Penunjukan Hernold F Makawimbang Menghitung Kerugian Negara Terindikasi Melanggar Hukum

Hernold F Makawimbang

topmetro.news – Bergulirnya sidang permohonan PK (peninjauan kembali) oleh Flora Simbolon dalam perkara dugaan korupsi Proyek IPA Martubung, semakin ‘membuka’ kejanggalan dan keanehan yang ‘melingkupi’ kasus tersebut. Termasuk soal penunjukan Hernold F Makawimbang untuk menghitung kerugian negara di IPA Martubung, yang terindikasi melanggar hukum.

Demikian pandangan Sekretaris LSM P3TA (Pengawas Pelayanan Publik dan Transparansi Anggaran) RP Simbolon SAd, yang disampaikan kepada wartawan, Selasa (10/11/2020).

“Kasus ini sebenarnya sudah semakin terang benderang dengan berjalannya sidang PK. Namun juga sekaligus meninggalkan pertanyaan-pertanyaan. Antara lain, siapa sebenarnya yang punya inisiatif menjadikan Hernold F Makawimbang berindak seolah-olah akuntan publik dan hasil kerjanya dijadikan sebagai dasar ata bukti tuntutan pada kasus IPA Martubung? Ada apa sebenarnya?” tanyanya.

Bukan Akuntan Publik

Pertanyaan itu, kata dia, adalah berdasarkan bahwa ternyata Hernold F Makawimbang bukanlah seorang akuntan publik. Karena sebagaimana ditegaskan IAPI, Hernold F Makawimbang tidak tercatat sebagai anggota IAPI. Sedangkan IAPI adalah satu-satunya lembaga yang sah sebagai wadah untuk akuntan publik. “Dalam sidang kemarin sudah ditegaskan ahli yang juga anggota Tim Pemberantasan Akuntan Palsu IAPI, bahwa Hernold F Makawimbang bukan anggota IAPI. Bahkan Hernold itu sudah dilaporkan ke kepolisian terkait tindakannya tersebut,” kata Simbolon.

Belum lagi kebohongan lain Hernold F Makawimbang yang mengakui dirinya bekerja untuk KPA (Kantor Akuntan Publik) Tarmizi Achmad. “Dan ternyata KPA Tarmizi Achmad lewat surat resmi dengan tegas membantah pernah bekerja dengan Hernold F Makawimbang untuk kasus IPA Martubung. Jadi memang jadi pertanyaan, dengan fakta-fakta kebohongan itu, siapa sebenarnya di belakang munculnya Hernold F Makawimbang untuk menghitung kerugian negara di IPA Martubung yang kemudian dijadikan bukti oleh Kejari Belawan?” tanyanya lagi.

“Sehingga saya sependapat dengan pernyataan yang menyebut, bahwa penunjukan Hernold F Makawimbang untuk menghitung kerugian negara pada proyek IPA Martubung, terindikasi melanggar hukum,” lanjut dia.

Menurut RP Simbolon, sejak ia mengikuti kasus ini, memang terkesan dipaksakan. “Entahlah. Saya melihat, bahwa sebenarnya tak ada masalah dalam Proyek IPA Martubung dan itu juga dibuktikan dengan adanya surat dari Manajamen PDAM Tirtanadi, bahwa proyek sudah berjalan dengan baik sesuai dengan kapasitas serta syarat lainnya. Lalu kenapa kemudian dijadikan seolah bermasalah? Apa tujuannya? Apa target mereka? Dan ironisnya, kenapa hasil kerja oleh seseorang yang mengaku-ngaku akuntan publik, ternyata tak anggota IAPI yang mereka jadikan sebagai dasar atau bukti tuntutan? Jelas ini sangat janggal,” katanya.

Abaikan Putusan Prapid

Belum lagi fakta adanya kejanggalan dalam kasus dugaan korupsi Proyek IPA Martubung itu “Termasuklah, adanya putusan prapid, yang sudah memutuskan, bahwa status tersangka Flora Simbolon dalam kasus itu, tidak sah,” kata RP Simbolon.

Sebagaimana diketahui, putusan prapid di PN Medan No 73/Pid.Pra/2018/PN Mdn tertanggal 26 Oktober 2018, di antaranya menyatakan, tindakan Kejari Belawan menetapkan Flora Simbolon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana korupsi paket pekerjaan Enginering Procurement Contruction (EPC) Pembangunan IPA Martubung, sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (1) Subsidair Pasarl 3 jo. Pasal 18 UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, adalah TIDAK SAH dan tidak berdasarkan atas hukum. Dan oleh karenanya, penetapan tersangka ‘a quo’ tidak mempunyai hukum mengikat.

Lalu bagian lain putusan itu menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon (Kejari Belawan) yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon (Flora Simbolon) oleh termohon (Kejari Belawan).

Putusan ini sudah dikeluarkan PN Medan pada tanggal 26 Oktober 2018. Atau beberapa hari sebelum dakwaan atas pokok perkara dibacakan Kejari Belawan. Dimana menurut Mahkamah Konstitusi melalui SK No: 102/PPU-XII/2015 tertanggal 9 November 2016, telah mempertegas, bahwa praperadilan dinyatakan gugur, ketika sidang perdana pokok perkara terdakwa digelar di pengadilan. Artinya, jika sidang perdana, biasanya untuk pembacaan dakwaan terhadap terdakwa, sudah digelar, maka permohonan praperadilan dinyatakan gugur dengan sendirinya.

Sementara dalam kasus ini, putusan prapid sudah keluar, beberapa hari sebelum sidang perdana. Sehingga ada kesan, bahwa putusan prapid diabaikan.

Sidang tanpa Tersangka/Terdakwa

Artinya, kata RP Simbolon, bahwa ketika status terdakwa dinyatakan tidak sah sebelum pembacaan dakwaan, maka legalitas sidang selanjutnya menjadi pertanyaan. “Sehingga menjadi aneh, sebuah peradilan menyidangkan kasus yang terdakwanya tidak sah. Apalagi jelas sesuai ketentuan, bahwa permohonan praperadilan itu tidak gugur,” sebutnya.

“Berarti selama sidang tingkat pertama dulu, tersangkanya sebenarnya tidak ada,” kata dia.

Sehingga menurutnya, proses pengadilan tingkat pertama terkait dugaan korupsi di IPA Martubung, sebenarnya sudah menghukum orang yang tidak bersalah. “Dengan tidak sahnya status tersangka Flora Simbolon, maka menurut saya, seluruh rangkaian sidang tingkat pertama itu sebenarnya sudah menyidangkan orang yang salah. Lalu kemudian putusan hakim telah memenjarakan orang yang salah,” sambungnya.

“Logikanya. Bagaimana mungkin orang yang bukan tersangka atau terdakwa disidangkan lalu divonis penjara? Hukum model apa seperti ini? Kitab hukum apa yang mereka gunakan sehingga muncul hal aneh seperti ini? Bukannya lebih baik melepas seribu orang yang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah? Apa mereka lupa soal ini,” masih kata RP Simbolon.

Ternyata kemudian, lanjutnya, Hernold F Makawimbang adalah auditor ilegal dalam kasus ini. “Soal dia bukan akuntan publik sudah ditegaskan ahli dalam persidangan. Terlebih dia tidak melakukan audit sebagaimana mestinya. Dan dia juga bekerja atas nama pribadi. Makin terbuka kebobrokan oknum penegak hukum dalam kasus ini,” katanya.

Lalu soal kerugian negara, kata dia lagi, semua tahu bahwa yang berwenang menentukan adalah BPK, sesuai konstitusi. “Sedangkan instansi lainnya seperti BPKP, inspektorat, satuan kerja perangkat daerah, dan seterusnya, hanya sebatas melakukan audit. Tidak berwenang atau mendiklear adanya kerugian keuangan negara,” katanya.

“Apabila jaksa memanggil oknum mantan BPK, boleh saja dia menghitung. Tapi tidak bisa dipakai sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan. Sementara untuk dinyatakan sebagai tersangka, harus ada dua bukti yang sah,” sambung RP Simbolon.

Pembuktian Secara Bersama-sama

Hal lain yang jadi sorotan pengamat kebijakan ini adalah, fakta bahwa tuntutan jaksa soal ‘melakukan tindakan korupsi secara bersama-sama’ tidak pernah dibuktikan di pengadilan. “Mestinya, sebagaimana dikatakan para praktisi hukum, kalau ada tuduhan ‘berkerja secara bersama-sama’ oleh dua orang misalnya, maka satu sama lainnya harus bersaksi. Misalnya secara bersama-sama oleh si A dan si B. Maka si A dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan si B. Sebaliknya si B juga dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan si A,” jelas dia.

Namun faktanya, lanjut dia, dalam kasus IPA Martubung, dimana jaksa menyebut dua terdakwa berkerja secara bersama-sama yaitu, Flora Simbolon dan M Suhairi, tidak ada saling bersaksi. “Dalam sidang kemarin dengan tegas M Suhairi mengatakan, bahkan sebelumnya dalam pernyataan tertulis, bahwa dirinya tidak pernah dipanggil sebagai saksi dalam persidangan Flora Simbolon. Sebaliknya, Flora Simbolon pun tidak pernah bersaksi untuk dirinya (M Suhairi). Artinya kan tak ada pembuktian di pengadilan soal tuduhan ‘bekerja secara bersama-sama itu’. Ini kan jelas aneh dan patut dipertanyakan,” urai Simbolon.

Oleh sebab itu RP Simbolon meminta kepada siapa saja yang saat ini sedang ikut terlibat dalam sidang PK tersebut, agar mendengarkan hati nuraninya, sehingga keadilan bisa ditegakkan. “Sungguh hal menyedihkan kalau seseorang harus kehilangan hak asasi kemerdekaan dirinya, karena perbuatan oknum-oknum yang entah alasan apa, menciptakan masalah ini,” tutupnya.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment