Investigasi 3 NGO Simpulkan Penyebab Banjir Parapat Akibat Perambahan Hutan

penyebab banjir Parapat

topmetro.news – Tiga NGO membuat kesimpulan terkait penyebab banjir Parapat, yang menurut mereka adalah akibat perambahan hutan. Sebagaimana berita sebelumnya, banjir bandang melanda Kota Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Simalungun tepatnya di Bangun Dolok dan Sualan, Kamis (13/5/2021) lalu, di beberapa titik.

Huta Bangun Dolok, Kampung Buntu Malasang, Nagori Sibaganding, Huta Sualan (tepat di samping Gereja HKBP) dan Kelurahan Parapat merupakan lokasi yang paling terkena dampak dari banjir bandang di empat wilayah tersebut. Sumber banjir bandang berasal dari kawasan hutan yang menjadi hulu Aek Sigalagala/Sungai Batu Gaga. Masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Harangan Simarbalatuk dan Dolok Si Batu Loting.

Luas Hutan Lindung

Total luasan kawasan hutan lindung di wilayah Kecamatan Sipangan Bolon, Parapat 7.026 ha. Ini berdasarkan SK. 8088 Tahun 2018 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara.

Namun pada tahun 2021, luas kawasan hutan wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon menjadi kurang lebih menjadi 5.826 ha. Dalam kurun waktu tiga tahun terjadi penurunan tutupan kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 1.200 ha. Data ini berdasarkan analisis data spasial oleh Tim Walhi-Sumut, KSPPM dan AMAN Tano Batak. Berdasarkan hasil kajian dan investigasi lapangan, penurunan luasan kawasan hutan lindung karena adanya pembukaan kawasan hutan lindung di Kecamatan Sipangan Bolon oleh banyak pihak.

Dari data spasial dari Tim Investigasi, di garis bentang alam Perbukitan Girsang Sipangan Bolon-Sitahoan, terdapat juga konsesi PT TPL yang turut memberi andil penurunan tutupan kawasan hutan di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon. Walau tidak bersinggungan langsung dengan titik longsor di Parapat dan Bangun Dolok, tapi areal konsesi tersebut cukup berpengaruh terhadap ketidakseimbangan ekosistem di Kawasan Danau Toba.

Bencana banjir bandang menjadi ancaman serius terhadap keberadaan masyarakat lokal dan Wisata Kota Parapat. Demikian juga dengan beberapa perkampungan yang berdekatan dengan Perbukitan Kawasan Huta Simarbalatuk. Dari informasi yang diperoleh pada tahun 1986, peristiwa banjir bandang pernah melanda Parapat bahkan disebut yang terparah, kemudian disusul pada Bulan Desember tahun 2018. Kemudian, Januari tahun 2019, Juli tahun 2020, dan terakhir pada Bulan Mei tahun 2021.

Data Penyebab Banjir

Berdasarkan fakta-fakta di lapangan dan analisis citra satelit (data spasial), ada beberapa penyebab banjir bandang, antara lain:

  • Keterangan dari masyarakat lokal yang bermukim di bawah Perbukitan Hutan Simarbalatuk, banjir bandang terjadi karena kerusakan ekosistem kawasan hutan di wilayah Sitahoan yang merupakan bentang alam dan aliran hulu Sungai Batu Gaga atau Aek Sigalagala.
  • Hasil temuan tim investigasi bersama, terdapat pembukaan kawasan hutan lindung di hulu aliran Sungai Batu Gaga di atas Kota Parapat, yang merupakan satu landscape kawasan hutan lindung.
  • Masifnya pembukaan tutupan kawasan hutan oleh berbagai pihak, termasuk Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pupl Lestari (TPL) yang berpengaruh terhadap ketidakseimbangan ekosistem.
  • PT Lilis, menurut dugaan, melakukan aktifitas penebangan kayu di Kawasan Hutan Wilayah Sitahoan yang menjadi bagian dari Daerah Tangkapan Air (DTA). Walau sudah seringkali ada pengaduan oleh media dan masyarakat, tapi tidak ada tindakan tegas dari pihak yang berwenang.
  • Maraknya kerusakan hutan di Girsang Sipangan Bolon juga akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh instansi terkait.
  • Dalam tiga tahun terakhir, perubahan iklim benar-benar sudah dirasakan di Kawasan Danau Toba, termasuk di Girsang Sipangan Bolon, di mana musim penghujan lebih lama dibandingkan musim kemarau. Perubahan iklim ini tentunya juga karena kerusakan hutan dan ekosistem di Kawasan Danau Toba.

Berangkat dari semakin rusaknya ekosistem dan bentang alam di Kawasan Girsang Sipangan Bolon sekitarnya akibat semakin berkurangnya tutupan hutan, maka sangat mungkin, potensi ancaman bencana ekologis yang lebih besar akan terjadi lagi di masa mendatang. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah, provinsi, dan nasional. Dan agar segera melakukan tindakan komprehensif dan menerbitkan kebijakan dalam rangka mitigasi bencana di kawasan hutan Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Parapat.

Sikapi Banjir Parapat

Menyikapi banjir bandang Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Simalungun, KSPPM, AMAN Tano Batak, dan Walhi Sumatera Utara, mendesak:

1. Pemerintah pusat, provinsi, dan daerah menjalankan amanat konstitusi/UUD 1945. Khususnya Pasal 28 H UUD 1945 Butir (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

2. Pemerintah pusat, provinsi, dan daerah serius menjalankan mandate Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Di mana, Indonesia memiliki target NDC (National Determine Contribution) mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional, dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030. Perbaikan sektor kehutanan menjadi salah satu cara untuk pencapaian target NDC tersebut.

3. Komitmen pemerintah tersebut dilakukan dengan aksi nyata, melalui:

3.1. Negara melalui KLHK mencabut Izin Konsesi Perusahaan HTI di kawasan hutan wilayah kawasan Danau Toba, terkhusus Izin Konsesi HTI PT. Toba Pulp Lestari yang secara masif telah mengakibatkan kerusakan di hulu Kawasan Danau Toba serta izin perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan di hulu dan di hilir Kawasan Danau Toba.

3.2. Pemerintah pusat dan daerah merumuskan kebijakan pembangunan di Kawasan Danau Toba yang berpihak pada keberlangsungan ekosistem

3.3. Pemerintah menetapkan Wilayah Rawan Bencana di Kawasan Danau Toba sebagai aksi mitigasi bencana. Dan segera melakukan upaya komprehensif dalam pemulihan hutan di sekitarnya.

3.4. Aparat kepolisian dan instansi terkait (kehutanan) menindak tegas perusahaan-perusahaan yang melakukan perusakan hutan di Kawasan Danau Toba.

3.5. Pemerintah pusat, provinsi, dan daerah melibatkan semua pihak termasuk masyarakat adat/lokal dalam pemulihan lingkungan di Kawasan Danau Toba.

Respon DPRD Sumut

Menanggapi hasil investigasi bersama ketiga organisasi pemerhati lingkungan ini, anggota DPRD Sumut Rony Reynaldo Situmorang saat dihubungi via WhatsApp, Senin (24/5/2021) mengatakan, mendukung hasil investigasi tersebut. Dan mendesak pemerintah agar menghentikan sementara semua aktifitas eksploitasi hutan di Kawasan Danau Toba (KDT). Baik oleh perusahaan maupun kelompok masyarakat. Pasalnya kerusakan lingkungan, khususnya kawasan hutan di KDT sudah sangat parah, terbukti dengan terjadinya banjir dan longsor di Parapat belum lama ini.

“Pemerintah harus hentikan sementara semua aktivitas eksploitasi hutan di Kawasan Danau Toba,” ujar Rony.

Politisi NasDem ini meminta agar Aparat Penegak Hukum lebih serius dalam menjaga kelestarian dengan menindak tegas pembalak hutan. Peruntukan suatu kawasan hutan, terutama di Kabupaten Simalungun harus kembali seperti sedia kala. Apalagi status KDT dengan nama Geopark Kaldera Toba sudah masuk dalam keanggotaan Geopark UNESCO. Di mana aspek ekologis adalah hal terpenting yang harus benar-benar terjaga.

reporter | David Napitu

Related posts

Leave a Comment