Dansatgas TMMD ke-105 Harap Warga Suku Anak Dalam Bisa Kecap Pendidikan

suku anak dalam

Topmetro.News – Suku Anak Dalam diharapkan dapat mengecap pendidikan. Harapan ini diungkapkan Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-105 Kodim 0415/Batanghari, Letkol Inf Widi Rahman, S.H., M.Si. Dia berharap agar Suku Anak Dalam punya wawasan luas dan berpendidikan layaknya seperti masyarakat lain di Desa Ladang Peris dan sekitarnya.

suku anak dalam2
foto kiriman | puspen TNI

Suku Anak Dalam Minimal Baca Tulis

“Saya berharap warga Suku Anak Dalam bisa berpendidikan, minimal bisa menulis dan membaca,” kata Letkol Inf Widi Rahman di Jambi, Senin (15/7/2019).

Warga Suku Anak Dalam Berbaur

Lebih lanjut dikatakan, saat upacara pembukaan TMMD ke-105 tahun 2019 beberapa waktu lalu, sekitar 35 warga Suku Anak Dalam diundang menghadiri kegiatan itu.

“Warga Suku Anak Dalam bisa membaur dan mudah bersosialisasi dengan masyarakat,” ungkapnya.

Letkol Inf Widi Rahman juga mengatakan Kodim 1405/Batanghari telah menunjuk Sertu Giman selaku Babinsa wilayah permukiman warga suku ini agar mengajari mereka melalui sekolah alam, minimal bisa menulis dan membaca.

Dansatgas TMMD ke-105, Letkol Inf Widi Rahman berpesan agar Sertu Giman melaksanakan tugas mengajari warga Suku Anak Dalam dengan baik tanpa pamrih. “Intinya berbuat tulus dan ikhlas tanpa pamrih,” ucapnya.

baca juga | DI SUKU INI LELAKI JADI PEJANTAN, PEREMPUAN PENGUASA

Seperti disiarkan TOPMETRO.NEWS sebelumnya, di sebuah lembah di Yunan, Cina, tepatnya di bawah kaki pegunungan Himalaya, hidup sebuah suku purba bernama Mosuo. Meski kolot, suku ini hidup dalam apa yang oleh masyarakat modern disebut cara hidup progresif.

Masyarakaat Mosuo hidup dalam tradisi matriarki yang sangat ekstrem. Anak-anak di suku ini tak mengenal konsep tentang ayah atau kakek. Tak ada pernikahan. Tak ada konsep keluarga inti – ayah, ibu, dan anak – seperti yang kita kenal.

Bagi masyarakat Mosuo perempuan adalah yang paling berkuasa. Saat santap malam, nenek atau perempuan tertua dalam satu rumah akan duduk di kepala meja, dikelilingi oleh putri dan putra yang tinggal bersamanya, demikian juga cucu-cucu, anak dari puteri-puterinya.

Di suku yang mayoritas menganut agama Buddha Tibet ini lelaki tak lebih dari pejantan; pendonor sperma, yang bertugas membuahi perempuan. Lelaki tak terlibat dalam membesarkan anak.

Perempuan dalam masyarakat Mosuo setara derajatnya dengan lelaki. Perempuan, demikian juga lelaki, bisa memiliki lebih dari satu pasangan seksual. Tetapi anak-anak dibesarkan dalam rumah yang dipimpin perempuan.

Perempuan dan lelaki di suku yang hidup di sekitar Danau Lugu mempraktekkan apa yang dinamakan “pernikahan berjalan,” sebuah konsep hubungan antara kekasih yang dikenal sebagai “axia”.

Saat akan berhubungan seks, seorang lelaki akan menggantungkan topinya di depan kamar atau kediaman seorang perempuan. Itu tandanya, tak ada lelaki lain yang diizinkan masuk. Hubungan ini bisa berlangsung lama: mulai dari satu malam hingga ke hubungan seumur hidup.

Tetapi perlu diingat, pasangan tidak tinggal dalam satu rumah dan tak ada ritual resmi. Begitu saja.

“Bagi perempuan Mosuo, axia hanyalah cara untuk mencari kesenangan dari kerasnya kehidupan setiap hari, sekaligus juga untuk mencari pendonor sperma,” kata Choo Waihong, penulis buku “The Kingdom of Women” (2017), yang berkisah tentang kehidupan komunitas Mosuo.

reporter | jeremitaran

Related posts

Leave a Comment