Restorative Juctice, Kejari Gunungsitoli Mendapat Apresiasi Kajati Sumut

topmetro.news – Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunungsitoli di bawah pimpinan Kajari Parada Situmorang, kembali melakukan penghentian perkara berdasarkan keadilan restorasi (restorative juctice).

Kali ini perkara yang berhasil dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan RJ yakni atas nama tersangka Melisokhi Hura alias Ama Riska. Ia melakukan tindak pidana pengancaman melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Perdamaian pun berhasil difasilitasi tanpa adanya syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh tersangka kepada korban.

Hal ini tidak terlepas dari peran jaksa fasilitator pada Kejari Gunungsitoli, Richisandi Sibagariang SH (foto). Di mana Richisandi tidak henti-hentinya memfasilitasi perdamaian RJ antara tersangka dengan korban.

Richisandi Sibagariang dalam keterangannya, Selasa (14/5/2024), mencatat hingga Mei  2024, pihaknya telah berhasil memfasilitasi perdamaian  restorative juctice antara tersangka dengan korban sebanyak enam perkara tindak pidana. Mencakup tindak pidana pengancaman, penganiayaan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Richisandi Sibagariang mengatakan, keberhasilan tersebut mengalami kenaikan cukup signifikan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, jaksa fasilitator berhasil memfasilitasi perdamaian antara tersangka dengan korban sebanyak empat perkara.

“Inilah yang kemudian mendapat apresiasi dari Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Utara. Di mana sampai dengan Bulan April 2024, Kejaksaan Negeri Gunungsitoli memperoleh peringkat pertama yang berhasil melakukan penghentian perkara berdasarkan keadilan RJ terbanyak di wilayah Kejati Sumatera Utara,” ungkapnya.

Richisandi Sibagariang menjelaskan, penerapan penghentian kasus berdasarkan RJ, mengacu pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ia menjelaskan, ada pun syarat-syaratnya yang harus terpenuhi agar suatu perkara dapat dilakukan penghentian penuntutan yakni (a) tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, (b) tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan pidana denda atau dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan (c) tindak pidana dilakukan dengan nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000.

Apabila syarat-syarat tersebut  terpenuhi, maka JPU akan bertindak selaku jaksa fasilitator mengundang/memanggil tersangka dan korban serta tokoh masyarakat untuk memfasilitasi perdamaian antara tersangka dengan korban, dengan tujuan bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula kepada korban dengan tidak mengedepankan pembalasan.

Richisandi Sibagariang menambahkan, upaya yang dilakukan oleh jaksa fasilitator selaras dengan adanya kebijakan Jaksa Agung Republik Indonesia dalam menjawab keresahan masyarakat tentang ‘hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas’, serta pesan Jaksa Agung yang mengatakan, “Rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP, melainkan ada dalam hati nurani jaksa.”

reporter | Suarman

Related posts

Leave a Comment