Ratusan Peserta Antusias Mengikuti Seminar Internasional

Membangun Kawasan Danau Toba

topmetro.news – Ratusan peserta mengikuti seminar yang membahas pengembangan Danau Toba, Jumat (11/9/2020). Seminar tersebut digelar secara virtual, dengan peserta dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Medan, ‘bonapasogit’, hingga luar negeri, dengan tema: Membangun Kawasan Danau Toba Berbasis Budaya Daerah.

Seminar ini diinisiasi oleh ‘Kelompok Studi Ilmiah Budaya Batak’ yang tergabung dalam IASDABA. Ada pun pengurus kelompok ini adalah: Ketua Prof Dr Robert Sibarani MS., Seketaris Drs Tigor Tampubolon, Bendahara Drs Arigato Sianturi, dan anggota Drs Warisman Sinaga MHum, Drs Jekmen Sinulingga MHum, Dr Tomson Sibarani, Drs Nelson Lumbantoruan MHum, Harapan Sibarani SS, Tri Putra Rajagukguk SS, Drs Jumian Situmorang, dan Suarito Aritonang SS.

Peserta seminar berasal dari unsur pemerintah dari tujuh kabupaten di Kawasan Danau Toba, akademisi, mahasiswa, kaum milenial, pemerhati Danau Toba, tokoh komunitas lokal dan nasional, dan tokoh agama.

Seminar dibuka oleh General Manajer Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba Dr Ir Wan Hidayati MSi dan diakhiri dengan paparan dari Direktur Utama Badan Pengelola Otorita Danau Toba Dr Ir Arie Prasetyo.

Ada tiga pembicara yang mengisi seminar. Dua orang dari luar negeri, yaitu Prof Dr Uli Kozok MA (USA) dan Dr Guiseppina Monaco dari Italia. Lalu satu dari dalam negeri, yaitu Prof Dr Robert Sibarani MS (Direktur Sekolah Pascasarjana USU). Seminar ini dipandu oleh Tigor Tampubolon, seorang enterpreneur yang juga adalah pembina Iasdaba yang selalu memberi perhatian terhadap kelestarian kawasan Danau Toba.

Keramahan Orang Batak

Dalam pengantarnya, Tigor Tampubolon mengatakan bahwa dulu (dan mungkin sampai sekarang) masyarakat yang tinggal di Kawasan Danau Toba adalah masyarakat yang sangat terbuka dan sangat ramah terhadap tamu. Itu tercermin dari ungkapan ‘paramak na so ra balunon, partataring na so ra mintop’. Dan bagi masyarakat yang tinggal di Kawasan DanauToba, tamu dipandang sebagai raja, sehingga harus dilayani dengan baik.

Dalam sambutan saat membuka acara, Hidayati mengatakan sangat patut disyukuri bahwa Kaldera Danau Toba sudah menjadi bagian dari UNESCO Geopark. Sembari menunjukkan sertifikat UNESCO Geopark, Hidayati mengatakan bahwa keberhasilan itu juga sekaligus tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya.

Lanjutnya, Geopark Kaldera Danau Toba tidak dapat terpisah dengan kebudayaan yang ada pada daerah sekitarnya. Dan tentunya dalam hal ini adalah adat dan Budaya Batak yang unik dan spesifik.

Hidayati menyebut, keunikan Batak antara lain adalah adanya empat aspek yang tidak lepas dari kehidupan mereka. Pertama adalah Ulos. Sejak lahir, bertumbuh dewasa, menikah, hingga meninggal, kehidupan Orang Batak tidak terlepas dari Ulos. Lalu kedua adalah, prinsip ‘hamoraon, hagabeon, hasangapon’.

Selanjutnya ada ‘dalihan na tolu’ sebagai konsep keseimbangan hidup Orang Batak, serta keempat, ‘partuturon’ dalam kekerabatan orang Batak yang tidak ada dalam kebudayaan lain.

Pada kesempatan itu, Hidayati mengaku terharu dengan adanya seminar itu karena bisa membahas segala aspek dengan terbuka. “Semoga hasilnya dapat dikumpulkan atau dibukukan untuk kepentingan bersama,” tutupnya lalu membuka seminar dengan resmi.

Pelestarian Budaya

Tampil sebagai pembicara pertama, Prof Dr Robert Sibarani MS, yang juga ketua panitia seminar. Ia mengatakan bahwa prinsip UNESCO Geopark adalah berkaitan dengan pelestarian. Pengembangan yang dilakukan jangan merusak dan menghilangkan apa yang sudah ada, termasuk kearifan lokal.

Prof Robert juga menguraikan keanekaragaman budaya di Kawasan Danau Toba yang menurutnya harusi dikembangkan untuk disuguhkan kepada wisatawan. Sehingga menurutnya, peneliti sangat perlu untuk meningkatkan ‘performance’ budaya agar dapat lebih menarik perhatian dan harus berbeda wujudnya di setiap destinasi wisata. Artinya ada spesifikasi dan keunikan masing-masing.

Potensi Danau Toba

Pembicara kedua adalah Prof Dr Uli Kozok MA, yang mengikuti langsung seminar dari kediamannya di Hawaii. Profesor ini adalah sejarawan Batak, berwarga negara Jerman yang pernah tinggal dan melakukan penelitian di Indonesia, khususnya di kawasan Danau Toba. Ia mengatakan bahwa potensi yang dimiliki Danau Toba sangat luar biasa, tetapi potensi itu belum dimanfaatkan.

“Menurut saya, potensi yang sudah digarap tidak sampai sepuluh persen,” katanya.

Ia pun mengajukan beberapa ide agar masyarakat di Kawasan Danau Toba terlibat dan merasakan dampak dari pariwisata. Antara lain merehabilitasi rumah tradisional menjadi homestay. “Homestay bisa dikembangkan karena turis benar-benar seperti tamu. Namun, harus disiapkan juga homestay yang layak dengan memperhatikan kebersihan, fasilitas toilet, dan makanan yang tersedia,” katanya.

Selain itu, agar masyarakat terlibat langsung, atraksi wisata bermuatan lokal perlu dikembangkan. Seperti proses mengambil nira atau tuak, martonun ulos, memasak makanan Batak, dan belajar tortor. “Itu sangat menarik untuk wisatawan,” katanya.

Informasi Pariwisata

Sementara itu, Dr Guiseppina Monaco mengatakan, perlunya sumber-sumber informasi tentang pariwisata sehingga turis tidak tersesat. “Bagaimana rute dari Medan ke Danau Toba, itu sangat penting bagi turis,” katanya.

Menanggapi narasumber, pemerhati pariwisata, Kartini Sjahrir, membandingkan Bali dengan Danau Toba. Menurut dia, dari sisi keindahan alam dan budaya, Danau Toba tidak kalah dengan Bali, tetapi wisatawan lebih memilih ke Bali. Alasan pertama ialah masyarakat Bali sudah siap menjadi pelayan. Hal itu berbeda dengan masyarakat di kawasan pariwisata Danau Toba yang cenderung tidak peduli akan pentingnya pelayanan.

“Infrastruktur penting, homestay juga penting, tetapi menurut saya, kalau mental melayani belum ada, pariwisata Danau Toba masih akan tetap begitu-begitu saja,” kata Kartini.

Padahal, katanya, masyarakat Batak yang dikenal memiliki nilai budaya dan agama yang tinggi semestinya mampu menjadi pelayan. “Masyarakat di Kawasan Danau Toba belum siap menjadi pelayan. Sudah saatnya khotbah di gereja mengimbau masyarakat agar mau jadi pelayan. Layani tamu dengan sebaik-baiknya. Buat mereka nyaman,” ujarnya.

Kartini memberi contoh, yaitu ketika suatu hari dia menginap di salah satu hotel di tepi Danau Toba, dan kebetulan di kamar hotel itu banyak rengit. Saat dia meminta pelayan hotel membersihkan rengit dari kamar, dia malah disuruh membersihkan sendiri. “Ketika saya minta bagaimana supaya rengit di kamar hotel itu hilang, pelayan kamar malah bilang, ‘Itu biasa, Bu. Ibu bersihkan saja sendiri,’”kata Kartini Sjahrir.

Peran Gereja

Sementara Ephorus Emeritus HKBP Pdt Dr SAE Nababan berharap agar masyarakat sekitar Danau Toba bisa menikmati pembangunan yang dilangsungkan pada wilayah itu. Jangan nanti ada pembangunan,tetapi yang menikmati hanya orang tertentu atau yang berpengaruh saja.

SAE Nababan juga berharap supaya gereja terlibat dalam pembangunan karakter masyarakat di kawasan pariwisata Danau Toba. “Betapa perlunya gereja untuk memoles karakter masyarakat karena tanpa karakter yang mau melayani, pariwisata Danau Toba akan sulit berkembang,” katanya.

Saat mengakhiri, pemandu acara, Tigor Tampubolon, mengatakan bahwa penyelengara seminar akan membagikan buku berjudul ‘Selagi Masih Siang’ karya Pdt Dr SAE. Nababan kepada lima puluh peserta yang telah berkenan memberi masukan atau ide-ide konstruktif (secara tertulis) yang dengan mudah bisa diimplementasikan oleh masyarakat, tanpa harus melalui proses yang panjang dan berbiaya besar.

Penyelenggara juga membagikan buku tersebut kepada seluruh pembicara dan para penanggap, sebagai ungkapan terima kasih atas kontribusi yang diberikan dalam seminar.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment