MTs Negeri 3 Stabat, Menjual LKS kepada Siswa

Lama tak ada kabar terkait kasus penjualan buku dan Lembaran Kerja Siswa (LKS) di sekolah

topmetro.news – Lama tak ada kabar terkait kasus penjualan buku dan Lembaran Kerja Siswa (LKS) di sekolah. Namun akhir-akhir ini, di masa Pandemi Covid-19, kini mulai terdengar banyaknya sekolah yang menjual LKS.

Persoalannya, apakah boleh pihak sekolah menjual LKS, atau pakaian seragam berikut atribut sekolah dan lainnya terkait kebutuhan sekolah? Sementara semua kebutuhan tersebut sudah tertampung dalam anggaran BOS?

Di satu sisi, buku yang menyangkut pembelajaran itu, dirasa perlu untuk siswa. Apalagi di masa pandemi ini. Ketika pembelajaran tatap muka ditangguhkan atau dilaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas, sementara pembelajaran daring belum maksimal untuk mengupas materi yang seharusnya diajarkan kepada siswa. Dalam situasi begini, keberadaan LKS dirasa perlu untuk bahan pokok uji bagi siswa.

Namun, tetap saja, ketika LKS dipaksakan untuk dimiliki siswa, sementara harga satuan per lembarnya dirasa cukup merepotkan untuk ukuran masyarakat kecil. Ini menjadi beban tersendiri bagi orangtua siswa. Karena semua orang mengetahui jika di masa pandemi, di mana perekonomian masyarakat banyak terganggu.

Selain itu, pemerintah secara tegas melarang pengelola dan penyelenggara pendidikan melakukan praktik jual beli apa pun kepada peserta didik di satuan pendidikan yang diselenggarakannya.

Peraturan Tentang Pendidikan

Sebagaimana termaktub di dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Secara rinci ada penjelasan tentang larangan tersebut. Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, seragam sekolah atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.

Sekolah atau guru dilarang menjual buku maupun lembar kerja siswa (LKS) baik secara langsung kepada siswa di kelas maupun melalui perantaraan koperasi.

Ketentuan tersebut dipertegas kembali di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 2 Tahun 2008 tentang Buku. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat kena sanksi sesuai ketentuan berlaku. Salah satunya sanksi displin pegawai yang berupa pemberhentian tidak hormat bagi guru PNS.

Larangan ini kembali diperkuat melalui Permendiknas No. 75 Tahun 2016, serta Undang Undang No. 3 Tahun 2017.

Namun sayangnya peraturan perundang-undangan tersebut terkesan tidak berlaku di MTsN 3 Langkat. Karena di sekolah tersebut terjadi penjualan LKS secara langsung kepada para siswanya.

Siswa di dalam kelasnya diberikan sejumlah LKS dengan ketentuan bayarannya secara angsuran.

Beberapa wali murid atau orangtua siswa, mengeluhkan hal tersebut. Karena anak mereka diberikan LKS oleh gurunya di dalam kelas dengan harga sebesar Rp10 ribu per lembar.

“Uang-uang aja. Anakku diberikan buku LKS sama gurunya, memang dibayar secara angsur (cicilan). Pokoknya pening lah. Udah masa Corona, cari duit payah,” ucap orangtua siswa MTsN 3 Langkat yang merahasiakan jati dirinya demi kenyamanan anaknya di sekolah.

Sumber juga mengungkapkan, jika sebelumnya pihak sekolah juga melakukan pengutipan terhadap orangtua siswa untuk pembangunan tempat ibadah.

“Kalau itu nggak masalah. Cuma katanya sumbangan secara sukarela. Tapi dipatok Rp250 ribu. Demi anak kucarikan juga uangnya,” ujar warga yang sehari hari memenuhi kebutuhan keluarganya dari berjualan di kios kecil seputaran Kota Stabat, Kabupaten Langkat itu.

Orangtua siswa yang lain juga menyebutkan, selain LKS dari sekolah juga harus membeli baju olahraga seharga Rp150 ribu.

Respon Kepala MTs Negeri 3 Stabat

Terkait keluhan penjualan LKS kepada ratusan siswanya, Kepala MTs Negeri 3 Langkat, Zulkarnain Dhari (foto), membenarkan adanya penjualan buku LKS di sekolahnya.

“Penjualan LKS itu karena kegiatan belajar mengajar di masa Pandemi Covid-19 tidak bisa setiap hari. Pemikiran guru-guru itukan, karena tiga hari belajar di rumah. Belajar di rumah itukan nggak bisa dikontrol PR-nya. Kalo ada LKS, siswa bisa fokus menjawab tugas di LKS itu. Dan nanti ngantar LKS yang udah dikerjakan PR-nya,” katanya.

Saat ditanyakan selama ini jika ada upaya pembatasan belajar mengajar tatap muka, dilaksanakan lewat daring, Kasek MTs tersebut membenarkannya.

“Ya, memang begitulah, Bang. Kalau daring lewat HP, terkadang siswa hadir ke room hanya untuk absensi. Kemudian siswa banyak yang keluar meninggalkam roombel untuk main game. Jadi pembelajarannya nggak maksmal,” dalihnya.

Tapi tambahnya, penjualan LKS ini tidak ada paksaan. “Gak ada paksaan, Bang. Yang penting orangtua dan siswa sudah ada kesepakatan untuk membeli LKS. Kalau gak beli, ya gak apa-apa,” tambahnya.

Menjawab pertanyaan apakah penjualan buku LKS di lingkungan sekolah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait pendidikan, Kasek Zulkarnain mengatakan tidak ada. “Gak adalah Bang. Kan gak dipaksa. Kalau anaknya merasa sudah pintar dan gak mau beli LKS ya silahkan. Gak dipaksa, kok. Tujuannya ini kan biar pembelajarannya maksimal. Lagian LKS yang dijual hanya mata pelajaran yang penting-penting. Lagian ini hanya untuk semester akhir ini aja. Kalau kelas IX dan X, LKS untuk kepentingan persiapan kenaikan kelas. Nah, kalau kelas XI, untuk persiapan UN,” ujarnya.

Mengenai berapa jumlah siswa/i keseluruhan di sekolahnya, Zulkarnain menerangkan ada 900-an orang. “Dari jumlah itu, paling yang membeli LKS berkisar 50-60 persen. Harganya, masing-masing LKS per lembarnya Rp10 ribu. Ada yang membeli 5 lembar. Ada juga yang membeli 10 lembar. Kalau 5 lembar ya Rp50 ribu dan kalau 10 lembar ya Rp100 ribu, per siswa,” tandasnya.

reporter | Rudy Hartono

Related posts

Leave a Comment