, maka pihak BPN Langkat bukan hanya melakukan pemblokiran pengurusan sertifikat, tetapi lebih dari itu harus segera membatalkan SHM yang telah terbit.
Selanjutnya, majelis hakim menanyakan kepada ahli, apakah syarat serta kewenangan siapa yang dapat membatalkan sertifikat tanah itu. Lalu Tjahyo Arianto menjelaskan, bila penerbitan sertifikat dari awalnya terindikasi cacat administrasi (seperti kasus yang sedang bergulir di persidangan), semestinya Kantor Wilayah BPN sudah bisa langsung membatalkan SHM yang terlanjur terbit. Selain itu, pembatalan SHM dapat juga dilakukan melalui putusan pengadilan.
Tjahyo Arianto menyimpulkan, bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Langkat di atas lahan kawasan hutan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut itu, tidak sesuai prosedur yang berlaku dan dianggap mall praktek
“Sehingga, sertifikat-sertifikat yang sudah terlanjur terbit tersebut masuk dalam kategori Sertifikat Bodong dan harus dibatalkan,” terangnya
Majelis hakim kemudian menunda sidang selama sepekan untuk mendengarkan keterangan ahli berikutnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, JPU Syakdan Hamidi Nasution dalam surat dakwaan menyebutkan, kedua terdakwa melakukan korupsi pengalihan fungsi kawasan hutan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumut.
“Terdakwa Akuang bersama dengan terdakwa Imran (berkas terpisah) selaku mantan Kepala Desa Tapak Kuda didakwa melakukan korupsi menyebabkan kerugian negara sebesar Rp787.177.516.848 atau Rp787,17 miliar lebih,” kata Syakdan Hamidi Nasution.
JPU Syahdan mengatakan, kasus bermula saat itu terdakwa Akuang selaku pemilik Koperasi Sinar Tani Makmur yang bergerak dalam bidang Simpan Pinjam menghubungi terdakwa Imran.
“Di mana pada tahun 2013, terdakwa Akuang meminta terdakwa Imran yang saat itu menjabat sebagai Kades Tapak Kuda, membuatkan surat keterangan tanah untuk melakukan jual beli tanah di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut di Desa Tapak Kuda, Tanjung Pura, Langkat,” jelasnya.
Selanjutnya, terdakwa Akuang memecah surat kepemilikan tanah untuk diajukan sebagai akta jual beli kepada Notaris dan akan ditingkatkan kepemilikan menjadi sertifikat hak milik, yang seharusnya tidak dapat diberikan.
“Sebab, tanah tersebut berada dalam Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut serta tanpa izin dari pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan, menjadi sertifikat hak milik,” ujarnya.
Kedua terdakwa, kata dia, dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan primair.
“Kedua terdakwa juga didakwa melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan primair,” ujar Syakdan Hamidi Nasution.
reporter | Rudy Hartono