Temuan Air Tertua di Dunia Menjelaskan Awal Mula Kehidupan di Bumi

air tertua di dunia

topmetro.news – Pada tahun 2019, profesor geologi dan ilmu bumi Dr Barbara Sherwood Lollar dari University of Toronto menerima pengharagaan sains tertinggi Gerhard Herzberg Canada Gold Medal for Science and Engineering senilai 1 juta dolar AS. Penghargaan itu berkat penemuannya atas air tertua di dunia. Penemuan itu juga membuatnya memenangkan John C. Polanyi Award dari NSERC pada tahun 2016.

Menurut Mining.com, wawasan Lollar tentang sifat air dan kehidupan di Bumi telah membuka pintu untuk penemuan lebih lanjut tentang asal-usul dan evolusi planet ini. Lebih dari itu, penemuan dan keahliannya dapat membantu membentuk eksplorasi luar angkasa dan menjawab pertanyaan apakah planet lain dapat menampung kehidupan.

Pada 2016, Lollar dan rekan-rekan penelitnya mempublikasikan hasil penelitian yang berjudul ‘Sulfur mass-independent fractionation in subsurface fracture waters indicates a long-standing sulfur cycle in Precambrian rocks’. Penelitian tersebut telah terbit dalam Jurnal Nature Communications.

Sebelumnya, pada 2013, hasil eksplorasi Lollar dan timnya di tambang aktif tembaga, seng, dan perak di Timmins, Ontario, Kanada, telah menghasilkan penemuan air tertua di dunia. Mereka menemukannya di kedalaman 2,4 kilometer di Tambang Kidd Creek.

Analisis geokimia dari sampel air menunjukkan usia air itu adalah 1,6 miliar tahun. Sejauh ini, seperti dilansir The Science Times, air itu merupakan yang tertua yang pernah ditemukan di Bumi.

Oliver Warr, seorang peneliti pascadoktoral dan pemimpin tim eksplorasi tersebut, mengatakan kepada CBC bahwa penemuan tersebut dapat memiliki konsekuensi yang signifikan tentang bagaimana kehidupan mungkin ada. Serta bertahan di kedalaman seperti itu.

BACA | Studi Ungkap Perubahan Iklim Picu Pergeseran Poros Bumi, Ubah Waktu

Aroma Air Petunjuk Utama

Sebuah artikel di Maclean’s melaporkan, bahwa bau apak dari air tertua itu adalah petunjuk utamanya. “Ini benar-benar mengikuti hidung Anda sampai ke batu, untuk menemukan retakan atau retakan di mana air mengalir,” kata Lollar.

Ia mencatat bahwa air itu sangat asin. Sepuluh kali lebih asin dari air laut. Meski bau air itu apak, upaya untuk menemukannya membutuhkan lebih dari seekor anjing schnozz.

Pengujian untuk mengetahui umur sampel air itu meliputi pengukuran gas mulia radiogenik helium dan xenon. Lollar menjelaskan bahwa air itu mengandung unsur-unsur ini karena berada di sedimen yang mengandung unsur-unsur itu untuk waktu yang lama.

Tim peneliti Lollar juga melihat adanya sedimen yang terbentuk di bagian bawah sampel air yang dipindahkan pada tahun 2020 ke Ingenium. Ini adalah sebuah museum sains dan inovasi di Kanada. Sedimen ini mereka identifikasi sebagai endapan dari air setelah terpapar oksigen dari udara.

Yang membuat mereka tersebut adalah apa yang mereka temukan setelah menganalisis air tertua itu.

Para peneliti mengumpulkan sampel air tambahan dari lubang tempat mereka mengebor di dalam tambang untuk mendapatkan air itu, menurut The Scientist. Setelah mempelajarinya di bawah mikroskop, mereka menemukan kehidupan mikroba di sedimen yang menyimpan air tersebut.

Mereka kemudian membandingkan air dari tambang itu dengan air dari danau terdekat. Mereka menemukan kepadatan mikroba dalam air rekahan tambang itu lebih rendah. Hanya ada sekitar 1.000 hingga 10.000 sel mikroba per mililiter air dalam air itu. Jauh lebih kecil berbanding 100.000 sel per mililiter air dari danau.

Para ilmuwan kemudian menginkubasi sel-sel itu dengan berbagai sumber makanan. Hal itu untuk mengetahui, apakah makanan tersebut termetabolisme atau tidak oleh sel-sel tersebut. Mereka menemukan bahwa, seperti yang telah mereka prediksi, mikroba-mikroba itu hampir seluruhnya merupakan organisme pengurang sulfat. Namun, percobaan ini tidak menentukan taksa mikroba.

Lollard berharap, penemuan mereka dapat memberikan bukti langsung terkait keberadaan mikroba-mikroba di Kidd Creek. Serta memandu para peneliti dalam mengerjakan studi di masa depan terkait kehidupan di daerah bawah permukaan yang dalam. Ia mencatat bahwa ada kemungkinan, temuan kehidupan dapat berada hampir di mana saja di seluruh dunia saat orang-orang berusaha meneliti di lingkungan-lingkungan seperti ini.

sumber | nationalgeographic.co.id

Related posts

Leave a Comment