Shohibul Anshor : Pilgub Sumut Sudah Berasa Muatan Pilpres

Shohibul Anshor

topmetro.news – Pengamat Politik Sumatera Utara, Shohibul Anshor Siregar menilai dari sepanjang perjalanan pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) ini hingga menjelang masa pencoblosan pada 27 Juni 2018, diakui sangat kental dan berasa pada muatan menghadapi pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019 mendatang.

“Orang menyebut Pilgubsu ini berasa Pilpres, susah membantahnya, rakyat pun menilai hal ini setegang pertaruhan 2019,” kata Shohibul kepada Koran TOP METRO (grup topmetro.news), pada Minggu (24/6/2018).

Menurutnya, bahwa di tengah masyarakat sudah berlaku gerakan politik bertagar # salam dua periode. Belakangan muncul perlawanan yang menggelinding bagai bola salju dengan tema #2019 Ganti Presiden.

“Kita tahu pengikut #2019 Ganti Presiden banyak di Sumut ini. Melihat Djarot mereka melihat sosok yang menjadi bagian pendukung Jokowi dua periode,” sebutnya.

Bukan hanya itu, papar Shohibul, pada Pilgub DKI Jakarta lalu, para alumni 212 dari Sumut banyak yang datang sukarela menjadi pemantau di pihak pasangan calon gubernur saat itu Anies Baswedan–Sandiago Uno.

“Dari situ kita bisa mengira-kira, dari pengalaman itu mereka tahu apa yang sedang mereka hadapi,” tukasnya.

Ada beberapa catatan, jelasnya, yang sebenarnya mengawali tumbuhnya potensi ketidak-kondusifan seperti ketidak-jelasan mengapa JR Saragih tidak masuk sebagai kontestan. Ini tidak saja menjadiakan suasana tegang head to head, tetapi juga kecurigaan terstruktur yang memaksa kasus JR terhenti begitu saja.

“Emang rakyat tak boleh menduga-duga keburukan apa di balik kisah ini? Jika JR tidak bisa maju karena memanipulasi persyaratan, maka ia secara hukum bersalah dan wajib diproses. Siapa di belakang semua ini?,” singgungnya.

Catatan lainnya, tambahnya, untuk pencalonan Djarot. Dalam tradisi demokrasi langsung salah satu prasyarat terpenting adalah dikenal dan mengenal masyarakat. sulitlah orang asing di suatu daerah beroleh popularitas apalagi elektabilitas dalam waktu singkat.

“Memang orang di balik Djarot selalu menyebut tidak ada larangan mau cagub di NKRI. itu betul, tetapi jika rakyat tak mau mendukung karena tak mengenal dan tak percaya Djarot, lalu apa yang harus dilakukan? Jika zaman orde baru masa Pak Harto (Soeharto) sangat berperan untuk menentukan, sebetulnya ia masih sangat hati-hati menghitung akseptabilitas,” tuturnya.

Sebaliknya, Mega (Megawati Soekarno Putri) hanya mengatakan bahwa di Sumut banyak juga orang Jawanya. Sayangnya tak selalu ada kesediaan jika pihak lain menggunakan prinsip politik identitas. Jadi ada yang tak fair.

“Disinilah menurut saya potensi penyimpangan sangat rawan terjadi akibat keinginan memaksakan kehendak. padahal alamnya disebut alam demokrasi,” ingatnya.

Sementara, kepada penyelenggara baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumatera Utara berdasarkan integritas penyelenggara, sesungguhnya semua sudah diatur oleh regulasi. Bila penyelenggara menjalankan tugasnya secara profesional dan memiliki integritas, potensi fitnah pasti sangat minim. Tidak hanya penyelenggara, melainkan semua komponen yang terlibat termasuk Gakkumdu (Penegak Hukum Terpadu) dan pihak keamanan dan aparatur negara dalam birokrasi wajib netral.

“Karena, rakyat kita mudah sekali berkesimpulan atas kinerja semua komponen itu apakah netral atau tidak. reaksi mereka tidak selalu dapat diantisipasi,” ungkapnya.

Terakhir, sebutnya kembali, dalam debat terakhir Edy Rahmayadi mengemukakan hal-hal aneh dalam proses pilgubsu. Itu saling terkonfirmasi dengan berita-berita media. Termasuk laporan yang tak ditindak-lanjuti oleh penyelenggara.

Jalankan Demokrasi

“Pada dasarnya rakyat sangat gembira menjalankan demokrasi ini. Tetapi jika pihak yang mesti menjadi tauladan sudah melakukan penyimpangan, maka susah mengharapkan hasil yang baik,” pungkasnya.(TM/11)

Related posts

Leave a Comment