Mantan Hakim Agung: Penahanan Flora Simbolon Melanggar Hukum

penahanan flora simbolon

topmetro.news – Mantan Hakim Agung, Dr H Atja Sondjaja SH MH menyebut, bahwa penahanan Flora Simbolon melanggar hukum. Hal itu disampaikannya, saat menjadi saksi ahli pada sidang dugaan korupsi Proyek IPA Martubung, Kamis (21/2/2019), di PN Medan.

Menurut Atja Sondjaja, sidang itu pun tidak seharusnya dijalankan. Salah satu alasannya, mengacu pada sidang praperadilan, yang sudah memutuskan, bahwa status terdakwa Flora Simbolon tidak sah.

Hormati Praperadilan

Bahkan ditegaskannya, oknum yang melakukan penahanan melawan hukum, bisa dipidana penjara delapan tahun. “Pejabat harus memenuhi syarat untuk menahan, karena itu melanggar HAM. Tak boleh sembarangan merampas hak kemerdekaan seseorang. Oknum yang melakukan penahanan melawan hukum bisa dipidana penjara 8 tahun. Yang dirugikan bisa melakukan laporan. Laporan bisa ke polisi, atau kejaksaan,” katanya.

“Semua pihak harus menghormati putusan praperadilan. Kalau tersangka masih ditahan, kan sudah tak sah. Hentikan pemeriksaan. Kalau mau diperiksa lagi bikin sprindik baru. Ini kan negara hukum. Harus saling menghormati. Bagaimana jaksa melanjutkan dakwaan, sementara terdakwa tidak sah lagi,” sambung hakim sejak Era Soekarno ini.

Sempat juga dibahas, bagaimana syarat gugurnya praperadilan. Dia menegaskan, apabila sudah ada putusan praperadilan sebelum sidang pertama, maka pokok perkara gugur. Mengenai sudah terdaftar di PN, kata Atja, itu hanya soal administrasi saja.

“Kalau sebelum sidang pertama sudah ada putusan praperadilan maka hormati putusan itu. Dan putusan MK itu harus dihormati. Karena itu lembaga resmi. Kalau itu tidak dihormati, maka bagaimana negara kita ini soal hukum. Soal nomor perkara pokok dengan dan perkara praperadilan kan beda. Jadi mana yang lebih dulu. Itu harus dihormati,” katanya.

Dia juga mengingatkan, bahwa berbahaya menahan orang tidak berdasarkan hukum. “Yang dapat didakwa adalah tersangka. Kalau dipaksakan itu melanggar hukum. Kalau mau dilanjutkan, maka bikin penyelidikan hukum baru. Kalau tidak ada bukti, maka seseorang tidak bisa dijatuhkan hukuman pidana. Harus bebas murni,” sebutnya.

Wanprestasi Bukan PMH

Kemudian, saksi ahli juga menegaskan, bahwa dalam kontrak, apabila ada satu pihak yang melanggar, sekalipun mengakibatkan kerugian keuangan negara, itu bukan perbuatan melawan hukum atau PMH. Tetapi merupakan tindakan ingkar janji/wanprestasi.

“Sering orang tidak paham antara melawan hukum dengan wanprestasi. Melakukan sesuatu terikat dalam dua hal, yaitu UU dan perjanjian. Kalau hak dan kewajiban berdasarkan UU dilanggar maka itu melanggar hukum. Kalau melanggar kontrak atau perjanjian itu bukan melanggar hukum tapi melanggar janji,” paparnya.

Hal itu, kata dia, sesuai Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi, “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena UU.”

“Apabila hak orang lain atau kewajiban diri sendiri yang timbul dari perjanjian dilanggar, maka yang bersangkutan telah melakukan ingkar janji atau wanprestasi. Bahwa antara perbuatan melawan hukum dan wanrestasi terbukti sumbernya berbeda. Dan selain sumbernya berbeda, akibatnya pun berbeda jauh pula,” sambung Atja.

Maka, kata dia, pendapat yang menyatakan wanprestasi merupakan perbuatan melawan hukum adalah suatu pendapat yang sesat dan keliru. Ketika penasihat umum ingin memastikan, bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian gagal melaksanakan bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, tapi wanprestasi, saksi ahli mengatakan, kesimpulan itu benar.

“Bukan perbuatan melawan hukum tetapi wanprestasi. Sehingga unsur melawan hukum tidaklah terbukti secara sah,” kata Atja.

Demikian juga soal adendum, kata Atja, bukanlah perbuatan melanggar hukum. “Ketika BUMD melakukan kontrak dengan penyedia jasa, tentu ada perjanjian soal adendum, denda dan sebagainya. Adendum itu juga janji. Jadi, kalau saya jadi hakimnya, maka saya baca dakwaan. Kalau kontrak, maka saya lepas,” katanya.

Soal Kerugian Negara

Soal kerugian negara, menurut saksi, yang berwenang menentukan adalah BPK, sesuai konstitusi. “Sedangkan instansi lainnya seperti BPKP, inspektorat, satuan kerja perangkat daerah, dan seterusnya, hanya sebatas melakukan audit. Tidak berwenang atau mendiklear adanya kerugian keuangan negara,” katanya.

“Apabila jaksa memanggil oknum mantan BPK, boleh saja dia menghitung. Tapi tidak bisa dipakai sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan. Sementara untuk dinyatakan sebagai tersangka, harus ada dua bukti yang sah,” katanya.

Sehingga, apabila dalam BAP tipikor adanya kerugian keuangan negara tidak dilakukan pemeriksaan oleh BPK, maka alat bukti yang diajukan penuntut umum tentang adanya kerugian keuangan negara itu tidak sah.

“Sesuai dengan SEMA, alat bukti tersebut adalah tidak sah. Sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah tentang kerugian keuangan negara,” katanya.

Penanggungjawab Kontrak

Mengenai siapa yang paling berwenang dan bertanggung jawab kepada kontrak, kata Atja Sondjaja, adalah yang menandatangani. “Siapa yang menandatangani, itu yang diperiksa lebih dahulu. Yang disuruh tidak bisa dihukum. Baik pidana atau perdata. Yang dihukum adalah yang menyuruh,” katanya.

Menurut hukum, orang yang diperintahkan tidak bisa diminta pertanggungjawaban hukum. Yang harus bertanggung jawab adalah pemberi perintah. Termasuk apabila isi perintah tidak sesuai dengan spek yang diperjanjikan. Maka yang bertanggung jawab yang memberi perintah yaitu yang menandatangi kontrak.

Saksi kemudian mempertegas, apabila dalam suatu kasus yang berkenaan dalam pelaksanaan kontrak, salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya sehinggga merugikan keuangan kawan peserta dalam perjanjian yang kebetulan BUMD, tidak dapat dijerat dengan tindak pidana tipikor.

“Seperti diutarakan di atas, tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Apalagi jika tipikor yang disangkakan itu tidak ditujukan kepada pimpinan perusahaan. Karena pihak pegawai hanya pelaksana perintah pimpinan perusahaan.

Ketika kuasa hukum terdakwa yang terdiri dari Andar Sidabalok SH MH dan Parlindungan Tamba SH minta penegasan, bahwa, apabila dari hasil pemeriksaan selama persidangan tidak ada salah satu bukti yang membuktikan bahwa adanya perbuatan melanggar hukum tidak terbukti, kerugian keuangan negara tidak terbukti, turut serta tidak terbukti, menyalahgunakan kewenangan tidak terbukti, dapatkah yang bersangkutan dijatuhkan pidana, jawab Atja Sondjaja, tidak bisa.

“Apabila keadaannya seperti itu, menurut saya, yang bersangkutan harus dibebaskan dari segala dakwaan. Dan harus segera dikeluarkan dari tahanan serta nama baiknya direhabiliter,” katanya.

Hentikan Penahanan Flora Simbolon

Sedangkan soal perubahan spesifikasi, kata dia, tergantung apakah negara dirugikan. “Kalau ada peningkatan spesifikasi, maka negara bukan dirugikan, tapi diuntungkan. Misalnya soal genset 1.000 jadi 1.300, itu negara malah untung. Itu namanya keuntungan negara bukan kerugian negara,” katanya.

Kemudian soal ikut serta, kata Atja Sondjaja, harus dibuktikan dulu, apakah memang ada kesepakatan disana. “Kalau ada dikatakan turut serta, maka harus ada kesepakatan. Kalau dituduh ikut serta, maka harus dibuktikan ada kesepakatan. Ketika seseorang tidak punya kewenangan, maka tidak bisa dikenakan Pasal 3 UU Tipikor. Karena dia bukan pembuat kebijakan,” katanya.

Menjawab hakim anggota, Rodslowny Tobing, kata dia, kalau sudah ada putusan praperadilan, maka sidang tidak bisa dilanjutkan. “Karena itu berbahaya. Kalau kita mendzolimi orang yang tidak bersalah maka tunggulah tanggalnya,” katanya.

Sementara menjawab hakim anggota satu, apakah wanprestasi juga berlaku untuk proyek negara, saksi ahli menegaskan, berlaku. “Kalau kontrak tidak dilaksanakan maka itu wanprestasi. Terlepas dari sumber dana. Jangan mendzolimi orang. Kita takut,” katanya, seraya kembali menyebut, penahanan Flora Simbolon harus diakhiri.

Menyesal untuk Apa?

Sedangkan saat pemeriksaan terdakwa, Flora Simbolon membantah semua dakwaan jaksa. Karena menurutnya, semua dakwaan bersalahan semua. Misalnya, kata dia, harga semen per kubik sudah mencapai 1 juta lebih. Tapi di dakwaan disebut 200-an ribu lalu dituduh ‘mark up’. Belum lagi soal perbedaan harga Dolar AS,

Menjawab PH, Flora menegaskan, tidak pernah menandatangani kontrak. Soal pekerjaan tidak pernah atas kebijakan sendiri, tapi berdasarkan perintah. Juga tidak pernah dipanggil oleh siapa pun untuk permufakatan melakukan kerjasama kejahatan.

Maka ketika JPU bertanya, apakah Flora Simbolon minta maaf dan menyesal, terdakwa balik bertanya, untuk apa. “Saya minta maaf dan menyesal untuk apa? Saya tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun,” katanya.

reporter | Jeremi Taran dan Robert Siregar

Related posts

Leave a Comment