Darah Komodo Percepat Penyembuhan Luka

TOPMETRO.NEWS – Sebagai kadal terbesar di dunia dengan panjang tubuh yang dapat mencapai tiga meter, darah komodo ternyata juga memiliki banyak peptida antimikroba. Sebuah zat dalam darah yang membantu reptil purba tersebut bertahan hidup dalam kondisi yang mematikan.

Menurut sebuah makalah penelitian dipublikasikan bulan ini dalam Journal of Proteome Research, zat yang sama juga dikatakan bisa membantu manusia dalam memerangi resistensi antibiotik.

Para peneliti di Amerika Serikat, menciptakan versi sintetis dari senyawa antimikroba menggunakan zat dalam darah kadal raksasa asli Indonesia tersebut. Ternyata efek yang muncul bisa membantu menyembuhkan luka lebih cepat dan membunuh jenis bakteri sering ditemukan pada infeksi.

Peptida pada dasarnya adalah protein kecil dan peptida antimikroba pada dasarnya merupakan antibiotik tubuh. Tanpa zat tersebut, manusia, juga makhluk hidup lain seperti anjing, kucing, kadal, dapat meninggal karena infeksi.

“Kami fokus pada peptida yang berasal dari spesies yang ekstrem,” ujar Barney Bishop, seorang profesor di George Mason University, Virginia, dan penulis utama studi, dikutip dari Motherboard (26/2/2017).

Komodo (Varanus komodoensis) dipilih karena hewan ini tinggal di lingkungan yang tidak ramah. Lengkapnya, hidup di lingkungan yang penuh bakteri, tetapi mereka dapat bertahan hidup dan berkembang hingga sekarang.

Komodo ditemukan di lima pulau di Indonesia yakni Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Padar. Kelima pulau merupakan Taman Nasional Komodo, terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Ia memiliki lebih dari 80 jejak bakteri di mulut mereka, termasuk beberapa jenis yang dapat menyebabkan keracunan darah atau sepsis.

Dilansir dari The Sun (12/4/2017), dalam studi sebelumnya Monique van Hoek, seorang profesor mikrobiologi yang juga dari Universitas George Mason, Virginia, menemukan 48 zat seperti protein yang terpisah di dalam darah komodo yang menangkal bakteri.

Dalam tes laboratorium, delapan zat mampu melawan bakteri yang sering menyebabkan infeksi yang resistan terhadap obat.

Para peneliti pun akhirnya mampu untuk menemukan peptida yang menjadi sorotan dalam plasma komodo yaitu VK25. Menggunakan peptida ini “sebagai inspirasi,” para peneliti, yang dipimpin oleh Monique van Hoek, mengembangkan versi sintetisnya dengan nama DRGN-1.

Para peneliti menguji ramuan mereka ke tikus dengan luka kulit, Kemudian mereka menemukan bahwa luka pada tikus tersebut sembuh jauh lebih cepat dibandingkan tikus yang diobati dengan sarana yang ada, atau hanya dibiarkan hingga bernanah.

DRGN-1 bekerja dengan baik pada luka yang terinfeksi oleh bakteri, yakni Pseudomonas aeruginosa dan Staphlyococcus aureus, yang juga dikenal sebagai MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus).

Kedua bakteri tersebut secara spesifik memiliki sifat yang “bandel” dan sulit untuk diobati karena mereka memiliki tipe bakteri yang menempel bersama untuk membentuk koloni (atau biofilm). Karakter ini yang membuatnya jauh lebih tahan terhadap antibiotik dibandingkan bakteri tunggal.

Biofilm terbentuk ketika sel-sel bakteri menempel bersama-sama kemudian menempel ke permukaan, seperti luka. Mereka dapat menyebabkan masalah yang signifikan, terutama dalam pengaturan alat rumah sakit. Hal ini karena mereka kadang-kadang berkembang pada perangkat biomedis seperti katup jantung dan kateter.

Para peneliti turut menyarankan bahwa selain kemampuan dalam penyembuhan DRGN-1 melalui aktivitas antimikroba, ramuan tersebut juga dengan mendorong migrasi sel-sel kulit guna menutup luka.(TMN)

Related posts

Leave a Comment