Tak Ada Kerugian Negara Dalam Proyek IPA Martubung

kerugian negara

topmetro.news – Saksi yang merupakan konsultan audit kerugian negara, Sudirman SE SH MM, turut dihadirkan dalam sidang IPA Martubung. Dan pada kesempatan itu, mantan pegawai BPK tersebut menegaskan, tidak ada kerugian negara dalam Proyek IPA Martubung.

“Tidak ada dalam perkara ini kerugian negara. Ini kan kontrak ‘lump sum’. Tidak ada harga kali volume. Itu tidak dikenal. Resiko kan ditanggung penyedia. Kalau ‘lump sum’ dihitung dengan satuan, tidak ada. Yang mengikat hanya total harga,” urainya dalam sidang di PN Medan, Senin (18/2/2019).

Hal lain adalah, bahwa dakwaan kerugian keuangan negara yang berasal dari perhitungan Hernold Makawimbang tidak layak dijadikan dasar adanya kerugian keuangan negara. “Karena kerugian keuangan negara yang ditetapkan Hernold Makawimbang tidak berdasarkan pemeriksaan dan standar pemeriksaan. Tetapi berdasarkan berita acara pemeriksaan. Itu bertentangan dengan UU No 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,” katanya.

Kemudian kesimpulan Hernold Makawimbang yang menyatakan, kerugian keuangan negara karena negara tidak memperoleh manfaat dari keuangan yang dikeluarkan, menurut Sudirman, adalah pernyataan sesat. Karena Hernold tidak melakukan klarifikasi/konfirmasi kepada auditi dan tidak mengunjungi lapangan. Sehingga tidak mengetahui faktanya.

“Faktanya adalah, saat Hernold di-BAP tanggal 7 Agustus 2018, penghasilan PDAM dari IPA Martubung selama 22 bulan dari Oktober 2016 hingga Juli 2018, sebesar Rp56.703.970.000. Dan selama 25 bulan sampai Oktober 2018, penghasilan yang diperoleh PDAM sebesar Rp65.475.600.000,” katanya.

Sudirman juga menyoroti soal pemeriksaan yang katanya dilakukan auditor. Dia menyampaikan, dalam sebuah pemeriksaan, sebelumnya harus dilakukan gelar kasus. “Lalu ada surat tugas untuk audit. Dalam audit harus ada pengumpulan dan pengujian bukti. Dan salah satu yang paling penting adalah melihat pekerjaan. Lalu harus ada hak sanggah,” jelasnya.

Langgar Etika Pemeriksaan

Dia juga menjelaskan soal etika pemeriksaan dan syaratnya. “Etika pemeriksaan adalah pada saat pembayaran sudah 100 persen. Termasuk hak retensi. Soal perpanjangan masa kerja, sesuai UU sangat diperbolehkan. Tidak ada satu pasal pun di Perpres yang melarang perpanjangan waktu,” sebutnya.

Sebagai ahli audit, dia mengaku pernah memeriksa semua jenis kontrak di PDAM Tirtanadi. Dan sangat memahami kontrak. “Kontrak ‘lump sum’ diperbolehkan perubahan kerja tambah kurang. Tergantung situasi lapangan. Yang penting total jumlah tidak berubah. Dan harus dipahami bahwa kontrak ‘lump sum’ adalah orientasi output,” katanya.

Kemudian dia menegaskan, bagi auditor, yang dibutuhkan adalah bukti lengkap. Bukan BAP. Sesudah dapat bukti lalu dilaksanakan pengujian. Lalu ada klarifikasi. Ada standar audit. Penyidik biasanya minta ahli teknik memeriksa fisik. Tapi auditor juga harus ikut memeriksa. Biasanya diminta pada saat penyelidikan. Setelah dapat hasil baru dilakukan penyidikan. Lalu pada saat itulah dilakukan penetapan tersangka,” urainya.

Menjawab Hakim Rodslowny Tobing, dia mengatakan, waktu pengerjaan boleh diperpanjang. “Sebenarnya tidak ada satu perusahaan pun yang mau memperpanjang waktu karena merugikan. Dan untuk penambahan waktu bisa ada adendum perpanjangan waktu,” katanya.

“Soal denda, tergantung situasi. Misalnya karena izin, cuaca dan lainnya. Soal lamanya izin bisa dibuktikan dengan tanggal yang ada dalam izin,” katanya.

Menjawab pertanyaan hakim anggota lainnya, Sudirman menyebut, soal izin bisa juga menjadi keadaan ‘force major’. “Tidak ada aturan yang mengatakan tidak boleh ada adendum waktu. Soal izin kan tidak boleh bekerja kalau tak ada izin. Bisa saja waktu pengurusan izin molor. Harusnya tiga bulan jadi enam bulan,” katanya.

Pada kesempatan itu, dia mengaku, baru di Medan menemukan, ada oknum yang melakukan audit. “Apalagi basic auditor harusnya lulusan akuntan. Dan audit tidak boleh sepihak. Harus kedua belah pihak. Harus ada klarifikasi. Tidak boleh hanya berdasarkan BAP saja,” katanya.

Lump Sum Orientasi Output

Sedangkan menjawab hakim ketua, dia menegaskan, kalau output sudah tercapai maka tidak ada masalah walau ada kekurangan pekerjaan. “Kalau spesifikasi berubah juga tak masalah kalau output tercapai. Perhitungan Hernold tidak layak dijadikan dasar penetapan kerugian negara,” katanya.

BACA JUGA | Ditahan Karena Data Palsu, Kuasa Hukum Minta Flora Simbolon Dibebaskan

Ibarat Membeli Mobil

Di luar persidangan, Sudirman mengatakan, sekaitan dengan kontrak ‘lump sum’ yang digunakan, maka Proyek IPA Martubung bisa diibaratkan membeli sebuah mobil. “Kalau kita membeli sebuah mobil, yang disampaikan kepada kita adalah harga sebuah mobil secara utuh. Tak ada harga pintu mobil, harga ban, harga ‘dashboard’, dan lainnya. Artinya, disana tidak ada harga satuan,” kata Sudirman kepada media.

Demikian juga, lanjut dia, dengan Proyek IPA Martubung yang menggunakan kontrak ‘lump sum’. Kata magister bidang keuangan ini, adalah sangat menyalahi kalau dilakukan perhitungan satuan.

Sudirman pun menegaskan, dalam kontrak ‘lump sum’, hanya ada tiga poin penting yang harus dipenuhi. Antara lain, semua resiko ditanggung penyedia. Sifat pekerjaan berorientasi pada output. Lalu terikat pada total jumlah.

“Maka untuk IPA Martubung, kalau output sudah tercapai maka tidak ada masalah. Kalau spesifikasi berubah juga tak masalah kalau output tercapai. Sehingga perhitungan Hernold tidak layak dijadikan dasar penetapan kerugian negara,” tegasnya.

Menjawab pertanyaan, andai penyedia jasa hanya mengeluarkan biaya 10 persen dari nilai kontrak untuk menyelesaikan pekerjaan, apakah bisa dimasalahkan, ditegaskannya, tidak bisa.

“Tapi kan tak mungkin 10 persen yang terpakai. Tapi andai seperti itu pun, tak ada masalah. Tak ada yang dilanggar. Jadi, ppada prinsipnya, tak ada kerugian negara dalam IPA Martubung, karena dilakukan dengan kontrak ‘lump sum’, sepanjang sudah memenuhi output yang disebut dalam kontrak,” tegasnya.

Disampaikannya juga, bahwa audit tidak bisa dilakukan secara pribadi. “Itu tidak pernah ada. Tidak ada peraturan yang memberi kewenangan kepada oknum untuk mengaudit dan menyatakan kerugian negara. Dan itu bertentangan dengan UU No 25 Tahun 2004,” urainya.

Sudirman lebih lanjut menyampaikan, pemeriksaan atau audit harus dilakukan pada saat penyelidikan, bukan saar penydikan. Bisa oleh KPK, kejaksaan, atau polisi. “Setelah berakhirnya masa pemeliharaan baru bisa dilakukan pemeriksaan fisik. Lalu pemeriksaan APBD bisa dilakukan setelah dilakukan pembayaran 100 persen,” katanya.

Sudirman pun menegaskan lagi, bahwa soal kerugian keuangan negara adalah kekurangan barang yang nyata dan pasti akibat perbuatan penyedia jasa. “Betul-betul ada wujud kerugian. Harus pasti dan nyata jumlahnya,” katanya.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment