Kuasai Parlemen, Jokowo tak Perlu Rangkul Kubu 02

Arya Sinulingga

topmetro.news – Jubir TKN Arya Sinulingga mengatakan, pihaknya sepakat bila ada usulan untuk merangkul parpol Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sementara analisis dari UI mengatakan, Jokowi tidak perlu merangkul lawan politik.

Soal merangkul lawan politik, Arya Sinulingga mengatakan, Jokowi adalah figur yang selalu berusaha menyatukan semua elemen. “Akan ada usaha merangkul agar bersama-sama membangun bangsa agar perpecahan tereliminir,” kata Arya Sinulingga, Senin (10/6/2019).

Bentuk konkretnya akan beragam, misalnya kebersamaan di kabinet, atau kerja sama kepemimpinan di DPR maupun MPR RI. “Itu yang sifatnya power sharing. Ada juga seperti kerja sama pengajuan kepala daerah,” kata Arya Sinulingga.

Seluruh partai pendukung Kubu 02 yakni Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), bahkan Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga berpeluang bekerja sama dalam Pemerintahan Jokowi. “Apalagi kita tahu kader mereka banyak yang bagus dan dibutuhkan juga tenaganya oleh Pak Jokowi. Bahkan Gerindra dan PKS juga tak susah kalau niatnya bersatu,” ujar Arya Sinulingga.

Soal tidak akan ada oposisi sebagai ‘check and balance’ di parlemen Arya Sinulingga berpendapat, dalam sistem demokrasi Pancasila, memang tidak ada keharusan beroposisi. Berada di dalam pemerintahan, bukan berarti kritik tak diperbolehkan. Namun konteksnya adalah musyawarah untuk mufakat.

“Untuk mencapai musyawarah untuk mufakat pasti ada perdebatan. Dengan begitu, diskusi justru menjadi lebih maju. Bukan asal berbeda, seakan asal berstempel lawan penguasa (oposisi),” kata Arya Sinulingga.

BACA JUGA | BPN: Demokrat Silakan Keluar

Parlemen dan Oposisi

Sementara analis politik dari UI Cecep Hidayat mengatakan, sebagai pemenang Pilpres 2019 maka Jokowi tak perlu merangkul lawan politiknya. Sebab, merujuk kepada sistem pemerintahan yang presidensial dan koalisinya menguasai parlemen maka tak diperlukan lagi merangkul lawan politik.

“Dominasi koalisi pemerintah di parlemen dapat mendukung kebijakan pemerintah dalam lima tahun ke depan. Namun jika memang Jokowi perlu merangkul lawan politik atau sebagian lawan politiknya, tentu dalam rangka rekonsiliasi dengan sebagian atau seluruh dari mereka,” katanya.

Terkait pengalihan dukungan pascapilpres, Cecep menjelaskan, tradisi oposisi memang ada dalam nadi Gerindra dan PKS sejak 2014-2019. “Yang paling mungkin mengalihkan dukungan adalah PAN. Sebab elite PAN tidak mono identitas. Apalagi pada periode Jokowi 2014-2019, PAN juga menjadi bagian dalam pemerintahan,” katanya.

Sementara Demokrat, terangnya, memang memilih untuk tidak bergabung dengan pemerintah di parlemen 2014-2019. Cecep memaparkan, politik berbicara tentang keberpihakan. Karena itu Demokrat mesti menunjukkan keberpihakannya.

“Itu juga yang membuat mereka mendukung Kubu 02 di detik terakhir. Namun dengan beberapa kejadian politik yang terjadi belakangan ini, dapat saja Demokrat mengalihkan dukungan ke koalisi Jokowi. Ditambah juga terdapat irisan elite PAN dan elite Demokrat,” katanya.

Cecep melanjutkan, tradisi oposisi sebenarnya hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer. Namun karena Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan presidensial dengan aroma parlementer, akhirnya dikenal istilah oposisi di DPR.

“Jika semua partai berhasil dirangkul, tentu tidak akan ada oposisi di parlementer. Sehingga tercipta kekuatan unilateral yang terpusat pada Jokowi,” katanya.

Menurutnya, Indonesia perlu memiliki kekuatan penyeimbang pemerintah atau oposisi di parlemen. Hal ini diperlukan dalam rangka ‘checks and balances’ kekuasaan. “Watak dasar kekuasaan adalah cenderung disalahgunakan. Dan oleh karena itu diperlukan pengawasan terhadap kekuasaan. Dalam hal ini kekuataan penyeimbang dalam parlemen,” katanya.

sumber | beritasatu.com

Related posts

Leave a Comment