topmetro.news – Sejumlah survei masih menempatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon terkuat, disusul Prabowo Subianto. Namun, menurut PDIP, persaingan Jokowi dan Prabowo Subianto tidaklah terlalu ketat.
Sementara menurut Charta Politika, elektabilitas Prabowo mulai naik setelah Partai Gerindra mendeklarasikan Prabowo.
Pertanyaan publik saat ini, apakah memang hanya dua nama itu yang akan bertarung atau ada nama lain yang bakal menjadi kuda hitam.
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, mengatakan, sebenarnya persaingan Jokowi dan Prabowo tidak terlalu ketat. Pihaknya memprediksi, persaingan ketat cenderung takkan terjadi.
“Sebab, masyarakat semakin antusias ketika Jokowi melakukan kunjungan ke daerah,” kata Hasto, Kamis (24/5/2018).
PDIP Pantau Parpol Lain
Menurut Hasto, pihaknya memilih tidak ingin terburu-buru menyimpulkan, bahwa tidak ada penantang lain yang bakal menjadi kuda hitam. “Kami akan melihat bagaimana parpol-parpol nantinya mengusulkan pasangan calon. Dari situ, sikap partai akan ditentukan,” ujarnya.
Hasto melanjutkan, terlepas soal persaingan Jokowi dan Prabowo, PDIP lebih memilih fokus memberi dukungan kepada Jokowi. Agar di sisa pemerintahannya, kerja untuk menyukseskan janji di kampanye bisa terlaksana.
Ketika ditanya tanggapannya soal poros ketiga yang selama ini digadang oleh Partai Demokrat, Hasto tak mau berspekulasi. Hanya saja, berdasarkan informasi yang dia peroleh, banyak yang menyebut relatif sulit membentuk poros dimaksud.
“Karena orang paham, supaya pemerintahan nantinya stabil, maka syarat dukungan parlemen sangat diperlukan. Jadi kecil kemungkinan poros ketiga kalau kekuatan dukungan parpolnya kecil. Itu yang saya dengar ya,” ujar Hasto.
Masih Dipilih Mayoritas
Menurut survei Charta Politika, elektabilitas Jokowi sedikit menurun dan elektabilitas Prabowo Subianto naik. Namun, Hasto Kristiyanto menilai hasil survei itu justru semakin menegaskan besarnya dukungan rakyat kepada Presiden Jokowi.
Menurut Hasto, sebenarnya tidak ada penurunan elektabilitas Jokowi. Sebab survei Charta Politik dilakukan setelah penetapan Partai Gerindra terhadap Prabowo sebagai calon presiden. Artinya, tentu saja hasil survei akan berbeda ketika Jokowi dihadapkan dengan Prabowo ketika belum ditetapkan sebagai capres Gerindra, dan setelah ditetapkan.
“Jadi istilah tepatnya bukan Jokowi turun tetapi berubah angkanya karena figur Prabowo sekarang resmi menantang,” kata Hasto, Kamis (24/5/2018).
Dan kata Hasto, fakta menariknya adalah Jokowi masih dipilih mayoritas rakyat Indonesia. Survei itu menunjukkan bahwa Jokowi masih di atas 50 persen. “Dari survei itu pun menunjukkan kuatnya rakyat mendukung Jokowi,” kata dia.
Soal Pengangkatan Ngabalin
Kata Hasto, isu agama memang menjadi sebuah isu yang patut diwaspadai menyangkut elektabilitas Jokowi. Karena itu, bisa dipahami bila Ali Mochtar Ngabalin diangkat menjadi staf kepresidenan untuk bisa ikut memikirkan solusinya.
Namun sebenarnya, kata Hasto, bukan hanya itu alasan pengangkatan Ngabalin. Sebab Ngabalin juga merepresentasikan luar Jawa dan pengalaman panjangnya di DPR sebagai legislator.
Bicara pengalaman ketika Ngabalin masih menjadi anggota DPR dari Partai Bulan Bintang (PBB), kata Hasto, punya hubungan baik dengan PDIP.
“Waktu dia di PBB, Pak Yusril (Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra) pernah jadi anggota kabinet Bu Mega juga. Di situ Pak Yusril juga menampilkan sosok kepemimpinanya karena kemampuan tata negara dan ilmu pemerintahannya,” ulas Hasto.
Ketika Hasto ditanya pendapat dia soal isu ekonomi yang bisa menggerus elektabilitas Jokowi, Hasto mengatakan bahwa itu memang ada benarnya. Namun bukan berarti harus diangkat pula staf khusus atau juru bicara khusus mengenai itu. Bagi pihaknya, sebenarnya para menteri terkait isu itu yang harus menjadi juru bicara keberhasilan pemerintah. (TM-RED)
sumber: beritasatu.com