Jadi Warga Asli, Begini Kehidupan Keturunan Jawa di Rusia

Pemerintahan Presiden Soekarno

topmetro.news – Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno tepatnya sekitar tahun 1961, banyak mahasiswa Indonesia berangkat ke Uni Soviet untuk belajar di beberapa perguruan tinggi di sana. Pemerintah Orde Baru kemudian menyebut mereka eks Mahid. Atau mahasiswa ikatan dinas.

Sebagaimana berita Antara, jumlah eks Mahid yang berangkat ke Rusia mencapai 2.000 orang. Termasuk anggota/kader Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi buruh yang berafiliasi ke PKI.

Dari jumlah itu, sekitar 1.000 mahasiswa belajar teknik permesinan, kedirgantaraan, nuklir, teknologi nano, dan sebagainya. Sementara yang lainnya ada yang belajar hukum, ekonomi, dan sastra.

Mengingat kondisi Indonesia waktu itu sedang kacau, selepas lulus mereka tak berani pulang ke kampung halaman. Mereka pun menjadi kehilangan kewarganegaraan dan tidak boleh bepergian sejauh lebih dari 30 km di negeri tempat mereka tinggal. Lalu bagaimana nasib mereka kini?

Lari ke Rusia

Saat meletus peristiwa G30S PKI, banyak Orang Indonesia yang lari ke Eropa. Seperti ke Belanda, Cekoslovakia, Rumania, Hungaria, dan Rusia. Waktu itu, Orang Indonesia yang lari ke Rusia antara 15-20 orang. Selain pelarian G30S PKI, di sana sudah ada para mahasiswa Indonesia Mahid.

Walaupun belajar di negeri komunis, namun saat di Rusia tak ada satu pun yang mengatakan bahwa mereka mendapat indoktrinasi komunis. Mereka mengatakan, indoktrinasi komunis hanya berlaku bagi orang lokal hingga tingkat SMA. Sementara untuk perguruan tinggi, mereka belajar sesuai bidang ilmu masing-masing.

Salah satu mahasiswa eks-Mahid yang sukses berkarier di dunia akademik adalah Profesor Sudaryanto. Pergi ke Rusia pada tahun 1964, kini ia menjadi profesor ekonomi dan mengajar di Universitas Koperasi Moskow.

Wahid Supriyadi, Duta Besar RI untuk Rusia dan Republik Belarusia mengatakan, semenjak penyelenggaraan Festival Indonesia di tahun 2016, banyak warga generasi eks Mahid yang mulai muncul dan mengikuti upacara peringatan HUT RI. Walaupun secara politis pernah terusir dari Indonesia, Wahid menulis bahwa mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda rasa ‘benci’ terhadap Indonesia.

Wahid mengatakan, kenyataannya mereka memang sudah benar-benar menjadi ‘Orang Rusia’. Sewaktu bertemu di festival itu, mereka menyebut bahwa ayahnya berasal dari Indonesia. Namun kebanyakan tak mengetahui dari daerah mana ayahnya berasal.

Asal Banyumas

Saat menjalani tugas di Rusia, Wahid pernah bertemu seorang eks-Wahid asal Banyumas. Namanya Saryoto. Saat bertemu pada tahun 2016, Saryoto mendekatinya dengan menggunakan kursi roda dan mengajak ngobrol menggunakan ‘bahasa ngapak’. Wahid pun membalas sapaan itu dengan ‘bahasa ngapak’ pula. Saryoto menyambut Wahid dengan penuh semangat.

“Hampir lupa ngapak saya. Untung Pak Dubes dari Kebumen. Kita jadi sering-sering ngomong ngapak,” kata Saryoto penuh semangat.

Pada Wahid, Saryoto mengaku seorang Sukarnois. Sayangnya ia meninggal dunia pada tahun 2017 akibat penyakit komplikasi.

Anak Saryoto, Lubarto (50), merupakan seorang akademisi dengan tiga gelar master bidang ekonomi dan hukum, bisnis administrasi, serta strategi pemasaran. Walaupun belum pernah ke Indonesia, Lubarto mengaku masih melakukan kontak dengan saudara-saudaranya di Banyumas.

BACA | AS Siap Konfrontasi dengan China, Ada Apa Lagi?

Ia pun berjanji pada Wahid untuk datang ke Indonesia dengan misi bisnis sambil menengok tanah leluhurnya di Banyumas. Di sana, Wahid mengusulkan pada Lubarto untuk menemui pejabat setempat dan pengusaha lokal. Dan sekembalinya ke negeri asal, ia bisa menjadi ‘duta’ Banyumas di Rusia.

Mendengar usulan itu, keinginan Lubarto untuk pergi ke Indonesia semakin mantap.

sumber | merdeka.com

Related posts

Leave a Comment