LIPSUS: Merajut Kembali Kepercayaan Konstituen Pasca Pusaran Korupsi Gatot (1)

pusaran korupsi

topmetro.news – Beberapa waktu lalu publik disuguhkan pemberitaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan 38 anggota DPRD Sumut sebagai tersangka. Mereka terjebak pusaran korupsi mantan Gubsu dua periode, Gatot Pujo Nugroho, yang lebih dulu divonis.

Indikasi korupsi para legislator disebut-sebut terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) TA 2012-2014, Perubahan APBD Provinsi Sumut Tahun 2013-201, pengesahan APBD TA 2014-2015, dan penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut pada 2015. Mereka diduga menerima suap berupa hadiah atau janji dari mantan Gubsu berupa ‘fee’ berkisar Rp300 juta sampai Rp350 juta.

Sementara data dihimpun, lima parpol perolehan kursi terbanyak untuk DPRD Sumut 2014-2019 adalah, Partai Golkar (17 kursi), PDIP (16 kursi), Demokrat (14 kursi), Gerindra (13 kursi), dan Partai Hanura (10 kursi).

Bagaimana pendapat pengamat politik? Apa saja kiat parpol, khususnya terbanyak perolehan kursi pada Pemilu Legislatif (Pileg) Sumut 2014 lalu, merajut kembali kepercayaan konstituennya?

BACA JUGA: Memprihatinkan, Partisipasi Pemilih di Medan Utara 40 Persen

Pengamat Muryanto

Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Dr Muryanto Amin SSos MSi berpendapat, parpol yang kebetulan kadernya tersandung kasus tipikor harus sesegera mungkin melakukan rekonsiliasi agar bisa bangkit dari puing reruntuhan ketidakpercayaan publik, khususnya masyarakat pemilih. Parpol masih memiliki interval 4,5 bulan lagi merajut kembali kepercayaan konstituennya menyongsong Pemilu serentak 17 April 2019.

“Kalau tidak, parpol yang kadernya tersandung kasus dugaan tipikor akan ditinggalkan konstituennya. Kemungkinan besar mereka tidak mau lagi memilih caleg maupun pasangan capres-cawapres atau calon kepala daerah yang diusung,” tegas Muryanto.

Reaksi miring tersebut umumnya di kelompok konstituen yang rasional. Sebab mereka dikenal selektif menyalurkan hak politiknya, yakni caleg atau pasangan capres-cawapres maupun pasangan calon kepala daerah berdasarkan rekam jejak kontestan berikut parpol pengusung.

Kalaupun masih ada konstituen mau memilih caleg dan calon pemimpin di eksekutif yang diusung parpol (kadernya ikut terseret pusaran kasus dugaan korupsi mantan Gubsu Gatot Pujo Nugroho-red) kemungkinan besar dikarenakan faktor X. Yakni unsur hubungan simbiosis mutualisme.

Pilihan politik sangat dekat dengan transaksional yang sudah menjadi rahasia umum. Sehingga cita-cita luhur melahirkan calon legislatif maupun eksekutif berkualitas sebatas wacana. Karena tolok ukurnya bukan rekam jejak dan ide perubahan ke arah yang lebih baik.

Potret buram tersebut menurut Muryanto, yang juga dekan termuda di universitas kebanggan Sumut ini, ibarat ‘lingkaran setan’. Di hilir nantinya dikhawatirkan justru masyarakat juga yang akan rugi.

“Semua pihak khususnya parpol harus melakukan pendidikan politik secara terus menerus. Yang ditawarkan kepada konstituen adalah ide-ide, program yang bisa mengantarkan masyarakat ke arah yang lebih baik. Bukan menjanjikan pilihan politik transaksional maupun barang,” katanya.

Alumnus pascasarjana Universitas Indonesia (UI) ini juga mengingatkan instansi terkait agar memasukkan muatan pendidikan politik yang sehat berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 ke dalam kurikulum tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat, hingga perguruan tinggi.

Golput Sikap Skeptis

Di bagian lain, Muryanto Amin menegaskan, tolok ukur berhasil tidaknya penyelenggaraan Pemilu bisa dilihat dari seberapa besar persentase konstituen mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Bila partisipasi aktif pemilih masih di angka 60 persen, itu cerminan sikap skeptis dari masyarakat pemilih. Ada persoalan di sana. Masyarakat kemungkinan kurang puas dengan figur caleg, pasangan capres-cawapres, gubernur-wakil gubernur, walikota-wakil walikota maupun pasangan bupati-wakil bupati yang ditawarkan parpol,” demikian pengamat politik yang mempersunting Novi Susanti itu.

Sementara mengutip data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi Sumut, pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut baru lalu, warga yang menggunakan hak pilihnya 51,50 persen. Sedangkan target nasional dicanangkan KPU (Pusat) adalah 77,5 persen.

Reporter: Robert Siregar

Related posts

Leave a Comment