Mahathir Muhammad dan Kisah ‘Malay Dilemma Jilid Dua’

Situasi politik di Malaysia

topmetro.news – Situasi politik yang saat ini sedang terjadi di Malaysia, menurut seorang pengamat politik internasional di Medan, Raya Timbul Manurung, adalah semacam ‘Malay Dilemma Jidil Dua’.

Hal itu disampaikannya kepada topmetro.news, Jumat malam (6/3/2020). Dia pun menceritakan, bagaimana dulu kemunculan ‘Malay Dilemma Jilid Satu’.

“Tahun 1970, Mahathir Muhammad menulis ‘Malay Dilemma’, yang menuntut hak dan keistimewaan Pribumi Malaysia/Suku Melayu dalam ekonomi, pendidikan, agama, bahasa, dan politik. Sehingga jadilah pengaturan hak keistimewaan Pribumi Malaysia/Suku Melayu seperti di Malaysia saat ini,” kata Raya Timbul.

Sekarang, lanjutnya, Mahathir Muhammad sedang/sudah menciptakan ‘Malay Dilemma Jilid Dua’.

“Kembalinya Mahathir Muhammad sebagai Perdana Menteri Malaysia pada tahun 2018 dari partai kecil, Pribumi Bersatu yang cuma 26 kursi, ternyata mampu mengatur Koalisi Pakatan (144 kursi). Dimana ada partai besar milik Anwar Ibrahim PKR (50 kursi) dan DAP (42 kursi). Barisan Nasional yang berkuasa puluhan tahun menjadi oposisi. (UMNO, MCA, dll) ditambah PAS, menjadi pihak oposisi,” urainya.

Tapi ternyata, kata Raya Timbul, Kkoalisi Pakatan pimpinan Mahathir Muhammad ternyata rapuh. Hanya berjalan dua tahun dan Mahathir Muhammad mengundurkan diri pada Februari 2020. “Terjadi pembelotan di tubuh partai Mahathir (Partai Bersatu) dan di partai Anwar Ibrahim (PKR),” analisanya.

Dan menurut Manurung, para pembelot bekerja sama dengan pihak oposisi dan membentuk kabinet baru. Bahkan Perdana Menteri Malaysia yang baru, Muhyiddin Yassin berasal dari partainya Mahathir Muhammad.

BACA | Kisah Rujuknya Anwar Ibrahim dengan Mahathir

Analisa Malay Dilemma

Dan menurut eks Committe Member Business Council IMTGT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle), berikut inilah ‘Malay Dillema Jilid Dua:

  1. Dalam tubuh satu partai, bisa mempunyai dua posisi, yaitu sebagai partai yang memerintah dan sebagai partai oposisi.
  2. Anggota Parlemen Malaysia bebas menentukan sikap. Setiap saat bisa sebagai pemerintah dan bisa sebagai oposisi, tidak tergantung kepada sikap partai.
  3. Koalisi pemerintahan pusat menjadi bersifat koalisi individu anggota parlemen, sangat rapuh dan dinamis. Tergantung kepentingan individual dan bersifat temporer.
  4. Koalisi pemerintahan negeri bagian, juga akan sangat fleksibel. Setiap saat bisa berganti menteri besar/ketua menteri/gubernur tergantung dinamika koalisi partai dan parlemen negeri.
  5. Kekuasaan Raja Yang Dipertuan Agung Malaysia akan bertambah besar. Karena setiap saat calon perdana menteri harus minta pengesahan dari Yang Dipertuan Agung.
  6. Kekuasaan sultan di negeri juga makin besar. Karena calon menteri besar harus dapat pengesahan dari sultan. Setiap saat posisi menteri besar (gubernur) bisa jatuh dan berubah sesuai perubahan koalisi di negeri dan para anggota parlemen daerah.
  7. Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah/negeri akan tidak stabil dan cendrung akan terus-menerus terjadi kegaduhan politik serta tidak sempat bekerja untuk rakyat.
  8. Ekonomi Malaysia akan stagnan dan bisa resesi.
  9. Tentara Diraja Malaysia akan terpanggil untuk masuk gelanggang politik untuk menjamin stabilitas politik. Mungkin diajak oleh palemen ataupun masuk atas inisiatf sendiri.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment