Dilema Siswa Sisipan SMA Negeri 2 dan 13 Medan, Gubsu Didesak Buat Diskresi

topmetro.news – Dalam menyelesaikan persoalan siswa sisipan SMA Negeri 2 dan SMA Negeri 13 Medan saat ini, para orang tua meminta gubernur (Gubsu) Tengku Erry Nuradi untuk membuat suatu diskresi (keputusan) agar siswa tetap bisa melanjutkan belajar di sekolah tersebut.

“Kami sudah pernah menanyakan hal ini ke Kemendiknas. Menurut pihak Kementerian persoalan ini bisa diatasi jika Gubsu mengeluarkan diskresi. Dengan diskresi anak-anak tetap bisa melanjutkan belajar dan sekolah,” ujar salah seorang siswa dalam rapat penyelesaian masalah penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Bina Graha Pemprovsu pada hari Selasa (23/1/2018).

Hadir dalam rapat tersebut Wagubsu, Nurhajizah Marpaung, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, Wadir Reskrimsus Polda Sumut, AKBP Roni Samtana, sejumlah siswa dan orangtua.

Kondisi rapat sedikit memanas, ketika orangtua siswa tersebut mendesak Wagubsu, Nurhajizah Marpaung agar Pemprovsu dapat segera mengeluarkan diskresi seperti yang disarankan oleh Kementerian Pendidikan.

“Ibu di akhir masa jabatan itu sebaiknya meninggalkan kenangan manis buat anak-anak ini, sehingga anak-anak ini bisa tetap melanjutkan Pendidikan,” ujarnya yang disambut riuh siswa dan orangtua siswa lainnya.

Menanggapi hal ini, Wagubsu, Nurhajizah Marpaung mengatakan kalau Pemprovsu belum dapat memutuskan langsung persoalan diskresi, sebab pihaknya harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada Kementerian Pendidikan.

“Kalau tinggal satu hari pun masa tugas saya pak, tentunya saya tidak ingin mengambil keputusan yang melanggar hukum. Makanya, besok kami akan berkonsultasi dulu ke Kementerian Pendidikan,” ujar Nurhajizah singkat.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, dalam situasi saat ini Pemprovsu memang sebaiknya melakukan diskresi. Dikatakan Aris, hak diskresi diberikan agar Gubernur memiliki kewenangan untuk memutuskan. Sebab, dinilai Aris hal ini merupakan kesalahan yang telah dilakukan sejak awal, persoalan hukum bisa tetap berjalan dan diproses tapi diharapkannya jangan anak-anak yang disalahkan dan dijadikan korban. Anak-anak harus tetap mendapatkan haknya untuk bersekolah.

“Selain diskresi memang bisa saja solusinya dibuat sekolah terbuka untuk siswa ini hingga mereka tamat. Tapi sekolah terbuka itu sifatnya post majeur, harus ada peraturan Menteri, itu kan nggak mungkin, tapi kalau diskresi itu cukup Kementerian Pendidikan memberikan mandate kepada Gubsu, sehingga Gubsu bisa melakukan diskresi dan anak-anak tetap bisa bersekolah di sekolah tersebut,” papar Arist.

Wadir Reskrimsus Polda Sumut, AKBP Roni Samtana dalam kesempatan itu mengatakan, berdasarkan hasil proses penyeledikan yang telah dilakukan pihaknya dan hingga saat ini masih terus didalami. Ditemukan di SMA Negeri 13 Medan, pendaftar PPDB Online sebanyak 1300 orang dan yang diterima sebanyak 288 orang.

“Kemudian dalam prosesnya oknum Kepala Sekolah dengan usulan Komite Sekolah menambah sebanyak 77 orang siswa dan masing-masing siswa diminta untuk membayar Rp3-Rp 5 juta,” terang Roni.

Sementara di SMA Negeri 2 Medan, ditemukan pendaftar PPDB Online sebanyak 1807 orang dan diterima sebanyak 432 orang. Kemudian atas usulan Komite Sekolah ditambah sebanyak 180 siswa, di mana masing-masing siswa diminta membayar sebesar Rp3-Rp5 juta.

“Yang jelas penerimaan 180 siswa di SMA Negeri 2 dan 77 siswa di SMA Negeri 13 itu tidak sesuai dengan proses sebagaimana mestinya. Dan tinggal kami akan menentukan siapa yang paling bertanggung jawab dan paling diuntungkan dari penerimaan ini. Penegakkan hukum mesti tetap berjalan meski dunia runtuh. Karena ini termasuk dalam kategori pungli,” tegasnya.

Sebelumnya, siswa sisipan SMA Negeri 2 Medan, Muhammad Hidayat Afriansyah, mengatakan, pertama mereka mengikuti PPDB Online, namun setelah pengumuman dinyatakan tidak lolos. Kemudian saat mereka ingin mengambil berkas, ada pihak SMA Negeri 2 Medan yang menawarkan adanya gelombang kedua.

Bayar Komite

“Saat itu kami sangat senang karena mendapatkan gelombang kedua. Namun untuk mengikuti gelombang kedua itu kami diberikan syarat, seperti melengkapi berkas lalu kami juga harus membayar uang pembangunan sekitar Rp3-Rp5 juta. Kami juga harus membayar komite setiap bulannya mulai Rp100 hingga Rp300 ribu,” papar Hidayat.

Bahkan lanjut dia, setelah mereka memenuhi syarat yang telah ditentukan, mereka kemudian bisa belajar di dalam kelas dan mendapatkan kartu ujian.

“Kami lalu mengikuti ujian, tapi yang menjadi kendala kendapa saat ini kami tidak mendapatkan raport,” ujarnya.(TM/11)

Related posts

Leave a Comment