Kebijakan Relaksasi Kredit dalam Menjaga Stabilitas Keuangan Negara Indonesia

stabilitas keuangan negara

Pendahuluan

PADA masa pandemi Covid-19 ini berbagai sektor khususnya perekonomian dan keuangan sangat terdampak. Sektor industri keuangan saat ini pun seolah ikut berlomba melakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang diterapkan dunia perbankan dan lembaga non-bank untuk tetap menjaga stabilitas keuangan sebagai langkah antisipatif dalam rangka menangani masalah yang ada dan mungkin bisa membahayakan perekonomian dan stabilitas keuangan negara.

Salah satu kebijakan digulirkan pemerintah adalah relaksasi yakni berupa restrukturisasi kredit bertujuan untuk meringankan debitur termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah yang terdampak Covid-19. Kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan: Pertama, kredit/pembiayaan dengan plafon maksimal Rp10 miliar, yang diberikan berdasarkan ketepatan pembayaran pokok/bunga kredit. Kedua, peningkatan kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Kredit ini dapat diberikan tanpa batasan plafon kredit atau jenis debitur, termasuk juga sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tersebut sebagaimana tertuang dalam aturan Nomor: 11/PJOK/2020, maka debitur dapat mengajukan restrukturisasi kredit kepada bank dan perusahaan pembiayaan. Restrukturisasi tersebut dapat dilakukan dalam praktik perbankan dengan berbagai cara yaitu penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tungggakan pokok, tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, konversi kredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.

Akan tetapi dari semua skema/cara yang ada, penundaan pembayaran kewajiban pokok dan bunga, juga perpanjangan waktu kredit relatif lebih mudah untuk disetujui oleh perbankan. Karena bentuk restrukturisasi itu lebih realistis untuk dipenuhi oleh bank. Dalam hal ini, komunikasi antara nasabah peminjam dengan bank harus dilakukan dengan intens, di mana debitur memberikan informasi secara terbuka atas kesulitan keuangan yang dihadapi dalam menyelesaikan kredit kepada bank.

Permasalahan

Bukanlah berarti dengan skema dimaksud segala permasalahan otomatis bisa diatasi. Permasalahan yang sering timbul adalah sulitnya ada kesepakatan restrukturisasi tersebut antara bank dengan debitur, Sebab harus mempertimbangkan kemampuan atau kesanggupan kedua belah pihak. Bank tentu harus mengkaji secara cermat melihat mana debitur yang layak untuk mendapatkan restrukturisasi atau penundaan cicilan. Dalam hal ini, perbankan harus sangat memperhatikan kemampuan debitur dalam penyelesaian kredit tersebut dan juga penyalurannya agar tidak memberatkan di kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa kebijakan restrukturisasi ini tidak serta merta membuat seluruh cicilan debitur bisa ditunda pembayaran pokok dan bunganya. Semua tetap berpatokan pada hasil analisa yang dilakukan oleh bank. Dengan begitu, bisa saja yang diberikan oleh bank hanya tunda bayar pokok tapi bunga tetap jalan, kebijakan relaksasi berupa penundaan cicilan tersebut akan kembali pada kebijakan masing-masing bank dengan melihat profit risiko yang dimiliki oleh debitur, kebijakan ini memang harus dilakukan dengan ketat.

Solusi

Menurut hemat penulis, kebijakan ini diharapkan bisa menjadi solusi bagi para debitur, khususnya pengusaha agar bisa tetap menjalankan usahanya di tengah pandemi Covid 19 ini sekaligus menghindari kemudian terjadinya kredit macet yang bisa menyulitkan proyek bisnis bagi pengusaha di kedlmudian hari.

Data sampai saat ini memperlihatkan bahwa total kredit yang telah direstrukturisasi oleh perbankan mencapai Rp517,2 triliun kepada 5,3 juta debitur. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp450,6 triliun disalurkan ke debitur di segmen UMKM atau sebanyak 4,5 juta debitur. Sedangkan non-UMKM restrukturisasinya sudah mencapai Rp266,5 triliun untuk 780 debitur.

Bukan cuma dari sektor perbankan, proses restrukturisasi di perusahaan pemiayaan juga terus berlangsung. Dari data OJK menunjukkan bahwa sudah ada Rp75,08 triliun pembiayaan yang direstrukturisasi dengan jumlah nasabah mencapai 2,4 juta. Seluruh kredit dan pembiayaan yang direstrukturisasi dalam rangka penanganan Covid-19 ini secara tertulis diperkenankan tetap dalam status lancar. Kebijakan ini sangat membantu debitur kecil yang terdampak virus corona seperti para pekerja informal, berpenghasilan harian dan yang usahanya terdampak seperti ojek online, sopir taksi, dan pelaku UMKM.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan restrukturisasi ini dianggap positif bagi semua debitur yang mendaftarkan untuk memperoleh keringanan kredit tersebut dan juga membawa dampak positif bagi perbankan. Karena ketika kualitas kredit di status lancar, akan berdampak pada berkurangnya biaya pencadangan perbankan begitu juga sebaliknya.

Relaksasi ini juga mungkin saja berdampak negative bagi sektor perbankan namun tidak untuk semua perbankan dan tidak serta merta menyelesaikan beban bank, dimana akan berpengaruh atau berpotensi meningkatnya rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan(NPL) bank tersebut apabila tidak dikelola dengan baik, juga rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing financing (NPF) di multifinance.

Ketika ada permasalahan pada bank akan berimbas pada stabilitas keuangan terlebih terhadap likuditas perbankan sendiri. Kebijakan restrukturisasi ini juga berpotensi adanya penurunan laba/profitabilitas yang dimiliki oleh perbankan. Kebijakan ini mungkin akan lebih berpengaruh bagi perbankan yang mayoritas kreditnya adalah ke segmen UMKM seperti BBRI, BBTN, BTPS.

Akan tetapi kebijakan restrukturisasi ini tidak serta merta atau sepenuhnya melemahkan sektor perbankan walaupun harus memberikan keringanan pada debitur. Dimana perbankan masih terbantu dengan para debitur yang tidak terkena dampak Covid 19 ini, karena secara keuangan debitur ini masih dikatakan mampu, sehingga akan tetap memenuhi kewajibannya seperti biasa.

Sehingga risiko likuiditas perbankan masih akan tetap terjaga dikarenakan masih adanya pembayaran cicilan dari debitur yang tidak terdampak. Dengan adanya kebijakan restrukturisasi ini juga tidak menutup kemungkinan bagi perbankan untuk dijadikan peluang investasi kedepannya, karena secara tidak langsung kebijakan ini menguntungkan sektor perbankan dengan ditekannya rasio NPL dan kewajiban pencadangan bisa menurun, sehingga likuiditas perbankan dapat terhjada dengan baik.

Kekuatan Keuangan

Sementara bila ilihat dari data, Rasio Kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) perbankan di Indonesia menurut data per bulan Juni terus mengalami peningkatan tetapi masih dijaga oleh modal yang kuat, dalam hal ini perbankan di Indonesia masih tergolong bisa bertahan dengan likuiditas yang cukup, juga dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yang masih kuat. Apabila dilihat dari kecukupan modal (CAR), bank tetap perlu waspada karena restrukurisasi akan mengakibatkan perubahan jadwal cash flow di masing-masing bank yang kemudian akan mendorong pengetatan likuiditas.

Dengan melihat keadaan saat ini, sebaiknya para pihak baik Pemerintah, Bank dan Debitur memiliki koordinasi yang baik atau bekerjasama untuk menanggulangi dampak ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 supaya bisa meminimalisasi kerugian yang ditimbulkan.
Kerugian adalah hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari dan akan berdampak di berbagai sektor, namun dampaknya bisa diatasi dengan upaya dan strategi dari pemerintah seperti relaksasi kredit.

Perbankan diharapkan akan menjadi sumber kekuatan Keuangan Negara apabila pengelolaan kredit dilakukan dengan baik sesuai dengan aturan yang ada. Perlakuan pemerintah berupa kebijakan relaksasi kredit bagi debitur sangat penting bagi para pelaku usaha demi menciptakan keberlanjutan dari kegiatan bisnis yang ada.

(Penulis, Elisabeth Sipahutar, mahasiswi semester IV prodi DIII Kebendaharaan Negara Politeknik Keuangan Negara STAN)

Related posts

One Thought to “Kebijakan Relaksasi Kredit dalam Menjaga Stabilitas Keuangan Negara Indonesia”

  1. Jansen

    Keren , Menambah pengetahuan juga

Leave a Comment