Tanggapan PWI Pusat Terkait Uji Materi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Uji Materi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

topmetro.news – Sebagai konsituen Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berpendapat bahwa para pemohon dalam Perkara No. 38/PUU-XIX/2021 tidak memiliki kerugian konstitusional akibat keberlakukan ketentuan Pasal 15 Ayat (2) Huruf f UU Pers berdasarkan UUD 1945.

Ketua Umum PWI Atal S Depari menekankan, Huruf f UU Pers dengan mendasarkan pada hak konstitusional sebagaimana aturan dalam Pasal 28, Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945, tidak ada hubungannya dengan ketentuan a quo UU Pers yang jadi permasalahan oleh para pemohon.

“Karena ketentuan a quo yang dipermasalahkan memiliki makna bahwa fungsi Dewan Pers adalah sebagai fasilitator organisasi-organisasi pers dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers. Sedangkan para pemohon bukan organisasi pers,” jelas Atal S Depari.

PWI juga menilai para pemohon tidak mengalami kerugian akibat keberlakuan ketentuan Pasal 15 Ayat (5) UU Pers mengenai penetapan anggota Dewan Pers oleh Presiden.

Dengan mendasarkannya pada hak konstitusional sebagaimana ketentuan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD NRI 1945, tidak ada hubungannya dengan ketentuan a quo yang jadi permasalahan. Sebab, para pemohon hingga saat ini bukan anggota Dewan Pers dari unsur wartawan yang terpilih oleh organisasi wartawan. Maupun unsur pimpinan perusahaan pers yang terpilih oleh organisasi perusahaan pers.

Atal menerangkan, enam anggota Dewan Pers atau sama dengan 2/3 anggota Dewan Pers adalah unsur wartawan yang terpilih oleh organisasi wartawan maupun unsur pimpinan perusahaan pers yang teripilih oleh organisasi perusahaan pers, yang merupakan organisasi pers sebagaimana maksud Pasal 1 Angka 5 UU Pers.

Wartawan dan UU

Atal juga menanggapi anggapan para pemohon mengenai Dewan Pers melakukan praktek ‘ultra vires’ (tindakan di luar batas kewenangan). Salah satu tindakan yang di luar batas menurut para pemohon adalah kewenangan Dewan Pers melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan. Menurut para pemohon, itu melanggar UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena yang berwenang menguji kompetensi wartawan adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

“Kami berpendapat, maksud UU Ketenagakerjaan adalah tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP. Sedangkan wartawan adalah sebuah profesi khusus dengan aturan khusus dalam UU Pers,” kata Atal.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 UU Pers, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Maka UU Pers adalah ‘lex specialis’ untuk profesi wartawan. Serta tidak bisa serupa dengan tenaga kerja sebagaimana maksud dalam UU Ketenagakerjaan.

Atal menegaskan, wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Menurut Atal, pemahaman para pemohon yang menyamakan profesi wartawan dengan tenaga kerja, adalah sesat.

“Yang benar adalah Uji Kompetensi Wartawan berlaku oleh Dewan Pers sesuai tugas dan fungsinya. Guna meningkatkan kualitas kewartawanan berdasarkan UU Pers,” ujar Atal.

“Apakah profesi dokter dan advokat dapat disamakan dengan tenaga kerja yang harus ikut sertifikasi BNSP? Tidak. Karena profesi dokter dan advokat adalah profesi khusus. Yang diatur masing-masing secara khusus (lex specialis) dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Advokat,” tambah Atal.

Justeru, masih kata Atal, para pemohon menundukkan diri secara sukarela sebagai tenaga kerja dengan mendirikan LSP untuk melaksanakan Sertifikasi Profesi Wartawan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional.

Kapasitas Pemohon

Para pemohon tidak layak lagi mengaku berprofesi sebagai wartawan karena menginginkan campur tangan BNSP untuk melakukan Sertifikasi Profesi Wartawan. Karena profesi wartawan ada aturan khusus dalam UU Pers.

Menurut Atal, seharusnya para pemohon mengikuti keputusan Dewan Pers sebagai lembaga independen dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Dan melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain. Termasuk campur tangan dari pemerintah sebagaimana penegasan dalam Pasal 15 Ayat (1) UU Pers.

Ia juga menanggapi dalil para pemohon telah membuat peraturan pers yang lebih lengkap. Menurut Atal, para pemohon tidak memiliki kapasitas dan kewenangan untuk menerbitkan peraturan-peraturan yang mengikat secara eksternal atau umum bagi profesi wartawan di Indonesia. Sebab, para pemohon bukan Dewan Pers.

“Apa yang dilakukan Dewan Pers selama ini tidak lain dan tidak bukan adalah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU Pers. Dengan memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers guna meningkatkan kualitas kewartawanan,” papar Atal.

Perlu diketahui bahwa keputusan-keputusan Dewan Pers dalam bentuk surat edaran, pedoman, maupun peraturan tidak begitu saja dikeluarkan. Tetapi telah melalui proses yang panjang. Serta lewat kesepakatan seluruh organisasi pers profesional.

Atal menegaskan, penetapan anggota Dewan Pers oleh Presiden dalam ketentuan a quo, bukan merupakan bentuk diskriminatif. Namun sebagai pembatasan, guna memberikan perlindungan hukum, keamanan, dan ketertiban umum kepada masyarakat.

Dewan Pers yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden adalah Dewan Pers yang sah. Di mana masyarakat dapat membuat pengaduan mengenai dugaan-dugaan tindakan-tindakan wartawan, organisasi pers dan perusahaan pers yang merugikan masyarakat dan tidak sesuai kode etik jurnalistik.

“Bayangkan jika setiap ormas/LSM/persekutuan berbadan hukum menyisipkan nama ‘Dewan Pers’. Kemudian harus diberikan Keputusan Presiden. Maka masyarakat tidak akan memperoleh perlindungan dan kepastian hukum yang seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat,” pungkasnya.

sumber | Humas PWI Pusat

Related posts

Leave a Comment