Gubernur Edy Ikut Dorong Revisi UU HKDP ke DPR

Gubernur Edy

topmetro.news – Gubernur Edy Ikut Dorong Revisi UU HKDP ke DPR. Selama ini Pemprov Sumut tidak mendapatkan bagian dari sumber daya alam (SDA) terutama sektor perkebunan yang dikelola pemerintah pusat. Padahal, Sumut menjadi salah satu provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan nasional dari sektor dimaksud.

Hal ini dikarenakan secara regulasi perkebunan dianggap bukan merupakan SDA yang dapat diperbarui, melainkan sumber daya alam buatan.

“Sehingga tidak mendapatkan share bagi hasil dari SDA padahal lahan perkebunan seperti kelapa sawit misalnya, dapat terus diupayakan secara lestari sesuai dengan kebijakan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan melalui prinsip konservasi sumber daya lahan,” kata Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Lies Handayani menjawab wartawan, Selasa (14/12).

Pangkal masalahnya, menurut Lies, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanya mengatur Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan DBH SDA yaitu kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

“Sedangkan komoditas perkebunan terutama kelapa sawit tidak dimasukkan dalam komponen DBH,” ujarnya.

Menindaklanjuti kunjungan kerja Komisi XI DPR RI di Provinsi Sumut belum lama ini, ungkap Lies, guna kembali mengakomodir aspirasi daerah dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang HKPD, di mana salah satu poin yang menjadi masukan daerah adalah penerimaan DBH SDA. Yakni secara eksplisit dapat mengakomodir tentang pengaturan DBH pajak yang adil bagi daerah dengan memasukkan komoditi perkebunan terkhusus kelapa sawit dalam RUU HKDP.

“Kita dengar melalui media, bahwa UU tersebut telah disahkan maka dari itu penting untuk kita lihat nanti isinya sebagaimana poin yang kita harapkan,” katanya.

Pemerintahan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, imbuh Lies, dorongan meminta hak daerah di sektor dimaksud lebih kuat dibanding gubernur-gubernur sebelumnya. Terlebih dalam dua tahun belakangan ini. Yakni berdasarkan pertimbangan antara jumlah produksi perkebunan kelapa sawit yang berjalan lurus dengan kontribusi Sumut terhadap pendapatan nasional.

“Bapak gubernur di suratnya tertanggal 3 Desember 2021 kepada Menko Perekonomian RI, justru meminta porsi 80% DBH perkebunan di-share ke daerah, dan 20%-nya ke pusat agar diatur dalam UU HKDP terbaru,” terang dia. Disebutnya Januari 2020 di Pekanbaru, Riau, Gubsu Edy pun telah sampaikan paparan dalam rapat koordinasi usulan pembagian DBH perkebunan kelapa sawit bagi provinsi penghasil komoditas tersebut.

Bahkan Sumut dengan 15 provinsi penghasil perkebunan, sambung Lies, ikut mendorong revisi UU 33/2004 tersebut agar memasukkan DBH pungutan ekspor dan bea keluar dari hasil perkebunan serta peningkatan bagi hasil dari PPh orang pribadi yang dilakukan secara terbatas melalui peningkatan rasio bagi hasil PPH khusus dari perkebunan kelapa sawit kepada daerah, terkait dengan penyaluran DBH pajak dan bukan pajak dilaksanakan tepat waktu sesuai tahun anggaran berjalan.

Lalu mengusulkan aturan dari Kementerian Perdagangan yang terkait penurunan/penghilangan batas threshold terkait pengenaan tarif pungutan ekspor dan bea keluar CPO dan turunannya serta limbah kelapa sawit. Terakhir Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut sesuai peraturan menteri agar dibagihasilkan kembali ke pemda.

“Pemprov Sumut sangat mengharapkan kebijakan pemerintah pusat agar hasil dari revisi UU No.33/2004 tersebut memberikan solusi yang lebih adil kepada daerah yang telah turut menyumbangkan pendapatan nasional,” katanya.

Sejak 2009

Lantas apa upaya yang telah dilakukan Pemprov Sumut untuk itu? Lies menerangkan sebenarnya sejak 1991 pihaknya telah berupaya mengajukan usulan kepada pemerintah pusat untuk memeroleh PAD dari dana perimbangan.

Lalu pada 2009 telah diadakan Seminar Nasional Formulasi Dana Perimbangan Bagi Hasil Dana Perimbangan di Medan, yang dihadiri 16 provinsi penghasil perkebunan di Indonesia. Yakni menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain; Perlunya direvisi UU 33/2004 mengingat UU 1945 sebagai UU tertinggi pada pasal 33 menyatakan bumi, air dan isinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, sementara UU 33/2004 hal ini tidak dinyatakan tetapi hanya menekankan kepada pajak SDA saja.

Selanjutnya pajak ekspor harus diatur kembali agar dibagikan ke daerah. Kemudian dalam mengelola dana tambahan bagi hasil perlu adanya transparansi data hasil perolehan perkebunan.

Selain daripada itu, adapun alternatif solusinya negara diminta perlu mengubah PP No.5/2005 tentang Dana Perimbangan dengan menambahkan parameter Indeks Luas Perkebunan sebagai komponen dalam perhitungan dana perimbangan. Kebijakan pemberlakuan Pajak Ekspor CPO yang dibuat untuk menjaga ketersediaan CPO atau minyak goreng demi kebutuhan dalam negeri dan mendorong industri hilir, semestinya dapat dikembalikan membangun infrastruktur daerah perkebunan sawit di Sumut.

“Tak kalah penting, kami meminta revisi Peraturan Presiden No.61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Fund), dengan menambah peruntukan penggunaan dana yang dihimpun berupa penguatan kapasitas keuangan daerah penghasil,” pungkasnya.

Penulis | Erris JN

Related posts

Leave a Comment