Kebijakan Impor Beras, Butuh Sinkronisasi Data

Kebijakan-Import-Beras

topmetro.news. Kebijakan impor beras membutuhkan sinkronisasi data. Artinya, pemerintah harus mencocokkan data terkait kebijakan yang membuka masuknya beras impor. Ini perlu sehingga hasil panen melimpah yang telah diupayakan petani di berbagai daerah tidak terganggu.

Bambang Haryo Soekartono, Anggota Komisi VI DPR RI menginginkan pemerintah dapat saling menyinkronkan data antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, sehingga tidak terjadi pasokan yang berlebihan di tengah masuknya beras impor oleh Bulog.

Menurut dia, masuknya beras impor tersebut merupakan hal yang disesalkan karena produk itu dinilai tidak sebaik beras yang dihasilkan petani. “Pasokan yang berlebihan juga bakal mengakibatkan menurunnya harga gabah yang juga bisa mengakibatkan tidak kondusifnya sektor pertanian,” ujar Bambang, Rabu kemarin.

Produksi Melimpah

Untuk itu, Bambang menginginkan pemerintah ke depannya agar berhati-hati dan jangan sampai terjadi lagi terjadinya masuknya beras impor di tengah harga beras yang relatif normal serta produksi yang melimpah.

Senada dengan pendapat Bambang, dalam kesempatan lain, Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo mengingatkan kepada pemerintah terkait pentingnya akurasi data pangan sehingga perlu adanya koordinasi yang intensif dan sinergis antarlembaga sehingga kebijakan yang diambil juga bermanfaat bagi rakyat.

Sistem Informasi Geografis

Menurut Edhy, pada era teknologi seperti saat ini data juga bisa menggunakan sistem informasi geografis yang bersifat “real time” atau kondisinya sesuai dengan waktu saat ini. Hal itu bakal mengatasi permasalahan seperti perdebatan antarmenteri yang ujung-ujungnya impor yang merugikan petani nusantara. “Data itu yang penting di lapangan, bukan data versi siapa,” kata Edhy Prabowo.

Secara terpisah, Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengingatkan ketidakakuratan data pangan sudah sering disuarakan sebagai salah satu penyebab permasalahan penanganan pangan.

Menurut Hizkia Respatiaddi, hal itu bisa disebabkan antara lain parameter pengambilan sampling yang sudah ketinggalan zaman, ketidakcermatan enumerator (pengambil data) dan juga ketidakakuratan jawaban narasumber.

Selain itu, ujar dia, panjangnya distribusi data dari tingkat desa hingga pusat juga berpotensi menimbulkan ketidakakuratan. Hizkia berpendapat perbedaan data komoditas pangan antara satu institusi dengan institusi lainnya di Tanah Air sudah sering terjadi. (tmn)

sumber: neraca

Related posts

Leave a Comment