Dakwaan IPA Martubung, Ibarat Dipaksa Makan Obat Sebelum Diagnosa

dakwaan ipa martubung

topmetro.news – Kuasa hukum terdakwa dalam sidang IPA Martubung, Andar Sidabalok SH MH menilai, dakwaan Kejari Belawan, seperti ‘pepesan kosong’. Selain itu, kata dia, bisa disamakan seperti dipaksa makan obat sebelum diagnosa.

Salah satu alasan utama disebut seperti ‘pepesan kosong’ adalah, bahwa dalam kontrak ‘lump sum’, apa yang dituduhkan dalam dakwaan, adalah sesuatu yang menurut Andar, ‘bagaikan panggang jauh dari api’.

“Itu semua (dakwaan) adalah pepesan kosong. Atau ibarat panggang jauh dari api. Sama sekali tak ada hubungannya. Ibarat kita memeriksa penyakit mata dengan alat penambal gigi. Sangat tak berhubungan. Hasilnya maka akan sangat membahayakan pasien yang sebenarnya tak ada masalah apa-apa,” kata Andar Sidabalok, Rabu (20/2/2019).

Dan menurut dia, apa yang disampaikan konsultan audit kerugian negara dalam sidang yang berlangsung Senin (18/2/2019), adalah puncak dari pembelajaran penting bagi semua pihak, agar sama-sama memahami terlebih dahlu, apa arti ‘lump sum’ dan segala peraturan yang mengikatnya.

“Ini saya masih belum bicara soal segala kegiatan katanya audit, yang prosesnya penuh dengan pelanggaran. Misalnya audit dilakukan saat penyidikan dimana tersangka sudah ada. Padahal harusnya dilakukan saat penyelidikan agar ada dasar mempersangkakan seseorang,” katanya.

Kemudian, ditetapkannya tersangka dengan tuduhan kerugian negara, sementara apa bentuk dan jumlah kerugian negara tak ada, kata Andar, adalah kesalahan fatal.

“Jadi catatan, bahwa Flora dijadikan tersangka, sementara tuduhan kerugian negara, belum ada wujudnya. Adanya tuduhan kerugian negara itu, justeru muncul dalam BAP Hernold, yang dibuat seminggu kemudian. Ini kan sama saja dengan, kita disuruh makan obat demam hari ini. Tapi kita baru diperiksa seminggu kemudian. Karena sudah keburu disuruh makan obat demam, maka apa pun hasil pemeriksaannya, kita tetap disebut sakit demam,” kata Andar beranalogi.

Ibarat Membeli Mobil

Sekaitan dengan kontrak ‘lump sum’ yang digunakan, maka Proyek IPA Martubung bisa diibaratkan membeli sebuah mobil. Hal itu disampaikan Sudirman SE SH MM, seorang konsultan audit kerugian negara.

“Kalau kita membeli sebuah mobil, yang disampaikan kepada kita adalah harga sebuah mobil secara utuh. Tak ada harga pintu mobil, harga ban, harga ‘dashboard’, dan lainnya. Artinya, disana tidak ada harga satuan,” kata Sudirman kepada media, Senin (18/2/2019).

Demikian juga, lanjut dia, dengan Proyek IPA Martubung yang menggunakan kontrak ‘lump sum’. Kata magister bidang keuangan ini, adalah sangat menyalahi kalau dilakukan perhitungan satuan.

Sudirman pun menegaskan, dalam kontrak ‘lump sum’, hanya ada tiga poin penting yang harus dipenuhi. Antara lain, semua resiko ditanggung penyedia. Sifat pekerjaan berorientasi pada output. Lalu terikat pada total jumlah.

“Maka untuk IPA Martubung, kalau output sudah tercapai maka tidak ada masalah. Kalau spesifikasi berubah juga tak masalah kalau output tercapai. Sehingga perhitungan Hernold tidak layak dijadikan dasar penetapan kerugian negara,” tegasnya.

Menjawab pertanyaan, andai penyedia jasa hanya mengeluarkan biaya 10 persen dari nilai kontrak untuk menyelesaikan pekerjaan, apakah bisa dimasalahkan, ditegaskannya, tidak bisa.

“Tapi kan tak mungkin 10 persen yang terpakai. Tapi pada prinsipnya, tak ada kerugian negara dalam IPA Martubung, karena dilakukan dengan kontrak ‘lump sum’, sepanjang sudah memenuhi output yang disebut dalam kontrak,” tegasnya.

Disampaikannya juga, bahwa audit tidak bisa dilakukan secara pribadi. “Itu tidak pernah ada. Tidak ada peraturan yang memberi kewenangan kepada oknum untuk mengaudit dan menyatakan kerugian negara. Dan itu bertentangan dengan UU No 25 Tahun 2004,” urainya.

Sudirman lebih lanjut menyampaikan, pemeriksaan atau audit harus dilakukan pada saat penyelidikan, bukan saat penydikan. Bisa oleh KPK, kejaksaan, atau polisi. “Setelah berakhirnya masa pemeliharaan baru bisa dilakukan pemeriksaan fisik. Lalu pemeriksaan APBD bisa dilakukan setelah dilakukan pembayaran 100 persen,” katanya.

Tak Ada Kerugian Negara

Sebelumnya dalam sidang, saat ditanya terkait perkara IPA Martubung, apakah ada kerugian negara, dia menegaskan tidak ada. “Tidak ada dalam perkara ini kerugian negara. Ini kan kontrak ‘lump sum’. Tidak ada harga kali volume. Itu tidak dikenal. Resiko kan ditanggung penyedia. Kalau ‘lump sum’ dihitung dengan satuan, tidak ada. Yang mengikat hanya total harga,” urainya.

Sudirman juga menyampaikan, dalam sebuah pemeriksaan, sebelumnya harus dilakukan gelar kasus. “Lalu ada surat tugas untuk audit. Dalam audit harus ada pengumpulan dan pengujian bukti. Dan salah satu yang paling penting adalah melihat pekerjaan. Lalu harus ada hak sanggah,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan soal etika pemeriksaan dan syaratnya. “Etika pemeriksaan adalah pada saat pembayaran sudah 100 persen. Termasuk hak retensi. Soal perpanjangan masa kerja, sesuai UU sangat diperbolehkan. Tidak ada satu pasal pun di Perpres yang melarang perpanjangan waktu,” sebutnya.

Kemudian dia menegaskan, bagi auditor, yang dibutuhkan adalah bukti lengkap. Bukan BAP. Sesudah dapat bukti lalu dilaksanakan pengujian. Lalu ada klarifikasi. Ada standar audit. Penyidik biasanya minta ahli teknik memeriksa fisik. Tapi auditor juga harus ikut memeriksa. Biasanya diminta pada saat penyelidikan. Setelah dapat hasil baru dilakukan penyidikan. Lalu pada saat itulah dilakukan penetapan tersangka,” urainya.

Menjawab Hakim Rodslowny Tobing, dia mengatakan, waktu pengerjaan boleh diperpanjang. “Sebenarnya tidak ada satu perusahaan pun yang mau memperpanjang waktu karena merugikan. Dan untuk penambahan waktu bisa ada adendum perpanjangan waktu,” katanya.

“Soal denda, tergantung situasi. Misalnya karena izin, cuaca dan lainnya. Soal lamanya izin bisa dibuktikan dengan tanggal yang ada dalam izin,” katanya.

Menjawab pertanyaan hakim anggota lainnya, Sudirman menyebut, soal izin bisa juga menjadi keadaan ‘force major’. “Tidak ada aturan yang mengatakan tidak boleh ada adendum waktu. Soal izin kan tidak boleh bekerja kalau tak ada izin. Bisa saja waktu pengurusan izin molor. Harusnya tiga bulan jadi enam bulan,” katanya.

Sedangkan menjawab hakim ketua, dia menegaskan, kalau output sudah tercapai maka tidak ada masalah walau ada kekurangan pekerjaan. “Kalau spesifikasi berubah juga tak masalah kalau output tercapai. Perhitungan Hernold tidak layak dijadikan dasar penetapan kerugian negara,” katanya.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment