Saksi Kasus IPA Martubung Menilai, Dakwaan Menghina Ilmu Pengetahuan

dakwaan kasus ipa martubung

topmetro.news – Seorang saksi yang dihadirkan JPU menilai, bahwa sebagian materi dakwaan kasus IPA Martubung merupakan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan.

Hal itu disampaikan saksi bernama Mahdi Azis tersebut di depan majelis hakim, saat menjawab beberapa pertanyaan diajukan terdakwa Flora Simbolon, pada sidang lanjutan kasus dugaan korupsi IPA Martubung di PN Medan, Senin (14/1/2019).

BACA JUGA: Terdakwa Dugaan Korupsi IPA Martubung Mengaku tak Tahu yang Dituduhkan

Protes Dakwaan Kasus IPA Martubung

Memang, pada saat pemeriksaan Mahdi Azis, atas seizin hakim, terdakwa mengajukan beberapa pertanyaan kepada saksi ini. Flora mengajukan pertanyaan seputar dugaan kerugian negara, atas tuduhan tidak terpasangnya sejumlah item dalam proyek dimaksud.

Di antaranya soal kabel, pipa, dan beberapa item lagi yang dikatakan tidak ada karena tidak terlihat. Yang oleh saksi dijawab, satu saja item tidak terpasang sebagaimana disebutkan dalam dakwaan, maka alat tidak akan bisa bekerja.

“Kalau tidak ada kompresor misalnya, alat itu tidak berjalan. Sebagian komponen kan ditanam di dalam tanah. Bila ada satu komponen tidak lengkap, maka akan mati,” katanya.

Dia menjelaskan lagi, pintu air sejajar dengan pipa di dalam sungai sehingga tidak kelihatan dan kenapa dianggap nol. Kemudian ada juga pipa tapi dianggap tidak dipasang. Padahal ada ditanam.

“Salah satu saja ini tidak dipasang akan menggagalkan keseluruhan proses. Saya menganggap ini sebagai penghinaan terhadap ilmu pengetahuan. Bagaimana pipa dikatakan tidak terpasang karena tidak terlihat, tapi air bisa mengalir,” tegasnya.

“Ini sama saja mengatakan tidak punya otak karena otaknya tidak terlihat,” sambung alumni S-2 USU ini lagi.

Mahdi juga menjelaskan soal pemasangan genset. Dikatakan dia, salah satu genset yang diadakan, tidak sekadar dibeli. Karena sesudah genset di lokasi, masih banyak pengerjaan terkait pemasangannya, di luar biaya pembelian genset.

“Salah satunya adalah pemasangan muzzler atau sistem knalpot,” katanya.

Demikian juga soal listrik. Kata dia, arus dari PLN sudah tersambung, namun masih ada pemasangan tiang kistrik. Dan soal ini harus PLN yang kerjakan, karena ada yang namanya sertifikat. Namun yang membayar biaya pemasangan tiang listrik adalah KSO.

Tuduhan Dakwaan Fiktif

Begitu pun dengan pemasangan 23 unit kubical, yang dalam dakwaan disebut sebagai penyebab kerugian negara hingga miliaran rupiah. Menurut saksi, hanya ada direncanakan. Tapi setelah dikoordinasikan ke PLN, akhirnya diputuskan, satu yang dipasang dan yang mengerjakan adalah PLN.

“Jadi tidak ada pemasangan 23 alat kubical,” kata Mahdi.

Flora sendiri menyampaikan kepada majelis hakim, sebenarnya masih banyak item-item yang dikatakan tidak terpasang karena tidak terlihat. Padahal, kata dia, semua item itu ada dan dipasang.

“Sebenarnya masih banyak Yang Mulia,” kata Flora mengenai dakwaan kasus IPA Martubung itu.

Disinggung juga soal temuan PPHP mengenai antipetir yang belum terpasang. Dikatakannya, saat PPHP meriksa, alat sudah ada tapi belum terpasang. Namun langsung dipasang usai pemeriksaan.

Sebelumnya, saksi Mahdi menjelaskan soal EPC, yang merupakan sebuah proyek, dimana mulai dari perencanaan hingga selesai segala resiko menjadi tanggung jawab rekanan. Ditegaskannya, di dalam kontrak tidak ada harga satuan.

Saksi juga menjelaskan bagaimana mereka mengerjakan proyek dengan segala situasinya dan semua bisa dijalankan sesuai kontrak. Di antara situasi yang menjadi kendala adalah, masalah kelistrikan di Sumut, yang ketika itu sedang dilanda krisis enerji.

Bahkan dia tak pernah menduga bahwa tingkat kesulitan kerja di lokasi lebih tinggi dari ekspektasi. Bahkan sampai dipukul preman.

Perubahan Spesifikasi dan Mutu

Soal kekurangan yang disampaikan oleh PPHP, kata saksi, sudah mereka perbaiki. Sedangkan mengenai spesifikasi, kata Mahdi, memang bisa berubah sesuai tuntutan kondisi lapangan dan itu juga ada dalam kontrak.

“Di kontrak juga disebut bahwa spesifikasi bisa diubah sepanjang tidak mengurangi mutu,” katanya.

Mengenai scada yang ditanyakan, kata dia, ketika jaksa datang pertama kali, alat itu memang masih sedang dikerjakan. “Tapi bukan tidak ada. Dan terus dikerjakan hingga akhirnya selesai,” katanya.

Disampaikan saksi lagi, bahwa yang paling utama dalam pengerjaan adalah pertimbangan teknis. “Biaya dikesampingkan oleh pertimbangan teknis. Salah satunya adalah soal peningkatan daya listrik. Walau menambah cost, itu harus dipenuhi. Dari 1.000 menjadi 1.360,” katanya.

Karena ketika itu dari PLN juga tak ada jaminan kapan listrik masuk, maka harus menggunakan genset. “Memutuskan kenaikan daya listrik adalah dengan pertimbangan berat. Kalau tak dipenuhi (kenaikan daya-red), bagaimana dengan kualitas pekerjaan. Kalau dipenuhi harus keluar biaya tambahan dan harus ditanggung oleh KSO. Dan pada akhirnya kekurangan untuk memenuhi pertambahan daya tadi memang harus ditanggung oleh KSO,” urainya.

Menjawab pertanyaan, saksi mengaku bahwa Kejatisu pernah juga memeriksa proyek. Namun, kata dia, mereka hanya datang dan melihat. Sepengetahuan saksi sekali, sekira Bulan April 2014, saat belum ada pencairan tahap pertama.

Proses Pembelian Barang

Ditanya soal pembelian barang, kata saksi, semua melalui proses rumit. Khususnya yang urgent harus melalui LPM (lembar persetujuan materil). “Vendor juga harus diuji. Apakah usai kontrak vendor apakah masih ada. Kalau Flora menyediakan barang sendiri, itu tak akan mungkin terjadi dan memang tidak pernah terjadi,” tegasnya.

Saksi menegaskan, semua yang ada dalam kontrak sudah dikerjakan. “Malah ada sebenarnya yang kami tambah. Misalnya bagaimana mengalirkan listrik dari panel ke pompa, tak ada disebut dalam kontrak. Tapi harus dibuat,” katanya.

Saksi lain untuk terdakwa Flora adalah Sulman Tumanggor. Anggota dari Mahdi Azis ini merupakan ahli di bidang scada. Kemudian saksi ketiga bernama M Arif Siregar, yang merupakan anggota PPHP.

reporter: Robert Siregar dan Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment