“Kami Berharap Tak Ada lagi Debora Lain Mengalami Nasib Serupa”

"Kami Berharap Tak Ada lagi Debora Lain Mengalami Nasib Serupa"

TOPMETRO.NEWS – Raut sedih masih tampak jelas di wajah Henny. Dengan terbata-bata, dia menjelaskan kembali kronologi yang menimpa sang buah hati. Awalnya, bayi empat bulan itu batuk dan pilek hampir sepekan. Hingga akhirnya, Henny dan Rudianto memutuskan untuk membawa sang anak ke RS Cengkareng pada 2 September 2017.

Namun, tiba-tiba, pada 3 September 2017 dini hari, Debora sesak napas. Henny yang panik membawa sang anak menuju rumah sakit terdekat, yakni RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.

“Tanpa pikir panjang, langsung ke sana. Saya juga nggak tahu itu rumah sakit BPJS atau nggak. Yang ada di pikiran saya cuma gimana anak bisa cepat ditangani,” ungkapnya.

Sampai di rumah sakit itu, Debora masuk instalasi gawat darurat (IGD). Di sana, dia ditangani dokter Iren. Debora mendapat pertolongan pertama dengan melakukan pengenceran dahak. Setelah beberapa jam, sang dokter keluar dan mengabarkan bahwa kondisi Debora sudah stabil meski belum 100 persen.

“Dokter menyarankan agar Debora dipindahkan ke NICU (neonatal intensive care unit) awalnya. Lalu, karena tahu umur Debora sudah empat bulan, dibilang ke PICU (pediatric intensive care unit),” jelasnya.

PICU diperuntukkan bagi anak usia di atas 28 hari sampai 18 tahun. Sementara itu, anak berusia 0–28 hari yang membutuhkan perawatan intensif dimasukkan ke NICU. Terkadang, ada beberapa rumah sakit yang menggabungkan ruangan NICU dan PICU.

Masalah muncul setelah itu. Henny dan sang suami diminta menyelesaikan urusan administrasi sebelum dilakukan pemindahan. Mereka dikenai biaya Rp19,8 juta.

Karena terburu-buru berangkat, Henny menyatakan dirinya dan suami tak membawa uang yang cukup.

Dia meminta untuk diberi kelonggaran agar sang anak bisa masuk sebelum pelunasan.

“Kami berangkat saja sudah sangat buru-buru. Tapi, ternyata tak boleh. Akhirnya, suami memutuskan pulang,” tuturnya.

Setelah mengambil dompet, ternyata, uang yang dimiliki tidak memenuhi yang diminta. Mereka cuma mengantongi Rp5 juta. Dengan modal itu mereka kembali ke bagian administrasi.

Nahas, mereka kembali ditolak. “Katanya, gak bisa. Kalau mau DP minimal Rp11 juta,” ungkapnya.

Dengan berat hati, mereka kembali ke IGD.

Di sana, dia kembali bertemu dengan sang dokter yang menangani Debora. Dokter ngotot agar Debora dipindah ke PICU karena di IGD untuk penanganan intensif tidak memadai. Hingga akhirnya, dia menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit yang bermitra dengan BPJS Kesehatan dan yang memiliki PICU.

Dalam proses ini, mereka harus berjuang sendiri. Tak ada bantuan dari pihak rumah sakit. Mereka mendatangi dan menelepon beberapa rumah sakit. Lagi-lagi, mereka harus menelan pil pahit. Belum ada rumah sakit yang bisa dijadikan rujukan.

Sampai akhirnya sekitar pukul 09.00, ada kerabat yang menginformasikan bahwa RS Koja siap menerima rujukan. Malang tak bisa ditolak. Belum juga dipindahkan, sang buah hati dinyatakan meregang nyawa sekitar pukul 10.00. Hancur sudah hati Henny dan Rudianto.

“Kami sudah berjanji melunasi nanti agak siangan. Karena pagi-pagi, banyak kerabat yang belum bangun. Tapi, ditolak dan akhirnya seperti ini,” jelasnya sebagaimana disiarkan JawaPos.

Atas kasus yang menimpanya, Henny berharap tak ada lagi anak-anak lain yang ditelantarkan karena urusan administrasi. Meski begitu, dia belum berencana untuk mengajukan tuntutan hukum atas dugaan pembiaran untuk sang buah hati.

“Harapan saya cuma tolong diselamatkan dulu nyawa ini. SOP belakangan,” ungkapnya. (tmn)

 

Related posts

Leave a Comment