Dampak Subjektifitas dan Kelemahan Kajian Internal PDIP di Pilkada Sumut dan Medan

kekalahan jagoan PDIP

RENTETAN kekalahan jagoan PDIP dalam beberapa pilkada di lingkungan PDIP Sumut tidak sepi dari catatan kritis. Ini menunjukkan kajian internal mereka yang selalu lemah dan atau dikalahkan oleh pertimbangan subjektif lain.

Pilkada langsung memprasyaratkan, dikenal oleh rakyat serta mengenal daerah dan rakyat yang akan dipimpin.

Tidak hanya itu, karena secara khusus faktor resistensi juga tak boleh dipandang enteng dan hal itu tidak selalu tercermin dalam pemberitaan media dan pasti bisa didisain tak terlihat pada laporan hasil survei.

Mengusung kader sendiri atau figur lain dalam pilkada langsung, mestinya mempertimbangkan faktor popularitas dan elektabilitas secara sungguh-sungguh. Itu tak hanya sekadar mempublikasi hasil survei yang dipesan dengan biaya mahal. Tak banyak survei model ‘today’ yang selalu bisa membuat orang faham suara atau aspirasi rakyat.

Pencalonan dalam pilkada seyogyanya juga menghitung dampak ‘pemberontakan’ kader. Berapa besar jumlah yang akan apatis dan sekadarnya saja mengkampanyekan calon yang tak mereka sukai meski biaya operasional sosialisasi dan perkampanyean bisa membengkak juga.

Jika dikaitkan dengan marwah, maka PDIP pun mestinya harus mengevaluasi sejumlah kegagalan. Termasuk dengan keajegan resep droping kader untuk kontestasi pilkada.

Efendy Muara Sakti Simbolon yang berpasangan dengan Djumiran Abdi kandas berhadapan dengan Gatot Pujonugroho yang berpasangan dengan HT Erry Nuradi.

Kader droping lainnya meski mantan Gubernur DKI, mantan Wagub DKI dan mantan Walikota Blitar dua periode, Djarot Saiful Hidayat, yang berpasangan dengan Sihar Sitorus, kandas berhadapan dengan Edy Rahmayadi yang berpasangan dengan Musa Rajek Shah.

Jatah Kader Daerah

Orang tidak selalu bersedia menghitung kerugian lanjutan internal PDIP. Misalnya setelah kalah pilgubsu Tritamtomo, Djarot dan Sihar menjadi anggota DPR RI dari Sumut. Itu artinya jatah kader yang putra daerah, tak hanya untuk pilkada, tetapi juga untuk pileg, direbut. Ini tak bisa diperlunak dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah NKRI.

Kasus yang sekarang, jika benar PDIP akan mengusung Bobby Nasution dan membuang Akhyar Nasution, sejatinya bukanlah tragedi kader menggeser kesempatan kader lainnya. Sesama kader berebut adalah hal wajar dan resikonya tak begitu serius.

Kader partai itu bukan orang yang sekadar mendaftar atau melamar jadi anggota lalu disematkan uniform saat memerlukan dukungan untuk Pilkada seperti Bobby Nasution. Jangan percaya media yang memberitakannya sebagai kader.

Kader adalah orang yang dilatih dengan proses khusus dan berjenjang hingga menjadi bingkai pelindung bagi organisasi (partai).

Akhyar dan Rudolf

Kasus yang sekarang lebih mirip dengan kasus pilkada langsung pertama Sumut. Yakni, ketika Gubsu (seyogyanya petahana) Rudolf M Pardede maju Pilgubsu.

Tetapi Ketua PDIP Sumut itu dipecat bersama sekretarisnya, Alamsyah Hamdani, untuk memberi jalan bagi Jenderal Tritamtomo (Panggabean) pada saat akan mendaftar ke KPU.

Bobby Nasution memerankan hal yang lebih mirip dengan Jenderal Tritamtomo. Dan jika Akhyar Nasution akan dikorbankan, maka ia senasib dengan Rudolf M Pardede.

Pilkada tak langsung terakhir di Kota Medan berlangsung saat PDIP tengah menjadi ‘the ruling party’. Bahkan melebihi ‘kebesarannya’ hari ini pasca-Pemilu 1999 yang dimenanginya. Tapi, mayoritas kursinya di DPRD Kota tak memberinya kemenangan.

Apa penyebab? Ada perbedaan tajam antara keinginan elit dengan aspirasi rakyat yang diwakili oleh mereka yang duduk di legislatif.

Sekarang progress Akhyar Nasution menjawab nasibnya luar biasa. Jika PD akan bersama PKS dan masih mungkin disertai PAN, itu tak boleh dipandang enteng.

Saya kira Akhyar Nasution tidak hendak pergi dari partai yang membesarkannya dan ikut dibesarkannya juga. Tetapi saya pribadi merasa harus hormat kepadanya yang harus bersikap untuk menjawab masalah yang dihadapinya.

Oleh | Shohibul Anshor Siregar

Related posts

Leave a Comment